Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni meraih surga dengan cara membagi hati suami sendiri.
Wajah langit malam itu, entah kenapa begitu terasa kelu. Ada riak-riak kesal mengentak, ada bulir-bulir sesal mengalir tak henti, pun ada gelegak murka yang kian tak tertahan.
Andai saja kumiliki dua hati atau mungkin dua jiwa, maka tidak mustahil yang satunya lagi akan kuhabisi tanpa ampun. Karena rasa nyeri ini, terlalu banyak mengambil dari apa yang pernah ada dalam diriku.
Jika saja mungkin, betapa aku ingin menyesali semuanya, terutama menyesali mimpiku menjadi perempuan peraih surga. Yakni meraih surga dengan cara membagi hati suami sendiri.
Hari itu....
"Wike itu siapa, Mi? Terus kenapa Umi maksa banget? Apa ada satu hal saja yang pantas Abi pertimbangkan tentangnya? Selain hanya karena usianya yang terlalu terlambat untuk mendapatkan jodoh dengan cara biasa?"
Dengan raut wajah teduh, Kang Zayyin mengajakku bicara. Entah mungkin karena ia lelah menanggapi ocehanku tentang menikah lagi atau memang hidayah sudah tiba dan membuka pintu nalarnya.
"Abi betul. Memang harusnya Abi tau salah satu penyebab dari kengototan Umi kali ini. Hingga gak berkesan bahwa apa yang diminta Umi itu hanyalah buah pikiran yang sifatnya selintas aja. Pikiran orang picik yang nggak ada nilai."
"Iya. Abi harap begitu."
"Bi, Teh Wike itu selain pernah menjadi guru ngajinya Umi, beliau juga masih ada ikatan saudara dengan Umi dari pihak Abah. Ayahnya beliau, adalah salah satu ulama yang begitu disegani. Hingga Umi pikir, jika Abi bisa menjadi qawwam untuknya, maka kehadiran keturunan kalian nanti pasti akan sangat dibutuhkan masyarakat. Keturunan ulama, Bi. Itulah yang sejatinya paling menggoda hati Umi untuk menolongnya. Eh, bukan menolong mungkin, ya. Tapi saling bekerja sama."
"Abi mau tanya satu hal sama Umi."
"Aih, Abiiii. Boleh, dong!" Aku menyeru seraya menjawil pipinya jahil. Biasanya priaku itu akan tersenyum malu-malu saat kukerjai seperti itu.
"Jujur, sampai kapan pun hati Abi akan terpaut sama Umi. Umi di mata Abi adalah segalanya. Tapi, Abi nggak mau bersikap kejam kepada perempuan lain hanya gara-gara hal itu. Egois namanya kalau Abi bertahan dengan bersikukuh merawat perasaan diantara kita sementara orang yang baru datang Abi biarkan begitu saja. Abi nggak mau dzalim."
"Ma-maksudnya?"
"Apa Umi ngijinin Abi memperlakukannya sama seperti perlakuan Abi ke Umi? Apa Umi ngijinin Abi bersikap selayaknya seorang suami terhadapnya? Yang artinya akan datang kesempatan untuk kami menjadi dekat, atau bahkan jauh lebih dekat dari keadaan kita saat ini?"
"Umi ngijinin," balasku cepat.
"Mi?!"
"Udah, ya, Bi. Kalau Abi pikir dengan kata-kata yang memanas-manasi seperti itu tekad Umi luluh, Abi salah."
"Baiklah. Ikhtiar Abi untuk mengingatkan rasanya sudah lebih dari cukup. Mangga, Abi setuju. Tentu dengan segala konsekwensi yang harus ditanggung berdua. Suka mau pun dukanya."
***
Meski namaku Marwah, orang-orang lebih mengenalku dengan sebutan Umi Nay.
Saat ditakdirkan memiliki suami yang akhlaknya sebaik Kang Zayyin, sebenarnya sedikit pun aku tak bermimpi untuk membaginya dengan perempuan lain. Apalagi dengan cara aku sendiri yang memilih dan memintanya. Ah, ya, tepatnya bukan meminta, akan tetapi memaksanya.
"Please, Mi. Jangan aneh-aneh. Abi nggak minat sama sekali, lho dengan usulan Umi itu," ucapnya tempo hari.
"Diniatkan menolong saja, Bi. Insya Allah barakah," gumamku manja.
"Menolong ada adabnya juga, Mi. Masa dengan menyakiti hati istri? Impossible banget itu!"
"Siapa bilang Umi sakit hati? Ini kan usulan Umi. Jelas udah Umi pikirin baik-baik atuh. Abi harus yakin, kalau istri Abi yang secantik bidadarinya di surga nanti itu, hatinya sudah termanage dengan sangat baik. Insya Allah nggak akan ada yang namanya cemburu atau marah. Justru Umi akan bantu Abi sebaik mungkin untuk bersifat adil."
***
"Hallo, iya, iya, Bu. Abi segera ke sana. Sabar, ya."
Suara keras Kang Zayyin yang tengah berbicara di telepon, bagai menamparku kembali dengan kenyataan.
Tak lama, pria itu menoleh padaku. Matanya seperti memohon pengertianku.
"Pergilah, Bi. Mungkin Faqih demam lagi atau mencret lagi. Atau mungkin rumah kalian mendadak didatangi tamu angin topan hingga segala yang ada di sana habis terbawa angin. Dan istrimu butuh dewa kebaikan yang menjelma pada dirimu."
Dengan air mata berlinang, aku menelungkup di kasur, usai bicara tadi. Kemudian membenamkan wajah di bantal. Andai berani, mungkin jalan kematian sudah sejak kemarin aku ambil.
"Mi, jangan seperti ini dong. Abi jadi nggak enak. Abi ngerasa bersalah terus. Bukankah keadaan berubah menjadi seperti ini juga karena keputusanmu yang gegabah itu?"
"Udahlah, Bi. Apa pun yang orang lain katakan jika memang pada dasarnya Abi tengah dibutakan ya buta saja."
"Abi buta karena apa Mi? Karena apa?" Mulai sedikit terpancing, pria yang kini bertampang kusut itu bicara dengan nada tinggi.
"Karena cinta, Bi. Iya kan?" balasku parau.
"Nggak, Mi. Abi nggak mungkin bisa mengkhianati Umi. Saat ini Abi hadir lebih banyak di sana hanya karena sebuah tanggung jawab saja, Mi. Tanggung jawab sama Faqih."
"Really?" Lalu dengan renyah tawaku berderai. Kini posisiku duduk di bibir kasur dengan tangan menyilang di dada.
"Istighfar, Mi!"
"Abi jangan cemaskan Umi, key. Isi kepala Umi masih cukup waras, iman juga masih tetep tertanam dalam dada. Mungkin Abilah yang jauh lebih membutuhkan waktu untuk merenung kembali serta bermuhasabah. Merenungi kenapa keluarga kita menjadi semrawut begini rupa. Padahal niatan Umi di awal itu baik. Umi hanya ingin perempuan lain yang kesulitan mendapatkan jodoh bisa merasakan indahnya berumah tangga. Tapi tidak dengan merenggut semua yang pada awalnya begitu indah kita miliki."
"Mi? Wike nggak merebut apa pun dari Umi. Wike hanya mendapatkan apa yang selayaknya dia dapatkan."
Mendengar hal itu, rasa nyeri bagai enggan permisi dulu. Ia mendesak-desak masuk ke dalam sanubari serta mulai mengaburkan nyaris semua akal budi yang selama ini senantiasa kupelihara.
"Boleh Umi nanya?" Tanyaku dengan menahan segumpal geram.
"Iya."
Apakah sekarang perasaan Abi terhadap Umi masih tetap sama seperti dulu seperti sebelum perempuan itu hadir atau hanya rasa kesal saja yang mendominasi?"
Alih-alih menjawab, pria itu malah mendekat dan duduk menyimpuh di pangkuanku.
Entah berapa lama kebekuan hadir menjadi pelengkap pertengkaran kami saat itu.
Sampai suara notifikasi pesan berbunyi dan seperti membangunkan Kang Zayyin dari tidurnya.
"Mi, A-Abi, ...."
"Pergilah, Bi. Doakan Umi kuat, doakan Umi sama Nay tetap memiliki prasangka baik pada Abi."
"Abi pamit, Mi." Abinya Kanaya pun berlalu setelah mencium dahiku sekilas.
Ah, pria. Terbuat dari apakah hati kalian. Hingga tak bisa memahami sedikit pun bahasa-bahasa yang disampaikan belahan jiwamu.
Bab 1 Sesal
01/04/2022
Bab 2 Pengaduan Kanaya
01/04/2022
Bab 3 Ketika Pulang Hanya Raganya Saja
01/04/2022
Bab 4 Ziarah ke Kampung
01/04/2022
Bab 5 Teka-teki Wike
02/04/2022
Bab 6 Ketika Dua Sikap Tak Mampu Sekata
02/04/2022
Bab 7 Bismillah Aja
02/04/2022
Bab 8 Sebab Restu Adalah Doa
02/04/2022
Bab 9 Berdamai
02/04/2022
Bab 10 Bagai Segitiga Bermuda
02/04/2022
Bab 11 Berdebar-debar
10/06/2022
Bab 12 Saling Melepas Rasa
10/06/2022
Bab 13 Rela
10/06/2022
Bab 14 Patahnya Hati Ayah
10/06/2022
Bab 15 Rayuan Maut Mr. Zayyin
10/06/2022
Bab 16 Meleleh Karenamu
11/06/2022
Bab 17 Secangkir Airmata di Pelaminan Kita
11/06/2022
Bab 18 Akhir dari Sebuah Euforia
11/06/2022
Bab 19 Azimat Dini Hari
11/06/2022
Bab 20 Tersipu-sipu
11/06/2022
Bab 21 Dua Wajah
12/06/2022
Bab 22 Sambutan Seorang Putri
12/06/2022
Bab 23 Bahagia itu Tak Lama
12/06/2022
Bab 24 Rasa yang Buncah
12/06/2022
Bab 25 Kehamilanku Jalan Ninjaku
12/06/2022
Bab 26 Hidup Itu Hanya Tentang Berkorban
12/06/2022
Bab 27 Hampa
12/06/2022
Bab 28 Sebuah Nyeri yang Tiada Duanya
12/06/2022
Bab 29 Nyeri Berbalas Nyeri
14/06/2022
Bab 30 Fatamorgana
14/06/2022
Bab 31 Pelipur Lara
14/06/2022
Bab 32 Aku, Kemaruk
14/06/2022
Bab 33 Harap-harap Cemas
15/06/2022
Bab 34 Ketulusan Keluarga Marwah
15/06/2022
Bab 35 Nikmat mana lagi yang Kudustakan
15/06/2022
Bab 36 Bagai Kembali Pada Titik Nol
15/06/2022
Bab 37 Antara Zayyin dan Sigit
15/06/2022
Bab 38 Muara Segala Rasa
15/06/2022
Bab 39 Marwah Dipeluk Dilema
15/06/2022
Bab 40 Prasangka Buruk
15/06/2022