Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Di ruangan yang harusnya dingin ini, kulihat Mas Arman bercucuran keringat.
Kupandangi satu persatu wajah yang beberapa saat lalu begitu kuhormati.
Bapak mertua. Orang yang selama ini begitu kusegani. Tak menyangka ia akan tega melakukan hal ini padaku.
Ibu mertua. Wanita yang selama ini dengannya aku berusaha menahan sabar. Wajah itu, entah kenapa seperti menampakkan senyum kemenangan. Tutur lembutnya sejak dahulu memang pura-pura.
Para ipar. Kakak-kakak dari suamiku ini seperti tak mau tahu. Aku penasaran, jika mereka berada di posisiku apa yang akan mereka lakukan.
"Jadi gimana, Rin? Bapak berhutang budi banyak pada Pak Handoko. Salah satu caranya ya hanya itu," ucap Bapak.
Aku terdiam tak menanggapi.
"Lagi pula, bukankah di agama dibolehkan lelaki menikah sampai empat kali," ucap Ibu.
Aku mendongak menatapnya. Ajaib sekali wanita ini. Sesaat yang lalu ia meminta maaf dengan lembut. Namun, sekarang belum juga ada satu jam ia berkata seolah ini hal yang mudah.
Aku menatap Mas Arman. Lelaki itu sejak tadi tak juga bersuara. Hanya butiran keringat sebesar biji jagung yang menetes dari dahinya.
Aku menghela napas panjang. Kucoba memupuk kekuatan. Aku sendiri. Masalah ini harus selesai dengan caraku. Tak ingin kulibatkan keluarga yang ada di kampung.
"Ririn terserah Mas Arman saja, Pak," ucapku. Aku harus kuat, sekuat tenaga kutahan agar tak menangis di depan mereka.
Kulihat Bapak tersenyum. Senang sekali sepertinya.
"Nah, Arman. Sudah beres. Apa yang perlu dikhawatirkan lagi. Ririn sudah setuju," ucapnya pada suamiku.
"Tapi, Pak," ucap Mas Arman. Ia seraya melihat ke arahku.
Ayo, Mas. Kenapa diam? Ayo tolak permintaan bapakmu. Aku ingin lihat kesungguhan cinta yang selama ini kau selalu ucapkan.
Aku menunggu Mas Arman menyanggah ucapan bapaknya. Namun, ternyata jawabannya di luar dugaan.
"Ya, sudah. Kalau begitu Arman setuju." Bagai ada petir di siang bolong, tubuhku bergetar mendengar ucapan Mas Arman.
Sekuat tenaga aku menahan bulir bening yang hendak melesak ke luar. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku tak mau ini terjadi.
Bersamaan dengan hancurnya hatiku, aku mendengar Bapak tertawa dengan keras. Ibu mertua mengucap syukur. Bahagia sekali sepertinya mereka.
Harus kucegah, setidaknya aku tak mau sakit sendiri.
"Tapi, Ririn punya syarat, Pak." Dengan lantang aku berucap.
Ruangan yang beberapa saat lalu riuh dengan suasana sukacita mendadak senyap.
Semua mata memandang ke arahku. Terlihat Ibu mertua mengerutkan keningnya.
"Ririn mau calon bertemu dengan calon madu Ririn sebelum memutuskan Mas Arman boleh menikah lagi atau tidak," ucapku.
Terlihat helaan napas dari Bapak dan Ibu.
"Oh, tenang aja, Rin. Nanti kamu pasti suka. Anaknya baik, cantik, sudah gitu kaya lagi. Ya setidaknya pas dengan Arman. Pokoknya mantu idaman ibu, deh." Ibu mertua begitu antusias membicarakan wanita yang akan menjadi maduku.
Saat ia mengatakan itu, ada yang tercubit di dalam sini. Sakit sekali. Ia sepertinya menyadari perubahan di wajahku.
"Ibu juga mau merasakan punya mantu kaya, Rin. Karir bagus, cantik, besan yang bisa dibanggakan. Apalagi Arman anak lelaki satu-satunya," ucapnya lagi.
"Setidaknya, calon mantu ibu yang ini tak hanya pandai menghabiskan uang suami saja," ucapnya menyindirku.
Bagaimana ia memandangku selama ini? Ah, aku tahu aku tidak kaya. Akupun rela meninggalkan karirku yang tak hebat demi berbakti pada keluarga ini. Tapi, tak bisakah itu mengambil hatinya. Kebaikanku selama enam tahun ini.
Tak bisakah ia melihat perjuanganku yang bertaruh hidup dan mati demi melahirkan generasi penerus keluar ini. Aku rela pindah dan jauh dari orang tua demi Mas Arman fokus pada pekerjaannya. Jarak tempuh satu jam membuat Mas Arman capek kalau harus bolak balik dan aku mengalah demi itu.
Mendadak aku menjadi rapuh saat mengingat ada anak yang harus diperjuangkan.