Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
6 TAHUN YANG LALU
JAKARTA 10.32; HESTON GRAND ESTATE
"Tuan Gerald! Tuan Gerald!" seru seorang perempuan paruh baya, menggunakan celemek, bergegas ke arah ruang kerja tuannya.
Dia adalah Sati, wanita tua berumur 70 tahunan yang telah mengabdi seumur hidupnya menjadi pelayan setia keluarga Heston.
Dia bergerak secepat tungkainya bisa, lalu membuka pintu ruang kerja majikannya itu dengan nafas tersengal-sengal, benar-benar terlihat panik. "Tuan! Apa sudah lihat berita terbaru!?" tanyanya lantang
"Bi Sati astaga! Tidak perlu berlari lari seperti itu, Bi!" ucap Dera.
Dera sang istri majikannya, menghampiri Bi Sati dan membantunya menjaga keseimbangannya saat hampir terjatuh. Dia terlihat lesu, sepertinya telah mendengar kabar baru yang menyedihkan itu.
"T-tapi, Ra, ini...." katanya terengah sembari mencekal tangan Dera kuat. "Den Carlton. Aden ada apa, Ra?"
Kedua orang di dalam ruangan itu langsung menghela nafasnya panjang. Mereka kembali menatap koran yang tergeletak di atas meja kerja Gerald, majikannya dengan sedih, melihat kembali berita mengejutkan yang telah menghancurkan hari mereka.
Dera kembali menatap Bi Sati lalu menggeleng pelan "Sayangnya, Bi. sepertinya apa yang tertera di sana, memang benar."
***
NEW YORK CITY 10.42 AM; CAMPUS CAFETERIA
"You're crazy! Kau benar-benar gila! Apa yang sebenarnya kau sedang pikirkan, Ton!?" tanya seorang laki-laki melengking tinggi sembari melempar sebuah gulungan kertas koran ke atas meja kantin dengan kuat.
Dia adalah Raymond Howell, laki-laki berumur 22 tahun yang merupakan salah satu dari empat teman milik Carl Heston. Dia terlihat geram, tidak. Lebih tepatnya dia terlihat tidak percaya, tidak percaya akan kebodohan sahabatnya sendiri.
"Apa kau sebegitu sintingnya sampai menolak perusahaan raksasa ayahmu hanya karena ingin menikmati hidupmu dan malas meneruskannya?" tanya Ray sekali lagi masih tercengang.
"Apa kau tidak tahu berapa ratus orang di luar sana yang bisa sampai gila menginginkan posisimu sekarang!?"
Carl Heston, laki-laki yang berada di hadapannya menghisap rokoknya lalu menghembuskan sisa asapnya tinggi ke udara. Menyandar kepada kursi kantin seakan dia tidak tertarik.
"Kau masih membicarakan berita bodoh itu?" tanya Carl Heston malas. "Tidak berguna sekali."
Ray tercengang lebih lebar dibuatnya.
"Aku tahu dia gila, tapi aku tidak membayangkan dia benar-benar segila ini!" kata laki-laki yang lain menimpal dari samping Ray.
Namanya Ethan Lierco, laki-laki yang sama merupakan sahabat karib Carl dan sedang menduduki kursi sebelah Ray. Dia sedang meminum colanya.
Kebiasaan sedari kecil setiap musim panas berkunjung. "Berikan saja kepadaku warisan orang tuamu. Dengan senang hati aku akan mengolahnya untukmu."
Carl tertawa pelan, meremehkan "Hanya warisan, what's the matter?" tanya Carl.
"Kalau orang tuamu hanyalah seorang pemilik warung kecil pinggir jalan, kau bisa mengatakan itu. Tapi orang tuamu itu pemilik perusahaan besar, Carl! Heston Corporation, man!" kata Ray lagi dengan heboh.
Ray benar-benar tidak habis pikir. Kemana pergi otak kecil temannya itu sehingga dia bisa menolak warisan sebesar bertriliun-triliun rupiah hanya karena alasan malas memusingkannya? Dia benar-benar orang gila.
"Lalu? Apakah menjadi dosa aku menolaknya?" tanya Carl datar.
Ray dan Ethan tercengang, sedangkan satu lagi laki-laki di samping Carl mendengus tidak suka.
"Kau terlalu gila bahkan sampai Nix yang bisu saja bisa menanggapi ketololanmu itu," kata Ethan sembari menggeleng pasrah.
Laki-laki yang bernama Nix menatap ke arah ketiga temannya, jengkel. "Tidak ada salahnya aku menimbrung sesekali, bukan?" bela Nix.
Dia bernama lengkap Nix Nielson, anak dari pengusaha produk fashion besar dan merupakan satu-satunya teman Carl yang pendiam. Dia terlalu pendiam hingga teman temannya sendiri bahkan jarang mendengarnya berbicara saat bertemu.
"Tidak apa. Hanya jarang sekali saja," kata Ethan lagi sembari terkekeh kecil. "Tunawicara, kau katakan kepada keparat ini bagaimana dia benar-benar harus mengubah sikapnya sebelum penyesalan menghantuinya nanti."
Nix mendengus. "Tidak tertarik."
Ethan dan Ray menggeleng bersamaan. Sedangkan Carl terkekeh serak.
"Sudahlah. Dia pun mengatakan katanya tidak tertarik. Memang topik ini tidak menarik sejak awal sekali pun. Just forget about it. Ayo minum, aku akan traktir kalian semua."
Ray memutar bola matanya jengah. "Apa kau tidak sama sekali terganggu dengan fakta bahwa wajahmu menjadi trending topic di seluruh media sosial dan beribu-ribu orang di luar sana mencercamu sebagai anak pemalas?"
Carl memutar bola matanya kesal sebagai jawaban atas perkataan dari Ray.
"Bukan maksudku aku tidak menerima warisan itu berarti aku tidak akan bekerja, sialan!" dengus Carl geram. "Maksudku, aku hanya tidak akan meneruskan perusahaan ayahku dan akan memulai perusahaan baruku sendiri nanti setelah lulus. Biarkanlah mereka berbicara sesuka mereka. Pada akhirnya pun aku akan lebih kaya dari pada mereka."
Entah memang karena dia benar-benar mandiri atau memang ketololannya terlalu mendominasi, teman temannya tidak tahu. Tetapi jelas, mereka yakın laki-laki ini sudah kehilangan otaknya. Memilih jalan yang sangat panjang dan memusingkan ketimbang yang sangat mulus dan jauh lebih mudah? Hanya Carl Heston seorang yang mau melakukan hal seperti itu.
"Sepertinya lebih baik aku pergi berkencan dengan Eria saja ketimbang menghabiskan waktuku menemani kegilaanmu," kata Ethan.
Ethan tiba-tiba bangkit dari kursinya. Eria adalah pacar Ethan, wanita berumur 21 tahun yang sekarang sedang berlatih sebagai model di agensinya.
"Dasar budak cinta," dengus Carl tidak suka.
"Lebih baik ketimbang kau yang hanya bisa memainkan wanita dan sibuk menjadikan mereka mantan-mantanmu," kata Nix tiba-tiba sembari mendengus kesal.
Ethan tertawa kencang "Hear that, player!" katanya meremehkan. "Got to go. Bye!"
Dan setelah itu secepat kilat Ethan pergi meninggalkan mereka. Carl dan Ray langsung menatap satu dengan yang lain kebingungan.
"Tumben sekali, Nix. Kau menimbrung pada percakapan tentang Eria," kata Ray sembari mengangkat sebelah alisnya. "You hate her, don't you?"
Nix mendengus sekali lagi. "Terserah aku mau menimbrung atau tidak," kata Nix.
Setelah itu, Nix kembali menyeruput kopi hangat yang telah dipesannya lalu menghela nafas panjang.
"Jadi, bagaimana dengan perkembanganmu dengan Camilia Ramsey?" tanya Nix kepada Carl tiba-tiba.
"Camilia Ramsey? Sejak kapan kau berhubungan dengan wanita es itu?" tanya Ray terkejut.