Single Parent yang menghidupi seorang anak, orang tua dan adiknya. Perasaannya campur aduk saat berada di lingkungan rumah dan lingkungan kerjaan. Menghadapi permasalahan yang sama membuat dirinya kerap emosi kepada orang-orang di sekitarnya. Gita namanya, seorang janda yang meninggalkan sang suami karena lelaki itu telah memiliki istri tanpa diketahui dirinya. Terkadang hidup memang tidak membuatnya beruntung. Namun, meskipun begitu Gita sama sekali tidak merutuki kehidupannya. Ia malah selalu bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang. Jodoh? Tidak ada yang bisa menebak dengan siapa Gita akan bersanding, sama halnya dengan dirinya. Ia pun tidak tau siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Untuk sekarang Gita hanya memikirkan anak dan keluarga cemaranya. Ikuti kisah Gita di sini ...
"Kerja yang benar itu, Gita! Jangan seenak jidatmu aja kalau kerja!" bentak seorang lelaki paruh baya yang pantas di sebut bapak oleh wanita yang ia bentak.
"Iya, pak!" jawab tegas si wanita yang baru saja di bentak.
"Itu ngetik gak boleh pake lama! Ingat, dalam waktu 2 jam semua harus kelar! Kerja kayak gini aja gak bisa, katanya lulusan S1. Malah kayak gini modelannya!"
Lelaki tua itu meninggalkannya dengan kalimat pedas bersama rekan kerjanya, ia pergi dengan perasaan jengkel.
"Aaaargh! Apa lagi coba yang harus di benerin! Ini tuh udah aku cek semuanya, gak ada yang salah!" kesal si wanita itu.
"Sabar, Gita. Emang si bos itu begitu, pasti dia lagi stres makanya kita semua kena imbas." ucap si gadis beramput sebahu itu untuk menenangkan Gita- wanita yang baru saja di bentak.
"Gak gini juga lah! Gila aja, dari pagi loh aku ngetik gak selesai-selesai. Cuman gara-gara satu proposal ini doang! Dan kamu tahu tadi dia bilang apa? Dalam waktu 2 jam harus kelar, gila aja aku!" Gita menyandarkan tubuhnya dengan kasar ke sandaran kursinya, ia memejamkan matannya sejenak.
Semua teman-teman Gita hanya memberikan elusan lembut di pundak.
"Kalau bukan karena butuh uang dan kerjaan, gak bakal aku ngelamar kerja di sini. Punya atasan gak ada otak! Stres sama siapa, lampiasinnya ke siapa!" kesal Gita denga mata yang masih terpejam.
Lalu beberapa menit kemudian, ia membuka matanya dan melanjutkan pekerjaan yang membuat kepalanya ingin pecah.
"Semangat, Gita!" semua rekan kerjanya memberikan semangat dengan senyuman hangat. Hal itu membuat Gita terharu.
Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban, lalu ia kembali fokus dengan berkas yang di tangannya.
2 jam kemudian ...
Tok ... Tok ...
"Masuk!" jawaban tegas dari dalam membuat Gita jengkel dan dongkol. Ingin ia menendang pintu saat masuk. Namun, ia urungkan karena mengingat jika melakukan hal bodoh, maka ladang uangnya akan hilang.
"Permisi, pak. Ini berkasnya." Gita berkata dengan tegas saat dirinya telah berada di dekat sang bos. Lalu ia menyerahkan berkas yang sedari tadi membuatnya muak.
Bosnya yang berkepala botak segera mengecek semua pekerjaan Gita, dengan was-was Gita memperhatikan raut wajah bosnya tersebut.
"Mmm ..." gumam si bos yang membuat Gita menarik napas panjang.
"Masih salah! Gita, kalau kau gak bisa kerja dengan baik di sini, lebih baik kau keluar dari sini!" bentak si pria botak itu dan ia menatap tajam Gita.
Mendapat perkataan dan bentakkan seperti itu, Gita terkejut hingga dirinya berjingkrak.
"Maaf, pak. Tapi, saya salah apa lagi yah? Itu saya sudah cek berulang kali, saya juga sampai minta pendapat teman-teman yang lain, tapi mereka bilang gak ada yang salah. Ini gimana yah, pak?" Gita bertanya dengan wajah yang masih dibuat santai, tapi hatinya dongkol.
"Kalau saya bilang masih salah yah salah. Kau kalau gak niat kerja, berhenti dari sini sekarang dan kamu keluar dari sini!" tegasnya lagi yang membuat Gita darah tinggi, tanpa pamit dirinya segera keluar dari ruangan sang bos. Ia pun sedikit membanting pintu tersebut.
"Gak ada sopannya. Atitude kosong, lulusan S1 seperti ini bentukkannya! Hei, Gita, saya tunggu surat pengunduran diri kau!" teriak si bos dari dalam.
Mata Gita memanas, "Bos sih bos, tapi kalau kayak gini kelakuannya. Udah gak betah aku! Lama-lama mental down kalau kayak gini!" Gerutu Gita.
Ia meninggalkan pekarangan ruangan sang bos menuju ruangannya, tanpa basa-basi ia meraih tasnya dan meninggalkan sesama rekan kerjanya tanpa pamit.
"Loh, Git? Kau mau kemana?" teriak seorang temannya Gita dan Gita tidak menggubrisnya. Ia justru semakin kencang berjalan. Hingga akhrinya ia sampai di parkiran motor dan menaiki sepeda motor tersebut dengan ekspresi jengkel.
Segera ia menstater dan meninggalkan pekarangan kantor yang menjadi tempatnya untuk mencari cuan.
...
Di rumah Gita ...
"Capeknya!" kesal Gita yang baru saja pulang dari tempatnya bekerja, ia duduk di salah satu kursi kayu di rumahnya.
"Ngeluh aja terus. Sabar, kalau capek karena kerja itu wajar, Git. Kamu itu kebanyakan ngeluhnya!" ucap seorang wanita yang berumur 50 tahun-an.
"Ngeluh, tapi aku kan selalu kerja. Gak pernah gak kerja, kan?" Gita menatap sekilas sang mama dengan kesal yang masih menatapnya.
Sang mama menggeleng pelan melihat tingkah putri tunggalnya.
"Jangan kebanyakan ngeluh, banyak berdoa. Biar kamu itu kuat kerja. Baru kerja segitu aja kok ngeluh, mama aja yang kerja dari umur 12 tahun gak pernah ngeluh."
Gita melihat sang mama yang tengah pergi meninggalkannya sendiri di ruang tamu menuju dapur. Hatinya jengkel bukan kepalang.
Gadis berambut sepunggung itu membuang napas kasar sambil matanya memanas.
Beberapa menit kemudian sang mama kembali dengan membawa segelas teh.
"Minum, biar segar tuh badan." ucap sang mama yang ikut duduk di dekatnya.
Gita meraih gelas yang berisi teh itu dan segera meminumnya sedikit, lalu ia menaruh kembali gelas tersebut di atas meja.
"Chandra kemana, ma?" Gita menatap setiap sudut ruangan.
"Anak kamu itu sudah gak bisa di bilangin, tuh lagi main sama anak-anak lainnya." ucap Tatin-mama Gita.
"Coba mama bilangin itu anak, masa setiap kali aku pulang kerja, Chandra selalu gak ada di rumah kayak gini!" ucap Gita jengkel dan langsung berdiri lalu mencari keberadaan sang anak di luar rumah.
Tatin menggeleng pelan melihat Gita, ia lalu kembali ke dapur.
Beberapa menit kemudian...
"Kamu itu jangan main jauh-jauh, Chandra! Kalau kamu kenapa-napa emang ada yang mau nolongin!" Gita berjalan kembali ke pekarangan rumahnya sambil marah-marah, ia tengah memukul tangan sang anak dan ia juga menggandeng kasar Chandra yang tengah menangis histeris.
Tatin yang tengah berada di dapur seketika setengah berlari keluar, ia terkejut kala melihat Gita tengah membawa Chandra yang sedang menangis kencang.
"Yah ampun, Git! Kamu kalau sama anak gak boleh kasar begitu! Dia masih kecil loh ini! Aduh!" Tatin segera mengambil alih sang cucu, lalu dirinya menggendong Chandra yang berusia 3 tahun itu.
"Aku capek, ma. Baru pulang kerja nyariin dia, gak taunya dia manjat-manjat di pagar pak guru itu. Malah pagarnya dari bambu, itu kalau kakinya ketusuk bambu gimana coba?" Gita kesal sekaligus jengkel dan ia kembali duduk di kursi kayu itu dengan mata melotot ke arah sang anak.
Chandra sesenggukan karena ia baru saja berhasil di tenangkan oleh sang oma.
"Itu resiko kamu, Gita. Kamu kalau capek kerja, emosi. Jangan kamu lampiasin ke anak! Ini anak masih kecil, Gita. Masih rentan tulangnya! Mama dulu gak kayak kamu loh." Tatin menatap sang anak dengan kesal, lalu kembali menghapus air mata Chandra yang terus keluar.
Gita menatap sang mama dengan jengkel, "Itu mama, bukan aku. Aku bukan mama yang selalu bisa sabar! Aku ini capek kerja. Maunya istirahat sebentar aja, tapi setiap kali pulang, selalu aja ada kejadian kayak gini."
"Kalau kamu gak mau kayak gini, gak usah punya suami waktu dulu dan gak usah punya anak! Heran, lagian dulu mama kerja selalu bisa sabar. Kamu tau kan mama 8 bersaudara, mama anak perempuan pertama-"
"Yang selalu ngurusin adek-adeknya waktu kecil, tanpa bantuan orang tua. Aku tau itu, tapi tetep aku bukan mama! Aku Gita bukan mama Tatin!" sela Gita yang kesal lalu ia menatap Chandra.
...
BERSAMBUNG
Buku lain oleh Cahaya Rembulan
Selebihnya