Usai Dimadu
rwah Kang Zayyin nggak co
lihat dari ilmunya. Ya, Mak j
. Kasian bang
i Kyai, ulama besar yang begitu dikhidmati banyak orang. Andai Ma
an giman
kecil dan sama-sama
iya,
rnah lelah untuk terus minta sama Allah agar anak it
dilamar Kang Zayyin kira-
Ngawur,
aja Mak, bukan ngawur. Lag
! Mak gak m
rgi ke luar. Entah benar-benar gak suka dengan ucapanku
t Mak aku bakal tak sang
sa berpaling. Paling kalau jadi juga, sehari sama Teh Wike enam
h baik aku telepon Kang Zayyin saja. Mau me
daku sedalam apa. Masih tetapkah sebanyak dan sedalam dulu atau waktu sepul
*
Za
" Aku meremas kencang sofa y
Mar
ar bias
ang biasanya lugu bisa memikirkan
gami
Dia paling enggak mau dinomorduaka, apalagi ha
rr
kepalaku mem
ebih dari sekedar part
ah belahan jiwaku yang sesungguhnya. Andai tak
n dul
ke Tangerangnya mau pag
a di hari kedua
h cari angkot di sananya. K
ang. Bol
kerasan di sana. Hidup sama ak
seharusnya bukan seorang istri men
ggak apa-apa. Beneran. Sambil nungg
nya suamiku ada. Bukankah bagus jika aku ikut sekar
ak ingin kam
dilaksanakan, artinya susahmu y
nya. Tapi tetap ingatkan aku ya, kalau suatu s
mbicaraan kami dengan sebuah
akannya. Sebab kesiapannya pergi meninggalkan semua kenyamanannya di rumah orangtuanya, adalah pemacu semangatku. Bahwa k
iku itu datang. Hanya ada kasur dan lemari kecil, itu pun milik orang lain. Namun tanpa m
pi, mengandalkan gaji harian yang besarnya pun tidak ditentukan
untuk membagi cinta dan hati yang semata
tunggu, maka bagiku adalah kebalikannya. Aku bukan hanya takut tak bisa adil tetapi memang sudah menyerah sejak awal karena mengakui tak mungkin sanggup adil.
i. Tak terhitung berapa kali saudara-saudaraku membuat hatinya menangis, mel
lai cerewet, dia akan menciumku lama sekali. Dan tentu saja itu terapi paling ampuh. Sebab setelahnya, aku tak lagi punya tenaga untuk terus menanyakannya lagi. Otakku mulai karam, ingi
sungguh sepuluh tahun bersamanya seolah mimp
muinya karena diminta berke
konomiku. Bagaimana mungkin ada perempuan yang tertarik untuk menjalankan biduk ruma
berlembar-lembar proposal ta'aruf mili
kin dengan keputusanku untuk menjadikannya seorang istri. Lalu
angan awal pernikahan kami adalah kecemb
nku, yakni sesama penterapi. Aku juga dilarang banyak bicara dengan rekan kerja perempuanku. Terl
g begitu halu