Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
WHEN A SPY FELL IN LOVE

WHEN A SPY FELL IN LOVE

Cornflakes

5.0
Komentar
61
Penayangan
12
Bab

KODE ETIK MATA-MATA: "Seorang mata-mata tidak boleh jatuh cinta sembarangan, apalagi pada targetnya sendiri." Itulah yang dialami oleh Suri Stoka. Hidupnya berubah ketika ia jatuh hati pada cowok yang menjadi target misi rahasianya. Ketika cowok itu menatapnya dari dekat. "Bolehkah aku tahu siapa namamu?" Suri jadi bingung harus bilang apa, karena sepanjang karir pendidikannya di sekolah mata-mata, belum pernah ada yang mengajarinya bagaimana cara menghadapi target pengintaian setampan itu, apalagi kalau cowok itu mengajaknya untuk bertemu sekali lagi. Dan bagaimana jadinya jika sahabat Suri yang kena friend-zone mulai merasa tidak aman dengan posisinya, dan menginginkan lebih dari sekedar persahabatan?

Bab 1 CALON SUAMI

"Mulai sekarang, ini semua adalah rahasia," kata Dova menatapku.

Aku mengangguk. "Benar. Jangan sampai ada siapa pun yang tahu identitas kita, termasuk seisi rumah ini."

Dova lagi-lagi berujar, seolah tak yakin padaku. "Jangan katakan pada siapapun kalau kita adalah mata-mata."

Aku mengangguk untuk yang kesekian kalinya. Percakapan itu mungkin salah satu hal yang paling aku rindukan dari sahabatku, Dova. Semenjak sibuk dengan urusan sekolah, ia dan aku jadi jarang berbicara atau pun sekedar bertegur sapa seperti dulu. Dova berubah menjadi lebih dingin padaku.

Sampai suatu hari, saat hari terakhir liburan sekolah tiba, aku mendapat kabar mengejutkan. Dan perlahan-lahan entah mengapa, Dova mulai kembali akrab denganku.

"Nona Suri, ada yang ingin bertemu denganmu besok," kata Pak Tomi di sela sarapan pagi.

Di meja besar melingkar ini hanya ada aku, Fia, dan juga Dova. Mereka berdua adalah teman yang ikut tinggal di sini bersamaku. Walaupun Ayah dan ibuku sudah meninggal, aku tidak merasa kesepian karena kehadiran mereka berdua.

"Bertemu denganku? Tumben," tanyaku pada Pak Tomi yang baru saja sampai di ruang makan. "Biasanya kalau urusan bisnis selalu ditangani oleh Pak Tomi dulu."

Pak Tomi ini orang kepercayaan mendiang ayahku sejak dulu. "Maaf, Nona. Ini bukan urusan bisnis biasa,"

Aku menatap pria itu lebih serius. "Jadi, urusan apa?"

"Ini calon suamimu," jawab Pak Tomi.

"APA?!"

Semua yang duduk di mengelilingi meja makan mendadak tersedak dan memasang telinga setelah mendengar kabar dadakan itu.

Fia tertawa. "Ini serius, Pak? Bercanda, ya?"

"Tapi kan aku baru saja masuk SMA," protesku.

Dova ikut tertawa dan hanya menggelengkan kepalanya.

"Ini serius." kata Pak Tomi. "Kemunculan Nona Suri di media masa saat kejadian percobaan pembunuhan waktu itu, mengundang rasa penasaran banyak rekan bisnis yang dulunya merupakan sobat karib mendiang ayahmu."

"Mereka penasaran padaku?" heranku.

"Kebanyakan dari mereka bilang bahwa kau sangat pintar untuk ukuran anak seusiamu," kata Pak Tomi. "Dan para pebisnis itu ingin menjadikanmu menantu untuk anak mereka."

"Tunggu sebentar," aku memegangi kepalaku yang mendadak pusing. "Jadi calonnya tidak hanya satu?"

Pak Tomi mengangguk. "Banyak yang ingin meminang Nona Suri, jadi silakan pilih sendiri."

Aku mencuri pandang ke arah Dova yang berada persis di depanku. Walaupun cowok itu seusia denganku, ia bisa lebih bijaksana daripada aku. Aku dan Dova memiliki suatu rahasia yang mungkin hanya kami berdua dan Tuhan yang tahu. Mungkin aku akan meminta saran darinya nanti.

"Bagaimana jika aku tidak mau memilih salah satu dari mereka?"

Pak Tomi tersenyum tipis. "Kita tentu tidak mau hubungan bisnis yang terjalin cukup lama menjadi batal. Akibatnya bisa fatal."

Aku menghela napas. Ini benar-benar gawat. Aku tidak boleh sembarangan mengambil keputusan.

****

Pada malam harinya, aku pergi ke perpustakaan pribadi keluarga dengan cara mengendap-endap keluar kamarku. Kamar Fia bersebelahan persis dengan kamarku, jadi aku harus melangkah setenang mungkin agar ia tidak tahu.

Di dalam perpustakaan, kulihat Dova sedang duduk termenung membaca sebuah buku. Saat melihatku datang, ia segera menutup bukunya dan bangkit berdiri. Aku menyadari kini tingginya bertambah lumayan daripada aku.

"Aku tidak peduli kau akan menikah atau tidak." Dova membuang muka. "Tapi besok aku akan tetap pergi ke EMA."

Orang pada umumnya beranggapan bahwa Elite Mastermind Academy atau EMA adalah sebuah sekolah elit, mahal, dan tak sembarangan orang bisa masuk karena tesnya cukup sulit. Tapi aku juga tidak pernah mengikuti tesnya, sih. Kami berdua bisa bersekolah di situ tanpa tes. Tiba-tiba saja ada email masuk dari kepala sekolah karena nama kami berdua mendadak terkenal karena berhasil mengungkap sebuah kasus kriminal di masa lalu. Sebenarnya, itu adalah sekolah untuk menjadi mata-mata.

"Aku juga sudah betah sekolah di sana. Siapa sih yang mau homeschooling lagi? Membosankan," balasku sedikit panik. "Aku sudah bilang pada Pak Tomi untuk menundanya."

"Menundanya? Kau pasti tidak berani menolaknya, Suri," ucap Dova memandang keluar jendela. Ada kekecewaan di raut wajahnya.

"Untuk itulah aku di sini, bisakah aku meminta saran darimu? Kau kan temanku."

Dova terdiam cukup lama. "Terserah. Tunda saja selama mungkin," katanya. "Maaf aku tidak bisa membantumu lebih banyak," lanjutnya sambil menguap, lalu ia pergi begitu saja.

Aku masih berdiri mematung, kebingungan dengan masalahku sendiri.

****

Pagi ini, aku dan Dova duduk di mobil, sedangkan Pak Tomi menyetir di depan. Kami berdua melambaikan tangan pada Fia yang bersandar pada pintu pagar.

"Tunggu aku lulus SMP, ya!" serunya dengan wajah cemberut. Fia sangat ingin masuk EMA, tapi usianya belum sampai.

Aku masih melambaikan tangan, sementara Dova mengalihkan pandangannya padaku. Kadang aku merasa risih kalau tiba-tiba Dova seperti sedang memperhatikanku.

"Mengapa kau mengikat rambutmu?" tanya Dova, ia tahu kalau aku merasa diperhatikan olehnya.

Aku mengangkat bahu. "Biar lebih rapi."

Dova menggeleng. "Menurutku lebih bagus yang biasanya."

Aku heran sejak kapan seorang Dova, si cowok dingin bagaikan kulkas ini sangat peduli dengan penampilanku. Aku sampai bingung harus bicara apa. "Hey," ucapku. " ... apa kau... sedang sakit?"

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku