Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pertemuan Kembali
“El mau apa, Sayang? Cokelat?” tanya wanita berambut sebahu, bernama Lula Pitaloka. Tangannya yang kiri menggendong bocah lelaki berusia 3,5 tahun, bernama Elzaro. Sedangkan tangan satunya lagi sibuk mengambil barang dari troli untuk diletakkan ke atas meja Kasir.
Elzaro mengangguk, sehingga pipinya yang gembul seakan ikut terayun. “Cokelat, Yes!”
“No … no … no, nanti kamu sakit gigi.” Lula menggeleng, jari telunjuknya mengarah ke kanan dan ke kiri. Elzaro menunduk sedih, membuat lelaki di sebelahnya tersenyum. Dia adalah Abrizam, psikolog yang selama ini sudah membantu Lula bangkit dari depresi akibat trauma di masa lalu.
“Biarkan saja, kasih dia cokelat!” kata Abrizam tenang.
“El malas sekali disuruh gosok gigi, nanti bisa sakit,” ujar Lula dengan bibir mengerucut.
“Biar aku yang mengatasi nanti. Ini, Sayang, makan!” Abrizam memberikan sebuah cokelat untuk Elzaro.
“Thank you.” Elzaro mengambil cokelat dari tangan Abrizam dengan mata berbinar.
“Bunda … El malas sikat gigi kalau malam karena kamar mandinya jauh, El capek jalan pakai satu kaki,” kata Elzaro dengan polosnya. Bocah berusia 3,5 tahun itu asyik memakan cokelat dari tangannya.
Nyes … dada Lula menghangat.
Perkataan dari Elzaro berhasil mengundang perhatian semua orang yang sedang mengantri di Kasir. Termasuk seorang lelaki dengan gaya rambut spike yang berdiri di belakangnya. Dia adalah Samuel ….
Sedari tadi asyik berkutat dengan ponsel, membuat Samuel tak memperhatikan kondisi sekitar. Dia mengantre tepat di belakang Lula. Karena perkataan Elzaro barusan, mampu membuat matanya beralih dari ponsel ke pemandangan yang berada di depannya. Samuel menatap iba kepada bocah dengan satu kaki tersebut. Entah kenapa, hatinya berdesir saat menatap manik mata yang tajam milik balita itu.
“Sini!” Abrizam merentangkan tangannya, meminta Elzaro dari gendongan Lula. Abrizam tahu, jika sudah seperti itu pasti Lula akan kembali mengingat semua kejadian kelam di masa lalunya. Kejadian yang berhasil menghancurkan masa depannya, juga masa depan putranya.
Lula mengangguk, dia menyerahkan Elzaro kepada Abrizam. Lelaki itu membawa Elzaro menuju ke rak mainan.
Lula kembali meneruskan aktivitasnya. Karena pikiran yang kalut, membuat Lula tak fokus dan menjatuhkan beberapa cokelat yang berada di depannya.
“Eh, maaf, Mbak. Biar saya rapikan,” ujar Lula ketika sadar. Dia bergegas jongkok untuk memunguti cokelat yang berserakan.
Hal itu memancing simpati Samuel. Tanpa dikomando, Samuel ikut berjongkok memunguti cokelat yang berada di sekitar tempatnya berdiri.
“Biar aku bantu!” kata Samuel memberikan beberapa bungkus cokelat kepada Lula.
Lula menoleh ke belakang, mendengar suara yang tak asing di telinganya. Suara yang tak ingin dia dengar lagi selamanya. Pandangan mereka beradu, Lula terperanjat mengetahui Samuel berada tak jauh darinya. Wanita dengan kulit bersih itu mengucek matanya berkali-kali, untuk memastikan dirinya tak salah lihat.
“Lu—La?” tanya Samuel tergagap. Bahkan beberapa bungkus cokelat yang berhasil dikumpulkan, terjatuh kembali dari tangan Samuel.
Lula membalikkan badannya, kembali fokus di depan Kasir untuk membayar barang belanjaannya. Dia tak peduli pada kehadiran Samuel. Lula menganggap Samuel sudah mati, terkubur bersama luka yang ditinggalkannya.
“Berapa semua, Mbak? Maaf, saya buru-buru!” tanya Lula kepada Kasir. Dia ingin secepat mungkin pergi dari sini.
Setelah Kasir menyebutkan nominal, Lula bergegas membayar dan mengambil semua kantung plastik belanjanya.
“Mbak, kembaliannya masih 22.000 lagi!” panggil penjaga Kasir sedikit berteriak.
“Nggak usah, Mbak. Ambil aja!” Lula sedikit menyeret langkahnya. Terburu-buru dengan beberapa kantung belanja.
“Mbak duluan aja, saya ada perlu sebentar. Silakan!” kata Samuel menyuruh wanita di belakangnya untuk maju. Dia bergegas menyusul Lula, sebelum kehilangan jejak.
“Lula, tunggu!” Samuel sedikit berlari untuk menghentikan langkah Lula. Hingga dirinya berhasil meraih tangan Lula.
“Siapa? Anda salah orang!” ucap Lula dengan ketus, menepis kasar tangan Samuel yang meraihnya.
“Kalau salah orang, kenapa kamu harus menghindar? Banyak pertanyaan yang harus kamu jawab. Bisa kita ngobrol sebentar?” pinta Samuel.
“Nggak bisa, aku buru-buru!” balas Lula singkat.
“Please! Sebentar saja, ya!” Samuel memelas.
Lula tak peduli, dia kembali meneruskan langkahnya. Mencari-cari keberadaan Elzaro dan Abrizam.