Juragan Dirja ditemukan tak bernyawa di sawah miliknya sendiri, berita itu tersebar dan tidak lama kemudian, Parmin ditetapkan sebagai tersangka. Nengsih tidak bisa membiarkan ayahnya dituduh seperti itu, ditengah kebingungannya seorang anak Juragan Dirja memberinya kesempatan untuk membebaskan Parmin dari penjara, asal mau menikah dengannya. Nengsih menerima pinangan itu bukan hanya untuk membebaskan ayahnya, tetapi juga demi menguak rahasia terdalam kematian Juragan Dirja yang misterius. Bisakah, Nengsih menemukan petunjuk penting di rumah mertuanya?
"Tolooong ...." Terdengar suara seseorang dari kejauhan.
Langkah Parmin berhenti seketika saat mendengar suara tersebut. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mencari siapa yang meminta tolong. Bulu kuduknya langsung merinding.
Parmim semakin gencar menengok ke kanan dan kiri, tetapi tidak juga menemukan apa pun. Akhirnya dia kembali meneruskan berjalan. Senter yang kadang hidup dan mati, ditepuk-tepuk agar menyala. Sarungnya yang sedikit melorot ke pinggang, kembali dia lingkarkan ke leher. Malam ronda kali ini terasa lebih dingin dari biasanya, membuat tubuhnya merinding.
"Parmin, tolong ...." Suara seseorang terdengar lirih menghentikan langkahnya.
Suara tak bertuan itu kembali menginterupsi kegiatan ronda malam Parmin. Kali ini namanya disebut, membuat dia merinding. Taku-takut yang melakukannya bukanlah makhluk kasatmata. Melainkan sosok setan yang sering diceritakan orang-orang di pos ronda jika mendapat gangguan dari makhluk gaib. Parmin takut jika semua itu terjadi kepadanya di saat bertugas sendirian seperti ini.
"Si--siapa?!" tanyanya, setengah membentak. Parmin berusaha untuk tidak berlari walaupun ingin melesat secepat kilat dari tempat ini.
"Di sini Parmin, lihat ke bawah ...."
Mendengar interuksi itu, perlahan-lahan dia mengarahkan senter ke bawah. Namun, jalan setapak becek yang dipijak tak menampakkan apa pun selain genangan air keruh dan tanah yang liat.
Dipindahkan lagi cahaya senter ke samping kanan tubuhnya. Tubuh Parmin langsung menegang karena melihat seseorang terbaring bersimbah darah dengan pisau masih menancap di perutnya. Darah itu bahkan terlihat tidak lagi merah pekat, tetapi kehitaman. Keterkejutannya tidak hanya dikarenakan keadaan itu saja, tetapi orang yang sedang sekarat ternyata bukanlah warga desa biasa. Dia adalah ....
"Juragan Dirja?!" Parmin memekik kencang. Dia tampak terkejut dan sedih sekaligus. Mendapati seorang yang begitu berpengaruh dengan keadaan mengenaskan seperti itu membuat tubuh Parmin bergetar ketakutan.
Lelaki itu langsung mengarahkan cahaya ke seluruh tubuh pemilik sawah tempatnya mengais rejeki. Senter di genggaman langsung jatuh menggelinding. Parmin kebingungan dan panik. Semua isi pikirannya terasa buyar. Pandangannya juga kosong, tak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dalam keadaan genting seperti ini.
Erangan kesakitan terus terdengar dari Juragan Dirja. Parmin akhirnya buka suara.
"Ju--Juragan ... saya harus minta bantuan ke warga lain. Saya mohon Juragan tahan sebentar. Tunggu saya!"
Saat hendak beranjak dari tempat itu, tangannya ditepis halus oleh Juragan. Parmin kaget dan kembali mendekat ke tubuh boss-nya.
"Tidak ada waktu ... ca--cabut pisau di perut saya. Tolong Parmin, saya sudah gak kuat lagi!" Juragan Dirja berkata dengan napas terengah-engah. Tubuhnya yang ditancapkan benda tajam itu mengeluarkan darah terus menerus.
"Ta--tapi saya gak bisa Juragan! Saya takut, lebih baik kita ke dokter. Ayo Juragan biar saya gendong saja."
Parmin mengambil ancang-ancang untuk menggendong. Namun, tangannya malah dipegang Juragan Dirja dan di arahkan ke perut, lalu ke atas pisau yang masih menancap.
"Jangan Juragan!" Parmin berusaha keras menolak dan ingin menjauhkan tangannya, tetapi semua terlambat. Juragan menahannya dengan seluruh sisa tenaga yang dia miliki.
"Harus, Parmin! Kamu sudah banyak hutang budi sama saya. Sekarang Bantu saya mencabut pisau ini!" maki Juragan Dirja sambil menatap tajam Parmin.
Setelah dirinya dibentak, Parmin akhirnya menarik pisau dengan sekali hentak. Erangan kesakitan lolos dari mulut Juragan Dirja.
Tangannya masih memegang pisau. Darah ikut keluar menyembur ke telapak tangan dan sarungnya. Tanpa Sadar Parmin mundur dan membuang pisau dari genggaman. Tubuhnya langsung gemetar.
"Cepat bawa aku ke dokter, Bodoh!" Juragan Dirja berkata dengan emosi.
Juragan Dirja kesal, dia berteriak-teriak dengan suara yang hampir habis. Parmin masih menegang, tetapi bukan karena keadaan Juragan saja, melainkan ... sosok wanita berkebaya putih yang berdiri di tengah jalan dengan ujung jari-jari kakinya saja. Makhluk itu memandang ke arah mereka dengan tetas air liur yang banyak.
"Parmin, a--ayo cepat! Wanita itu datang lagi, selamatkan saya!" Rupanya Juragan Dirja juga melihat sosok yang sama, kemudian berkata dengan ekspresi wajah sangat ketakutan. Air mukanya pucat dengan getaran di bibir.
Wanita yang mengenakan kebaya itu perlahan mendekati mereka. Suara bergemeletuk seperti tulang patah, mengiringi langkahnya. Parmin benar-benar dibuat tak berdaya, seperti kehilangan akal. Bukannya berlari, dia malah mengambil senter dan mencoba melihat lebih jelas sosok aneh itu. Demi melihat lebih jelas apakah sosok itu nyata atau hanya halusinasi dan setan saja.
Akan tetapi, ketika di arahkan ke objek yang ingin dilihat, sinar senter langsung meredup. Parmin menepuk-nepuknya dengan cepat sampai terdengar suara. Senter itu kembali menyala dan ....
"Aaargh!" teriak Parmin nyaring.
Bersamaan dengan sinar yang kembali terang, tepat di depan senter, wajah penuh lubang, darah dan belatung muncul di depan Parmin. Pemandangan mengerikan itu membuatnya terjungkal ke belakang.
Kepala pria kurus itu menghantam sesuatu yang keras, membuat kepalanya sakit dan pusing secara bersamaan. Semua pandangan terasa berputar. Parmin berkedip beberapa kali, berusaha mengenyahkan penampakan yang masih setia berdiri di dekatnya. Semakin lama sosok itu terlihat lebih jelas. Dia menyeringai dan menaiki tubuh Parmin dengan mudahnya.
Tak ada keluar suara apa pun. Keheningan semakin mencekam dengan kengerian ini. Parmin masih menahan nyeri di perutnya, kuku-kuku tajam kaki wanita berkebaya lusuh itu terasa menancap, seperti merobek kulitnya.
"Jangan campuri urusanku, budak tak berguna!" bentak wanita di atasnya kemudian dia menyeringai.
"A--ampun ... lepaskan saya." Parmin memohon dengan suara lirih.
"Hihihi ... enak saja!" Wanita itu terus tertawa dengan nada yang membuat bulu kuduk berdiri.
Dengan perlahan, kuku yang menancap bergerak-gerak di atas perut. Rasanya seperti tersayat-sayat. Kemudian wanita itu berpindah ke atas dada Parmin dan menekannya kuat-kuat, mengalirkan rasa sesak yang tak bisa lagi ditahan.
Parmin hampir tidak bisa untuk mempertahankan kesadarannya sendiri. Setelah napas terasa di ujung tenggorokan, tekanan pada dadanya tiba-tiba berkurang. Dia merasa aman sebentar, tetapi itu tak bertahan lama.Saat dia melirik ke samping kanan tempat Juragan Dirja, pemandangan mengerikan mulai menyapa kedua manik matanya.
Wanita menyeramkan itu tampak sedang merobek perut terluka Juragan dan menjilati organ dalamnya dengan lidahnya yang panjang. Melihat itu, Parmin dikuasai rasa takut yang luar biasa, dia merasa akan diperlakukan seperti itu juga bila masih diam di tempat. Dengan tertatih, pria kurus itu mencoba bangkit dan kabur dari sini. Perlahan tapi pasti, akhirnya bisa berdiri.
Langkahnya pelan, kecipak lidah yang menjilat organ dalam boss-nya masih terngiang di telinga. Parmin menangis, dia takut, panik, syok dan merasa terancam. Selangkah demi selangkah Parmin menjauh, dia bisa melihat kumpulan orang yang sedang duduk-duduk di pos ronda.
"Tolong ...!" teriaknya. Namun, tak ada satu orang pun yang mendengar suaranya.
"To ...." Parmin tak melanjutkan teriakannya, bersamaan rasa pusing yang menyerang kepalanya dan membuat semuanya terasa buram. Pria paruh baya itu terjatuh dan tak sadarkan diri.