CEO Dingin Itu Penyelamatku
Penulis:Dian Safitri
GenreMiliarder
CEO Dingin Itu Penyelamatku
Tubuh sepasang kekasih itu membeku di tempat, bahkan untuk sekedar memalingkan wajah pun terasa amat berat. Putra memejamkan mata. Suara Satria terdengar amat jelas dan hanya sekat tipis yang memisahkan mereka saat ini.
"Hei! Kenapa hanya berdiri saja di situ? Cepat kemarilah!"
Suara Satria kembali memecah keheningan yang sempat tercipta. Tubuh Putra dan Giska semakin menggigil ketakutan.
"Apa kau tuli! Cepat kemari! Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu pada adikku." Satria kembali menghardik.
"Kakak, kenapa Kakak memarahinya? Aku yang salah karena kurang berhati-hati tadi, aku jatuh karena menabraknya jadi seharusnya aku yang minta maaf padanya." Embun menyahut.
Putra dan Giska saling berpandangan, keduanya masih mencerna perkataan Embun barusan sebelum akhirnya mereka sama-sama menoleh dan menghela napas lega begitu mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saat perhatian Satria teralihkan pada pembicaraannya dengan Embun, buru-buru Putra mendorong tubuh kekasihnya untuk masuk ke dalam toilet sebelum ada orang yang memergoki mereka tengah berduaan di sana.
"Aku kira rahasia kita akan terbongkar detik ini juga," Lirih Giska sebelum ia menutup daun pintu.
"Dan aku nggak akan membiarkan semuanya terjadi sebelum aku mendapatkan apa yang aku inginkan." Putra menyempatkan diri mencium kening Giska sebelum ia berlalu dari sana.
Sementara itu di balik sekat pemisah, Embun meringis memegangi kakinya yang terasa nyeri. Baru saja dia menabrak salah satu pelayan yang kebetulan melintas di depannya, lantaran terburu-buru mengejar Satria.
"Biar Kakak periksa." Satria melepas sepatu yang membungkus telapak kaki adiknya. "Takutnya kaki kamu terkilir," imbuhnya.
"Astaga, Embun? Kamu kenapa? Apa yang terjadi?"
Putra menghambur ke sisi istrinya ikut mengecek kaki gadis yang selama ini hanya dianggapnya sebagai adik.
Satria hendak menyembur Putra, tapi teringat tujuannya semula membuntuti adik iparnya membuatnya urung dan memilih bungkam.
"Enggak apa-apa, Kak. Tadi nggak sengaja nabrak orang."
Gadis itu tersenyum getir melihat suaminya begitu pandai memerankan lakonnya, tak ubah seperti seorang suami yang sosoknya tampak sempurna di mata orang.
"Syukurlah kaki kamu nggak apa-apa." Putra menggumam usai memeriksa kaki istrinya dan kembali memakaikan sepatu itu.
"Ya sudah, Kakak mau ke toilet dulu, kamu balik ke meja sama suamimu saja ya." Satria bangkit dari lantai.
"Tidak perlu terlalu mencemaskannya begitu, adikmu juga adalah istriku, sudah tentu aku akan menjaganya," tukas Putra.
'Istri yang tak dianggap, dan bahkan akan diceraikan setahun yang akan datang, tapi jangan harap aku akan tinggal diam, kak. Akan aku pastikan kamu akan menjilat ludahmu sendiri. Kamu pasti akan jatuh cinta padaku.' janji Embun dalam hati.
Satria berlalu dari sana tanpa mengucapkan kalimat lagi, sedangkan Putra membantu menggendong Embun untuk kembali ke meja makan.
Dari ekor matanya Embun sempat melirik ke arah Giska yang ternyata sedang berdiri di balik sekat setelah Satria memasuki kamar mandi. Wajah kekasih Putra itu tampak menahan kesal, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya terlebih ketika melihat Embun menyandarkan kepalanya di bahu Putra dengan manja.
'Jika kalian bisa berakting, aku pun bisa melakukannya. Akan aku mainkan peranku dengan baik.' Embun memejamkan mata semakin menempelkan tubuhnya di dada sang suami, sengaja memanas-manasi Giska.
***
Sepanjang acara sarapan itu berlangsung, Giska tak henti menyentak napas. Sedari tadi ia hanya memainkan sendok tanpa menelan makanannya sedikit pun. Perubahan wanita itu mungkin tak begitu tampak bagi orang lain lantaran Giska terbiasa berkamuflase, tapi tidak bagi Embun. Selihai apa pun Giska berusaha menutupi kecemburuan akan kedekatan Embun dan Putra, dengan bersikap biasa, nyatanya Embun dapat melihat kekesalan yang terkumpul dalam diri rivalnya itu.
"Nanti kalian mau bulan madu ke mana? Sudah ada rencana kan sebelumnya?"
Pertanyaan Widya membuat suasana hati Giska semakin memburuk. Bagaimana Giska tak sakit hati saat melihat wanita yang dia harapkan bisa menjadi ibu kedua baginya, terang-terangan begitu memperhatikan gadis lain. Meski telah mempersiapkan mental sebelum menerima keputusan Putra untuk menikahi Embun, tetap saja serasa ada yang melukai sebongkah daging merah yang tersembunyi di balik rongga dada Giska.
"Kalau Embun ngikut Kak Putra saja, Ma. Lagi pula dia kan sibuk di rumah sakit, aku nggak mau sampai mengganggu kegiatannya." Embun melirik suaminya, kemudian tatapannya berpindah pada wanita yang kini duduk di hadapannya. Sudut bibirnya melekuk samar.
"Bukan berarti kalian akan menunda bulan madunya, kan? Suamimu itu dapat cuti seminggu, dan lagi dia kan bekerja di rumah sakit milik keluarga. Putra pasti akan mendapatkan kompensasi." Widya kembali menyahut.
"Mama tuh ya, Embun saja yang istriku mendukung karirku, ini Mama kelihatan semangat banget seolah Mama yang mau pergi bulan madu." Suami Embun itu mencebik.
"Mau bagaimana lagi, kamu itu anak Mama satu-satunya. Mama sudah nggak sabar ingin merasakan bagaimana rasanya menimang cucu." Beralih menatap Embun yang duduk di sampingnya, meraih tangan gadis itu. "Mama tahu kamu masih sangat muda dan pasti masih banyak sekali pencapaian yang ingin kamu raih, tapi Mama minta sama kamu, jangan pakai kontrasepsi ya? Alami saja, urusan hamil nanti entah cepat atau dikasih lambat asalkan sudah berusaha," Ucapnya pada Embun.
"Ya, Ma. Saat memutuskan untuk menikah dengan Kak Putra, aku juga sudah siap dengan segala konsekwensinya, termasuk jika harus punya anak di usia muda. Nggak masalah."
"Syukurlah kalau begitu."
Putra terpekur menatap isi piringnya, sementara Giska terlihat gelisah sambil sesekali melirik sang kekasih. Tanpa berniat menghabiskan sarapannya, Giska berpamitan pada semua orang lantaran harus pergi ke rumah sakit. Pun dengan Satria dan Bella.
Sepasang suami istri itu kini telah berada di mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Kamu tuh kenapa sih? Aku perhatikan sejak kemarin sore uring-uringan terus. Ini adalah hari bahagia Embun, harusnya kamu ikut bahagia, Sayang."
Pada akhirnya Bella buka suara karena melihat suaminya yang terus memasang wajah masam.
"Jujur aku takut. Embun itu masih terlalu muda untuk menikah, aku takut dia akan menemui banyak masalah. Dia harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya." Melirik istrinya sekilas sebelum akhirnya kembali fokus pada medan jalan di depannya.
"Biarpun begitu Embun bukan anak kecil lagi. Menurutku dia bahkan jauh lebih dewasa ketimbang gadis lain seusianya dan aku percaya dia bisa menjadi istri yang baik buat suaminya. Jangan terlalu mencemaskannya." Bella mengusap bahu suaminya sekedar mengurangi rasa cemas dalam diri pria itu.
Setelahnya hanya ada kebisuan panjang yang tercipta hingga keduanya sampai di rumah sakit.
***
Putra terperanjat saat mendengar daun pintu kamar mandi terbuka, ponsel dalam genggamannya hampir saja terlepas seandainya saja dia tak bisa menguasai diri atas keterkejutannya.
'Dia pasti sedang berbalas pesan dengan kekasihnya.' Embun melangkah ragu menghampiri Putra yang kini duduk di bibir ranjang.
Keduanya sama-sama diam dan canggung berada dalam posisi yang cukup dekat saat ini. Seandainya saja Embun tak mengetahui fakta menyakitkan tentang perasaannya yang ternyata bertepuk sebelah tangan, mungkin dia sudah menghamburkan diri ke dalam pelukan suaminya dan bermanja pada pria itu.
Namun, sayangnya Embun harus bisa menahan diri. Rasanya sungguh tidak nyaman.
"Hm, kamu tiduran saja kalau capek." Putra berujar kaku seakan lidahnya terselip di dalam rongga mulutnya.
Embun membeliak. Memang apa yang bisa dia harapkan? Jangan harap akan terjadi sesuatu yang indah seperti yang kebanyakan pasangan pengantin baru rasakan begitu menikah. Embun memang telah menyusun rencana kedepannya, tapi untuk saat ini dia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Suaminya itu sepertinya berkeras hati mempertahankan janjinya pada Giska untuk tidak menjamahnya sama sekali.
"Kita bisa pulang kalau memang Kakak nggak nyaman berada di sini," Cetus Embun mengejutkan suaminya.
Pria itu ternganga menatap Embun, tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan istrinya.
'Strategi pertama mungkin akan lebih mudah dilakukan saat aku pergi dari tempat terkutuk seperti ini. Jangan sampai aku terbuai dengan keadaan sebelum aku memastikan suamiku melupakan kekasihnya.'