Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suara Bayi di Ponsel Suamiku

Suara Bayi di Ponsel Suamiku

E. Rinrien

5.0
Komentar
5.6K
Penayangan
25
Bab

Suci terusik dengan suara bayi yang ia dengar saat menelepon suaminya. Namun, ia tak ingin berburuk sangka pada suaminya. Hingga, kejanggalan demi kejanggalan ia temui. Subscribe sebelum membaca ya...

Bab 1 1

Aku terkejut ketika mendengar suara di di seberang sana. Suara yang tak asing bagiku sebagai seorang wanita. Namun, sangat heran jika suara itu berada sangat dekat dengan tempat di mana suamiku berada.

"Mas, sedang di mana?" tanyaku.

"Aku di kamar, di penginapan," jawabnya.

Hatiku mencelos mendengarnya. Jika di kamar, kenapa suara itu jelas sekali terdengar. Bukankah ia sendiri di kamarnya.

"Tapi tadi ada suara bayi nangis?"

"Oh, itu anak kamar sebelah. Tadi aku sedang berdiri di depan," jawabnya.

"Yang benar?"

"Iya, Sayang." rayunya dengan suara mendayu.

"Sudah dulu, ya. Nanti mas telepon lagi," ucapnya.

Belum sempat aku menjawab, suamiku ini sudah menutup teleponnya.

Aku menghela napas. Selalu seperti ini, terputus di tengah jalan. Padahal aku ingin sekali mendengar suaranya.

Pekerjaannya sebagai seorang sopir rental membuat suamiku tak selalu berada di rumah. Kalau dihitung, seminggu hanya bisa 2 kali ia pulang ke rumah.

Aku sudah melarangnya melakoni pekerjaan itu. Selain usianya yang sudah memasuki usia senja, pekerjaan itu sangat menyita waktu. Terutama waktu untuk keluarga.

Memang pekerjaan itu terpaksa dilakukan karena ia telah memasuki masa pensiun dan ingin mencari kegiatan.

Uang pesangon berjumlah satu milyar yang diberikan kantor sebagai tanda pensiun telah habis kami gunakan untuk modal usaha rental mobil. Parahnya lagi, usaha rental mobil yang kami geluti ternyata tidak berjalan lancar.

Satu persatu mobil kami hilang. Dari tujuh mobil yang ada, kini tersisa hanya satu saja. Dan mobil itulah yang saat ini digunakan oleh suamiku ke sana kemari.

"Mas, kan kepala keluarga, Dek. Malu kalau berdiam diri di rumah saja," ujarnya kala aku protes kenapa ia harus bekerja sebagai sopir.

Bukan perkara jenis pekerjaannya. Namun, aku khawatir pada usianya yang tak lagi muda. Selain itu, untuk masalah keuangan semuanya masih terkendali karena aku bekerja sebagai PNS. Ketiga anak lelaki pun sudah mandiri. Hanya si bungsu Farid saja yang masih duduk di bangku SMP dan itu tak membutuhkan biaya banyak karena Farid bersekolah di tempatku bekerja.

Tetapi suamiku tetap pada pendiriannya. Aku bisa apa. Waktu berlalu hingga saat ini genap dua tahun ia bekerja sebagai sopir rental mobil.

Tak ada masalah selama setahun pertama. Mobil yang sudah hilang pun sudah mulai kami ikhlaskan. Karena memang sulit mencari jejaknya. Butuh biaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk mengurusnya.

Masalah mulai terjadi saat memasuki tahun kedua. Suamiku makin jarang pulang ke rumah. Ia bisa berminggu-minggu di luar. Bahkan sampai sebulan lamanya ia tak pulang. Ia pulang hanya numpang tidur semalam kemudian pergi lagi. Pernah kutanya alasannya.

"Banyak orderan, Dek. Sayang kalau ditolak." Selalu begitu jawabnya.

Aku tak mau berpikir buruk padanya. Meski, selama setahun ini berbagai kejanggalan kutemui. Mulai dari parfum yang berbeda sampai uang yang biasa ia setorkan padaku tak lagi ia berikan.

Belakangan ia bahkan mengeluh kalau mobil yang ia gunakan harus direparasi. Jelas saja, bagaimana mobil itu tidak rusak, sedangkan ia pakai dijalanan berhari-hari.

Tak masalah jika uangnya memakai hasil ia menyopir. Namun, anehnya ia meminta padaku untuk membayar perbaikan mobil itu.

"Uangnya sudah habis mas pakai, Dek. Kamu tahu, kan biaya menginap dan makan di luar sana lumayan besar. Udahlah jangan hitungan gitu. Nanti kalau sudah ada uang mas ganti." Ia berkata begitu ketika aku mulai protes.

Aku yang malas berdebat, akhirnya diam tak ingin memperpanjang masalah.

***

Aku sedang membaca novel ketika terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Aku hapal betul suara mobil itu. Itu mobil Mas Haris.

"Sudah pulang, Mas," ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Iya, siapkan air hangat, Dek. Mas mau mandi," ucapnya sambil menghempaskan tubuh tubuhnya di sofa. Letih sekali sepertinya.

Aku mengangguk kemudian bergegas ke dapur merebus air. Setelahnya aku kembali sambil membawa segelas teh hangat untuknya.

"Capek, Mas?" tanyaku sambil meraih kakinya dan mulai memijatnya.

"Hmm," jawabnya dengan mata terpejam.

"Kayak yang banyak pikiran. Ada masalah, Mas?" tanyaku lagi.

Mas Haris yang semula memejamkan mata perlahan membuka kelopaknya. Ia meraih tanganku yang sedang memijat kakinya. Kemudian memandangku dengan matanya yang sayu.

"Mobil mas mulai banyak masalah, Dek. Kemarin saja di tol mogok. Kalau begini mas takut gak bisa bawa penumpang lagi," ucapnya lemas.

Ohh, itu masalahnya. Syukurlah kalau begitu. Dengan begitu Mas Haris akan sering berada di rumah.

"Bagus dong, Mas. Mas bakal sering di rumah nemenin aku," jawabku antusias.

Mendengar jawabanku mata Mas Haris melotot. Ia seperti tak terima dengan perkataanku.

"Lho, kamu senang kalau mas gak punya pekerjaan? Mau taruh di mana muka mas ini, Dek?!" serunya setengah membentak. Aku yang tak siap mundur ke belakang karena terkejut.

"Mas kenapa marah?" tanyaku heran.

Mas Haris terlihat mengambil napas kemudian mengembuskannya perlahan.

"Maaf, Dek. Mas hanya gak suka ucapanmu. Mas masih ingin bekerja mencari nafkah. Ini masalah harga diri, Dek," jelasnya dengan mata memerah.

Aku diam tak menanggapi ucapannya. Dua puluh delapan tahun menikah dengannya, baru kali ini aku dibentak dengan keras. Aku sangat syok.

"Dek, mas mau ganti mobil. Bagiamana menurutmu?" tanyanya sambil menggenggam tanganku.

"Ganti mobil, Mas?" tanyaku setengah tak percaya.

Mas Haris mengangguk bersemangat. Lengkungan di wajahnya terbit kembali.

"Uangnya ada?" tanyaku hati-hati.

"Kita pinjam ke bank, Dek. Mas pinjam sertifikatmu untuk jadi jaminan di bank."

Hatiku mencelos mendengarnya. Uang kerjanya selama ini tak pernah sampai padaku. Namun, ia dengan tak tahu malu menyuruhku menggadaikan sertifikat PNS untuk jaminan di bank. Demi mempertahankan harga diri katanya. Padahal aku lebih senang jika ia duduk manis di rumah menikmati masa tua kami.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh E. Rinrien

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku