Nayla yang tak ingin melibatkan orang di sekitar dalam masalah, malah membuatnya semakin jauh terjebak dalam ancaman-ancaman. Sumpah yang diucapkan oleh Kak Yuni seolah menjelma nyata. Muak dengan tuduhan-tuduhan dan fitnah yang melabelinya sebagai pelakor, , Nayla akhirnya memutuskan untuk mewujudkan semua ucapan itu menjadi nyata.
"Bukan aku, Kak! Aku sama sekali gak pernah nyebarin kabar soal Kakak sama Kak Anto," tampikku.
Kesal saja, yang melakukan perselingkuhan mereka. Yang melihat dan menyebarkan tetangga, tapi aku yang harus terkena getahnya.
"Lalu siapa lagi? Dasar gak tahu terima kasih! Udah ditampung, dirawat, diusahain biar gak putus sekolah. Balasannya malah nyebar fitnah. Kamu mau kakak cerai sama Hendrik?" Kak Yuni menatapku nyalang, suaranya semakin tinggi dipenuhi amarah.
Dari pintu depan, Kak Makmur masuk diiringi Kak Aulia.
Kak Yuni melayangkan tangan ke arahku, tapi Kak Aulia lebih dulu sempat menahan. Meski gemetar, aku tak ingin menunjukkan raut ketakutan yang membuat tuduhannya semakin besar.
Kak Makmur menarikku ke luar. "Nay, kamu sementara di rumah Kakak aja, ya!"
"Yun, sabar. Istigfar. Kan bisa dibicarakan baik-baik." Kak Aulia berusaha membujuk Kak Yuni.
"Sabar gimana lagi! Itu anak gak tau terima kasih! Sudah ditampung, bikin malu! Kamu gak tahu aja alasan dia dipindahin ke sini gara-gara overdosis di sekolah, dia pura-pura baik. Dasar serigala berbulu domba!" Kak Yuni tak henti-henti memaki.
Rumah Kak Aulia bersama Kak Makmur yang hanya terhalang triplex tipis membuatku bisa mendengar semua teriakan dan makian itu dengan jelas. Sesak, kecewa, ingin marah dan balas mengatakan semua aibnya yang selama ini sudah berusaha keras kujaga.
Air mata mulai merebak, aku menunduk menyembunyikan wajah di kedua lutut.
"Aku sumpahin, biar dia yang jadi pelakor sekalian! Biar tahu gimana rasanya dituduh merebut laki orang!" Suara berdebum dari barang apa yang entah ditendang kembali diiringi makian.
"Nay, udah. Padahal aku kemaren juga udah bilang, kalau yang pertama lapor itu Lily. Lily liat Anto ke luar dari rumah Yuni tengah malam lewat pintu dapur." Kak Makmur berusaha menenangkan.
"Tapi kenapa sekarang aku yang dituduh, Kak?" Isakku semakin keras dan menjadi-jadi. Amarah, kebencian, rasa kesal bercampur aduk di hati.
"Mungkin karena cuma kamu orang luar yang tinggal di sana dan dipikir tahu semuanya," jelas Kak Makmur.
Dari rumah Kak Yuni telah sunyi, Kak Aulia terdengar masuk dan menghampiri kami berdua.
"Nay, malam ini tidur di rumah aku aja sementara, ya? Takut Yuni masih marah terus emosi kalo kamu balik," ujar Kak Aulia.
"T-tapi, Kak?" Aku segera mengangkat kepala dan menatap.
"Udah, gak apa. Ayah kamu juga nitip tolong jagain kamu. Aku juga kaget kalo Yuni sampai semarah itu."
"Boleh nginap di rumah Kak Lily di belakang aja? Di sini takut ngerepotin," ujarku mengingat rumah Kak Aulia yang kecil. Tak tega harus berdesakan dengan sepasang suami istri itu, ditambah dengan kelima anaknya lagi.
"Apa nanti gak dikira kamu 'sekongkol' sama Lily?" cegah Kak Makmur.
"Iya, terserah. Orang jujur salah juga. Nyalahin orang padahal yang salah siapa!" sungutku.
Kak Aulia akhirnya mengalah, mengantarkanku ke rumah kecil di belakang.
"Li ...," panggilnya sambil mengetuk pintu.
Wanita yang usianya baru memasuki kepala tiga itu membuka pintu, daster merah motif bunga-bunga membalut tubuhnya yang kurus.
"Aku nitip Nayla, ya? Kamu denger aja, 'kan, barusan Yuni marah? Takut Nayla kenapa-napa," ujar Kak Aulia.
"Masuk, masuk. Aku malas ikut campur. Dia salah, tapi dia yang marah karena merasa difitnah." Kak Lily segera memberi jalan untukku masuk.
Aku masuk diiringi Kak Aulia. Kak Lily menyuruhku untuk segera ke kamar, tersisa mereka berdua berbicara entah membahas apa.
Aku menurut, melangkah menuju ruang kecil di mana hanya triplek yang menjadi dindingnya juga. Aku duduk di sisi dinding kayu sambil mengotak-atik ponsel.
Tak lama Kak Lily menghampiri, segera kukembalikan ponsel ke dalam kantong celana.
"Kak Aulia sudah pulang. Sementara tidur di rumahku, nanti keperluan kamu biar Kak Aulia aja yang ngambil. Kamu jangan temuin Yuni sampe keadaan tenang, ya?" pesan Kak Lily.
Aku mengangguk patuh. Saat dia memintaku untuk segera tidur pun, aku tak berani membantah.
Kurebahkan diri dengan banyak perasaan yang mengganggu, kesal, benci, sedih bercampur bahagia. Sepandai-pandai menyimpan bangkai, pasti akan tercium bau busuknya. Mungkin itu kata yang tepat.
Aku memang saksi bisu perselingkuhan Kak Yuni dan Kak Anto, tapi tak cukup berani mengungkapkan. Padahal Kak Hendrik selama ini sudah sangat baik dan perhatian.
Malam-malam meresahkan setiap Kak Hendrik pergi merantau, lalu Kak Anto datang menyelinap ke kamar kini takkan ada lagi. Aku tak pernah bisa tidur dengan tenang mendengar suara desahan mereka setelah ketiga anak Kak Yuni tidur. Bahkan tak jarang aku yang harus berjaga-jaga agar 'malam panas' mereka lancar dan aman.
Pernah aku diamuk Nisa, anak pertama Kak Yuni karena menghalanginya masuk saat Kak Anto bersembunyi tanpa busana di dalam kamar.
Aku merasa jadi orang jahat yang lemah. Tapi, sekarang semuanya sudah berakhir tanpa campur tanganku lagi, harusnya aku sudah tenang. Tanpa sadar, kedua mata terpejam dengan banyak hal yang ternyata masih harus kusimpan sendirian.
****
"Nay, Nay." Kak Lily membangunkanku.
Meski berat, tetap kupaksa membuka kedua mata. Terlihat dia sudah rapi dan wangi, oh, astaga, sekarang jam berapa!
"Kakak ke pasar, ya, jualan? Tadi baju-baju kamu sudah diambilkan Kak Aulia. Mandi, makanan ada di dapur," jelasnya, aku masih berusaha mengumpulkan nyawa yang tadi berkelana di alam mimpi.
"Jangan telat makan, kalo nanti Kak Yuni datang jangan dibukain pintu. Oke?" pesan Kak Lily lagi.
Aku mengangguk meski setengah sadar. Wanita yang tadi bicara itu beranjak ke luar.
"Jul! Ayo, berangkat!" Teriakan Kak Lily memanggil suaminya terdengar.
Aku melirik angka di sudut ponsel. Jam sembilan! Pantas saja jendela yang terbuka membuatku silau.
Sekarang, aku sendirian. Kak Lily sudah berangkat bekerja membawa Izam, anak semata wayang mereka. Kak Ijul pasti juga akan bekerja.
Kak Makmur bekerja di Kantor Lurah, sedang Kak Aulia setiap pagi ikut kursus menjahit. Mustahil harus mendatangi Kak Yuni.
Aku bergegas mandi karena tuntutan perut yang lapar. Usai mengguyur air seadanya dan memakai kaos tanpa lengan juga celana pendek di atas lutut, kulirik semangkok mie goreng plus telur dadar yang tersedia.
Segera kubawa ke ruang depan sambil menikmati kipas angin yang menyala.
Belum usai menghabiskan separuh, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan. Aku gegas menyelesaikan kunyahan dan berniat ke kamar untuk mengambil celana panjang serta jaket.
Beberapa langkah, pintu depan sudah terbuka. Kak Ijul berdiri memandangku saat aku berpaling untuk memastikan siapa yang datang.
"Eh, Nay. Kenapa mie nya gak dihabiskan?" tanyanya memecah kecanggungan.
"Mau ambil jaket bentar, Kak. Sama ganti celana," sahutku tanpa menoleh lagi.
Derit papan kayu yang diinjak terdengar mendekat. Aku mempercepat gerak memasang celana panjang.
Kak Ijul berdiri tepat di depan pintu kamar. Tatap matanya menyapu seluruh tubuhku.
"M-maaf, Kak. Kakak, 'kan, tau ada aku, kenapa gak ketuk pintu dulu sebelum mau masuk? Mau cari apa?" tanyaku terbata.
Bukannya menjawab, dia malah melangkah maju.
"Kak, aku ke luar sekarang, ya?" Aku melangkah mendekati pintu, tapi satu tangannya mencengkeram.
Pintu ditutupnya dengan kasar. "Nay, kamu cantik banget. Putih, mulus, bersih," puji Kak Ijul sambil menatapku.
"Makasih, Kak. Tapi kalau gini nanti dikira apa sama orang," elakku kala tangannya mengelus pipi.
Kak Ijul tak menyahut, malah mendorongku ke kasur kapuk kemudian turut menunduk. Dalam keadaan tak berjarak, aku bisa melihat sepasang matanya yang memerah. Astaga, pasti dia sedang mabuk! Bodohnya aku!
Harusnya tadi aku membawa mie itu ke kamar dan mengunci pintu. Pikiranku tentang Kak Ijul yang akan pergi bekerja ternyata salah.
"Kak." Aku mendorong kedua bahunya.
"Ssst!" Kedua tanganku dicengkeramnya merapat ke lantai. Aku ingin memberontak, tapi tubuhnya sudah tepat di atas dan berat. Aku ingin berteriak, tapi mulutnya yang menjijikkan tak jua melepaskan kecupan meski kepalaku terus bergerak menghindar.
"Kalo kamu teriak, aku tinggal bilang kamu yang menggoda duluan. Semua orang pasti akan percaya karena kelakuan Yuni. Diam!" ancamnya.
Tenagaku yang tak seberapa harus kalah meski terus berusaha melawan. Hanya air mata yang terus berjatuhan saat kehormatanku harus direnggut paksa.
Detik-detik berubah menjadi sangat lambat dan menghunuskan belati-belati tajam ke dalam dada. Hancur sudah masa depanku, takkan ada lagi pria yang mau menerima.
Aku tak bisa menjaga, aku salah, aku terlalu lemah!
Bab 1 Lemah
13/10/2021
Bab 2 Mati Rasa
13/10/2021
Bab 3 Perceraian Kak Yuni
13/10/2021
Bab 4 Bungkam
13/10/2021
Bab 5 Biar Menjadi Rahasia
13/10/2021
Bab 6 Salah Langkah
16/11/2021
Bab 7 Gosip
16/11/2021
Bab 8 Kekacauan
22/11/2021
Bab 9 Karma( )
24/11/2021
Bab 10 Lembar Hitam yang Terbuka
24/11/2021
Bab 11 Ada yang Aneh
30/11/2021
Bab 12 Korban Bully
30/11/2021
Bab 13 Memberanikan Diri
30/11/2021
Bab 14 Alasan Sebenarnya
30/11/2021
Bab 15 Mati Itu, Seperti Apa
30/11/2021
Bab 16 Hilang
30/11/2021
Bab 17 Tragedi
30/11/2021
Bab 18 Depresi
30/11/2021
Bab 19 Pengalaman Manis yang Pertama
01/12/2021
Bab 20 Gila, tapi Waras
01/12/2021
Bab 21 Reaksi Aneh
02/12/2021
Bab 22 Tote Bag Spesial
02/12/2021
Bab 23 Tunas Harapan
02/12/2021
Bab 24 Syok
02/12/2021
Bab 25 Ungkapan
03/12/2021
Bab 26 Ombak Besar
03/12/2021
Bab 27 Dikucilkan
03/12/2021
Bab 28 Romantisme Palsu
04/12/2021
Bab 29 Satu-satunya yang Tersisa
04/12/2021
Bab 30 Neraka Bernama Kesepian
04/12/2021
Bab 31 Pada Akhirnya
05/12/2021
Bab 32 Nekat
05/12/2021
Bab 33 Kebahagiaan (Semu) yang Sempurna
05/12/2021
Bab 34 Overdosis
06/12/2021
Bab 35 Keputusan yang Tak Bisa Dibantah
06/12/2021
Bab 36 Jangan Sakiti Dia!
11/12/2021
Bab 37 Hampir! (+18)
12/12/2021
Bab 38 Cemburu
13/12/2021
Bab 39 Mawar yang Terinjak
14/12/2021
Bab 40 Terjaga
18/12/2021
Buku lain oleh Asy'arie
Selebihnya