Ririn harus menelan pil pahit ketika ia berkunjung ke rumah mertuanya. Ia diberitahu bahwa suaminya, Arman, akan melangsungkan pernikahan. Dan, pernikahan itu tetap akan dilaksanakan meski ia tak merestui. Mau tak mau Ririn harus rela ia dimadu. Asal ia yang mengurus semua persiapan pernikahan mereka. Namun, ternyata itu hanyalah akal-akalan Ririn agar bisa memberi mereka pelajaran. Saksikan keseruannya dalam cerita Terpaksa Dimadu.
Di ruangan yang harusnya dingin ini, kulihat Mas Arman bercucuran keringat.
Kupandangi satu persatu wajah yang beberapa saat lalu begitu kuhormati.
Bapak mertua. Orang yang selama ini begitu kusegani. Tak menyangka ia akan tega melakukan hal ini padaku.
Ibu mertua. Wanita yang selama ini dengannya aku berusaha menahan sabar. Wajah itu, entah kenapa seperti menampakkan senyum kemenangan. Tutur lembutnya sejak dahulu memang pura-pura.
Para ipar. Kakak-kakak dari suamiku ini seperti tak mau tahu. Aku penasaran, jika mereka berada di posisiku apa yang akan mereka lakukan.
"Jadi gimana, Rin? Bapak berhutang budi banyak pada Pak Handoko. Salah satu caranya ya hanya itu," ucap Bapak.
Aku terdiam tak menanggapi.
"Lagi pula, bukankah di agama dibolehkan lelaki menikah sampai empat kali," ucap Ibu.
Aku mendongak menatapnya. Ajaib sekali wanita ini. Sesaat yang lalu ia meminta maaf dengan lembut. Namun, sekarang belum juga ada satu jam ia berkata seolah ini hal yang mudah.
Aku menatap Mas Arman. Lelaki itu sejak tadi tak juga bersuara. Hanya butiran keringat sebesar biji jagung yang menetes dari dahinya.
Aku menghela napas panjang. Kucoba memupuk kekuatan. Aku sendiri. Masalah ini harus selesai dengan caraku. Tak ingin kulibatkan keluarga yang ada di kampung.
"Ririn terserah Mas Arman saja, Pak," ucapku. Aku harus kuat, sekuat tenaga kutahan agar tak menangis di depan mereka.
Kulihat Bapak tersenyum. Senang sekali sepertinya.
"Nah, Arman. Sudah beres. Apa yang perlu dikhawatirkan lagi. Ririn sudah setuju," ucapnya pada suamiku.
"Tapi, Pak," ucap Mas Arman. Ia seraya melihat ke arahku.
Ayo, Mas. Kenapa diam? Ayo tolak permintaan bapakmu. Aku ingin lihat kesungguhan cinta yang selama ini kau selalu ucapkan.
Aku menunggu Mas Arman menyanggah ucapan bapaknya. Namun, ternyata jawabannya di luar dugaan.
"Ya, sudah. Kalau begitu Arman setuju." Bagai ada petir di siang bolong, tubuhku bergetar mendengar ucapan Mas Arman.
Sekuat tenaga aku menahan bulir bening yang hendak melesak ke luar. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku tak mau ini terjadi.
Bersamaan dengan hancurnya hatiku, aku mendengar Bapak tertawa dengan keras. Ibu mertua mengucap syukur. Bahagia sekali sepertinya mereka.
Harus kucegah, setidaknya aku tak mau sakit sendiri.
"Tapi, Ririn punya syarat, Pak." Dengan lantang aku berucap.
Ruangan yang beberapa saat lalu riuh dengan suasana sukacita mendadak senyap.
Semua mata memandang ke arahku. Terlihat Ibu mertua mengerutkan keningnya.
"Ririn mau calon bertemu dengan calon madu Ririn sebelum memutuskan Mas Arman boleh menikah lagi atau tidak," ucapku.
Terlihat helaan napas dari Bapak dan Ibu.
"Oh, tenang aja, Rin. Nanti kamu pasti suka. Anaknya baik, cantik, sudah gitu kaya lagi. Ya setidaknya pas dengan Arman. Pokoknya mantu idaman ibu, deh." Ibu mertua begitu antusias membicarakan wanita yang akan menjadi maduku.
Saat ia mengatakan itu, ada yang tercubit di dalam sini. Sakit sekali. Ia sepertinya menyadari perubahan di wajahku.
"Ibu juga mau merasakan punya mantu kaya, Rin. Karir bagus, cantik, besan yang bisa dibanggakan. Apalagi Arman anak lelaki satu-satunya," ucapnya lagi.
"Setidaknya, calon mantu ibu yang ini tak hanya pandai menghabiskan uang suami saja," ucapnya menyindirku.
Bagaimana ia memandangku selama ini? Ah, aku tahu aku tidak kaya. Akupun rela meninggalkan karirku yang tak hebat demi berbakti pada keluarga ini. Tapi, tak bisakah itu mengambil hatinya. Kebaikanku selama enam tahun ini.
Tak bisakah ia melihat perjuanganku yang bertaruh hidup dan mati demi melahirkan generasi penerus keluar ini. Aku rela pindah dan jauh dari orang tua demi Mas Arman fokus pada pekerjaannya. Jarak tempuh satu jam membuat Mas Arman capek kalau harus bolak balik dan aku mengalah demi itu.
Mendadak aku menjadi rapuh saat mengingat ada anak yang harus diperjuangkan.
"Ririn minta secepatnya, Pak. Setelah itu, Ririn akan beri keputusan," ucapku.
"Oh, tentu. Besok kita bicarakan hal ini lagi. Lebih cepat lebih baik."
Setelah pembicaraan itu, aku dan Mas Arman pulang ke rumah kami. Aku diam sepanjang jalan. Ia pun tak berusaha mengajakku mengobrol.
Aku Ririn sebenarnya sangat sakit hati ketika keluarga suami memintaku agar mau dimadu. Ah, bukan meminta sepertinya. Tapi, memaksa. Mau tak mau harus mau.
Suami yang aku harapkan menjadi tameng dan mau menolak pernikahan keduanya, ternyata hanya diam. Bagai kerbau dicicil hidungnya oleh burung gagak ia hanya diam.
Saat itu, rasanya ingin sekali aku berteriak perceraian. Namun, ada Haidar. Anak lelaki lima tahun, buah cinta aku dan suami yang harus diperjuangkan masa depannya.
Menikah dengan Mas Arman enam tahun lalu, merupakan sebuah anugerah terindah yang kudapatkan. Mendapatkan suami tampan, pekerja keras, dan yang terpenting sangat mencintaiku membuatku menjadi wanita paling beruntung di dunia.
Dahulu, meski penolakan datang bertubi dari keluarganya terutama sang ibu, Mas Arman tetap maju. Ia memperjuangkan hubungan kami sampai Ibu mertua mau menerimaku.
Tapi, sepertinya ia belum sepenuhnya menerimaku. Karena, sejak menikah kami tak boleh tinggal berjauhan dengannya. Mulai dari tempat tinggal, model rumah, dan hal-hal sepele dalam kehidupan pernikahan kami semua diatur olehnya. Baik Bapak maupun Ibu mertuaku.
Aku berusaha sabar dan menurut saja. Sampai permintaan tak masuk akal itu terlontar dari mulut mereka.
"Rin ...," lirih Mas Arman memanggil namaku. Saat ini kami sudah berada di rumah kami. Tak jauh dari tempat tinggal mertuaku.
"Hmm." Aku menjawab sambil mengusap punggung Haidar yang sedang tertidur pulas.
"Maaf," ucap Mas Arman.
Aku bergeming.
"Mas gak bisa nolak," ucapnya lagi.
"Kenapa?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibirku. Sekuat tenaga aku berusaha menahan tangis.
"Mas gak bisa, Rin," ucapnya.
"Iya, kenapa?" desakku.
"Kamu tahu, kan Ibu dan Bapak?" Ia balik bertanya.
"Aku tahu," ucapku singkat.
Terlihat wajah penuh lega di sana.
"Mas minta dukungan dan sedikit pengorbananmu, Rin." Mas Arman menggenggam tanganku.
Pengorbanan? Apa lagi ini? Bukankah selama ini aku yang banyak berkorban. Aku berhenti bekerja, jadi babu di rumah ibunya, berusaha menurut meski hati tak mau. Lalu pengorbanan seperti apa lagi?
"Mas minta kamu mau dimadu. Mas mohon. Mas hanya ingin berbakti," tutur Mas Arman.
Berbakti. Ya, itu yang selalu dijadikan senjata kedua mertuaku. Bagi mereka Mas Arman bukan anak berbakti karena memaksa menikah denganku.
"Kalau begitu, Mas sudah siap apapun keputusanku?" tantangku.
Mas Arman terbelalak.
"Memang apa keputusanmu?" tanyanya.
"Besok kita akan tahu," ujarku.
Kita lihat besok, Mas. Apa kamu akan terkejut dengan keputusanku? Bahkan sepertinya bukan hanya kamu saja, tapi Ibu dan Bapak juga.
Bersambung
Bab 1 1.
03/12/2021
Bab 2 2.
03/12/2021
Bab 3 3.
03/12/2021
Bab 4 4.
03/12/2021
Bab 5 5.
03/12/2021
Bab 6 6
06/12/2021
Bab 7 7
08/12/2021
Bab 8 8
08/12/2021
Bab 9 9
08/12/2021
Bab 10 10
08/12/2021
Bab 11 11
08/12/2021
Bab 12 12
08/12/2021
Bab 13 13
08/12/2021
Bab 14 14
08/12/2021
Bab 15 15
08/12/2021
Bab 16 16
08/12/2021
Bab 17 17
08/12/2021
Bab 18 18
08/12/2021
Bab 19 19
08/12/2021
Bab 20 20
08/12/2021
Bab 21 21
08/12/2021
Buku lain oleh E. Rinrien
Selebihnya