Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ketika Aku Hamil

Ketika Aku Hamil

Indri Hawa

5.0
Komentar
662
Penayangan
5
Bab

Kisah nyata tentang rumah tangga keluarga miskin. Suami yang bekerja sebagai buruh harian lepas, lebih sering menganggur. Lika-liku tinggal bersama mertua yang dzolim, selalu mengadu domna, okut campur, dan playing fictim.

Bab 1 Ternyata

Dua bulan setelah menikah, aku hamil. Bertepatan dengan berakhirya masa kontrak kerjaku di pabrik. Aku dan suami telah sepakat, jika kontrak kerjaku telah usai, kami akan tinggal di rumah orang tuanya.

Rumahnya cukup besar dengan tiga kamar tidur, halaman depan dan halaman belakang rumahnya juga cukup luas. Ada berbagai macam tanaman hias dan beberapa sayuran yang ditanam di halaman depan. Sedangkan di halaman belakang, ada kandang ayam, kandang domba, dan lahan untuk ternak bebek.

Lingkungannya sejuk karena ditumbuhi banyak pepohonan seperti pohon pisang, pohon mangga, pohon sirsak, dan pohon pepaya.

Suamiku tidak bekerja, biasanya dia bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, saat ini tengah dalam keadaan sulit. Tak ada proyek sama sekali. Sehingga kesehariannya hanyalah membantu ayah mertua di kebun.

"Aw, perutku sakit." Aku meremas kain baju di sekitar perut. Peluhku berjatuhan menahan sakit.

Aku tengah mencuci piring, tetapi entah mengapa perutku tiba-tiba terasa sakit. Kram perut yang sakitnya melebihi sakit datang bulan.

Kamar mandi rumah mertuaku berada di bawah, perlu menuruni beberapa anak tangga. Dengan bak besar berbentuk balok. Panjangnya dua meter dan memiliki lebar satu meter. Kedalamannya satu meter.

Suamiku datang menghampiri. Wajahnya terlihat cemas dengan kening yang berkerut.

"Udah, biar aku aja yang cuci piring. Kamu duduk aja," titahnya.

Semenjak aku hamil, suamiku tidak mengizinkan aku untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya boleh menyapu dan mengepel lantai saja, itu pun jika perutku tidak sakit.

Aku merasa tidak enak. Hanya beberapa kali saja mencucikan bajunya. Dia lebih memilih mencuci bajunya sendiri, bahkan memaksa untuk mencuci bajuku juga. Namun, aku menolaknya. Tidak pantas rasanya jika bajuku turut dicuci oleh suamiku. Aku masih bisa melakukannya sendiri.

***

"Kalau makan sedikit aja, biar gak tambah gendut," ucap ibu mertua ketika aku baru dua kali menyinduk nasi.

Aku kembali meletakkan sinduk nasi. Padahal, aku sangat lapar. Terakhir makan, saat magrib kemarin. Sampai tengah hari ini, aku belum sempat makan.

Setiap hari, aku hanya diperbolehkan makan dua kali dalam sehari. Makan pagi pada tengah hari, dan makan sore pada pukul empat sore. Sampai esok tengah hari kembali, aku harus menahan lapar.

Jika malam hari perutku terasa lapar, ibu mertua tidak mengizinkan aku makan malam. Katanya, agar tubuhku tidak bertambah gemuk.

Aku memiliki penyakit magh, perutku akan terasa sakit sekali di tengah malam. Bahkan saking sakitnya, aku sampai menitikkan air mata.

"A, laper," aduku kepada suami.

"Tahan, ya, mamah gak masak nasi," ucapnya.

"Aku masak nasi boleh gak? Gak kuat, laper."

Suamiku berlalu keluar kamar, sesaat kemudian datang kembali dengan raut wajah sendu.

"Tidurin aja, Mamah gak ngebolehin masak nasi. Katanya biar kamu gak tambah gendut. Tidur aja, ya," katanya.

Aku menganggukkan kepala, susah payah mencoba untuk tidur.

***

Sudah empat bulan usia kandunganku, tetapi belum juga periksa ke bidan. Tidak ada uang. Bahkan lima belas ribu rupiah saja untuk sekadar periksa ke puskesmas, kami tidak punya. Harus menabung terlebih dahulu.

Syukuran empat bulanan, telah dilaksanakan beberapa hari lalu. Rasanya malu sekali, dibiayai oleh mertuaku.

Hari ini, ibu mertuaku tengah berada di rumah. Dia mengajakku berbicara di ruang tengah.

"Alhamdulillah Mamah punya anak dua udah pada punya rumah, meskipun Mamah gak di rumahin sama Bapak. Tinggal si Aa yang belum punya rumah. Gimana mau punya rumah, kerja aja enggak. Makanya waktu Neng nikah, gak dibawain apa-apa."

DEGH~

Maksudnya? Aku tidak mengerti arah obrolan ini. Memang benar saat kami menikah, aku sama sekali tidak dibawakan apa-apa oleh suamiku.

Hubungan kami sempat putus karena suamiku tidak mau memberi mahar emas sebesar sepuluh gram kepadaku. Padahal, aku sudah mengatakan jauh-jauh hari kepadanya untuk membawakanku semampunya saja.

Aku mengatakan sepuluh gram, hanya untuk melihat usahanya dalam memperjuangkanku. Namun, dia menolak dan justru memutuskan hubungan kami yang sudah ditentukan tanggalnya. Putus hingga dua bulan lamanya.

Sebulan menjelang hari pernikahan kami, dia kembali memohon padaku untuk melanjutkan pernikahan. Aku kembali menerimanya. Namun, ujian pra nikah kembali menyapa.

Aku sudah mengumpulkan uang untuk pesta sederhana, tetapi keluarga suamiku meminta untuk menikah di KUA.

Kata ibu mertuaku saat itu, "Nikah di KUA aja, biar gak usah ngeluarin uang. Kan kalau akadnya di rumah, harus bayar ipekah 1,5 juta. Memang, sih, kewajiban lelaki bayar ipekah, tapi Dede gak kerja. Di KUA aja, biar gratis. Gak perlu ngeluarin uang."

Saat itu ibuku tidak setuju karena aku adalah anak perempuan satu-satunya. Ibuku ingin aku menikah seperti yang lain, meskipun sederhana tetapi memiliki kenangan indah.

Ibuku tidak setuju jika aku harus menikah di KUA. Katanya, "Yang janda aja nikahnya hajat. Yang hamil diluar nikah juga hajat. Masa Neng yang masih perawan harus nikah di KUA. Mamah gak setuju."

Susah payah aku meminta restu ibuku. Susah payah aku memohon ridhonya. Dengan berurai air mata, akhirnya ibu memberi restu demi melihatku bahagia.

Kami menikah di KUA, dengan mahar emas lima gram. Suamiku hanya membawakanku seserahan seperangkat alat sholat saja. Tidak mengapa, aku ikhlas menerimanya.

"Terimain aja Neng nikah gak dibawain apa-apa, sengaja soalnya si Aa juga gak ngasih ke Mamah," ucap ibu mertuaku kembali, membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum getir. Ternyata ibu mertuaku memang sengaja tidak mau mengeluarkan uang untuk kami menikah.

"Waktu A Ujang nikah, Mamah baru pulang dari Arab jadinya bisa hajat. Bawa banyak seserahan ke si Teteh juga," katanya. Menceritakan A Ujang--kakak iparku ketika menikah.

"Waktu si Nuh nikah juga alhamdulillah bisa hajat di sini, Mamah keluar uang 14 juta. Para tetangga gak nyangka katanya Mamah bisa hajat nikahin anak. Bawa seserahan tv, kasur, domba, lemari, sofa pake mobil bak. Mamah cuma kasih domba aja, selebihnya itu si Nuh yang bawa. Sampe ngejual tanah biar bisa hajatin si Nuh," ucapnya lagi. Menceritakan Nuh-adik iparku ketika menikah.

Ya, aku tahu semuanya. Kakak dan adik iparku mendapat perhatian lebih ketika menikah, karena mereka bekerja.

Suamiku anak kedua dari tiga bersaudara. Semuanya laki-laki. Suamiku dilangkahi oleh adiknya karena saat itu dia belum siap untuk menikah denganku. Alasannya, ya, karena tidak mempunyai uang.

"Maaf aja waktu Neng nikah gak hajat, ya, karena si Aa gak kerja. Mamah gak mau ngeluarin uang, soalnya si Aa juga gak ngasih uang ke Mamah. Kalau A Ujang sama Nuh 'kan kerja, suka ngasih uang ke Mamah. Makanya, waktu nikah Mamah juga ngemodal," sambungnya. Kali ini lebih menyayat hatiku.

Ternyata, ibu mertuaku memperlakukan anaknya secara tidak adil. Dan, yang ikut menanggung duka juga adalah aku.

Aku rela menikah di KUA hingga digosipkan hamil duluan, menanggung malu atas tuduhan miring orang-orang kepadaku.

Padahal, aku sudah menunda kehamilan. Dua bulan meminum pil KB agar tidak timbul gosip miring karena menikah di KUA.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku