Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Maaf aku gak bisa datang ke sana, kalau diantar ke rumah sakit saja bisa gak?”
Kubaca sebuah pesan yang baru saja masuk dalam ponselku itu, sebuah pesan yang sudah dapat ku tebak sejak beberapa jam yang lalu.
Dia adalah mas Abyan, pacar yang sejak dua bulan lalu telah berganti status menjadi tunangan sejak ia memboyong keluarganya untuk melamarku. Seorang sarjana kedokteran yang tengah berjuang dalam masa koasnya di sebuah rumah sakit agar dapat mendapatkan sebuah title dua huruf di depan namanya itu.
Koas atau lebih kerennya sering dipanggil dakter muda oleh para perawat, tunanganku itu memang memiliki jadwal jaga yang begitu padat, maklum saja sebelum title itu benar – benar tersemat di depan nama, seorang dokter memang harus digempur habis – habisan untuk meningkatkan kopentensi serta ke tangkasan dalam setiap bertindak menangani setiap pasien.
Ku masukkan sayur sop yang sudah ku siapkan di sebuah wadah itu ke dalam sebuah tempat kedap udara yang nantinya akan ku bawa menuju rumah sakit agar mas Abyan dapat memakannya pada waktu istirahatnya nanti, selama beberapa hari ini tunanganku itu memang tidak pernah sempat untuk datang berkunjung ke kosanku yang berada tak jauh dari rumah sakit.
Jangan berpikiran negative dulu, kosan khusus perempuan yang telah kutinggali sejak pertama datang ke Jakarta untuk menjadi mahasiswa baru ini cukup ketat penjagaannya, namun juga memberikan fasilitas yang sangat baik, ibu kosan sengaja memberikan sebuah space khusus di depan untuk memudahkan para penghuni kos bila sedang kedatangan tamu lawan jenis namun tetap harus mematuhi peraturan yang berlaku yaitu tidak boleh melebihi batas jam malam dan tidak boleh bertindak asusila.
Kututup rapat wadah berisi sop sayur itu tak lupa juga membawakan nasi yang ku letakkan di wadah lainnya sebelum ku masukkan keduanya ke dalam tas kain yang sengaja ku beli pada saat berbelanja di sebuah supermarket.
Dengan memanfaatkan keberadaan ojek online aku dapat sampai di rumah sakit tanpa membutuhkan waktu yang lama, ku tatap bangunan rumah sakit dua lantai dengan gedung yang sangat besar itu. Hatiku selalu berdesir saat memandanginya, ahh betapa bangganya aku pada calon suamiku itu.
Kakiku melangkah menuju sebuah taman kecil yang berada di tengah – tengah gedung rumah sakit, sebuah taman yang biasanya dimanfaatkan oleh para keluarga yang ingin mencari udara segar setelah seharian menunggu sang keluarga yang sakit di dalam ruangan.
Belum sempat kakiku melangkah menuju sebuah kursi kosong yang menjadi incaranku saat mataku tak sengaja melihat sosok lelaki dengan jas putihnya tengah asik mengobrol dengan seorang perempuan berbaju pink, baju khusus untuk para psien rumah sakit itu.
Mataku memincing, memastikan jika sosok yang kulihat itu memang orang yang saat ini sedang ingin ku temui. Dan benar saja, dia adalah mas Abyan yang sedang mengobrol dengan sosok perempuan yang dapat aku tebak jika itu adalah Nada.
Nada gadis manis yang selama beberapa bulan ini sering diceritakan oleh mas Abyan padaku, sosok gadis manis yang sedang berjuang melawan kanker darah atau lebih sering di sebut dengan Leukimia. Mas Abyan sangat terbuka denganku, dia selalu menceritakan apa saja yang terjadi di rumah sakit temasuk pertemuannya dengan sosok gadis bernama Nada itu.
Aku dapat melihat senyum merekah yang terbit pada wajah pucat gadis itu, senyum yang sangat manis cukup memberi warna sendiri di wajah pucat dan bibir keringnya.
Dan satu hal yang saat itu membuatku semakin menguatkan apa yang selama ini ku artikan dari setiap cerita – ceita yang keluar dari bibir mas Abyan dan dalam beberapa kali kesempatan aku melihatnya melihatnya sendiri dari jarak pandang yang cukup dekat meskipun tidak pernah berkenalan secara langsung.
“Gadis itu tak hanya menganggapnya sebagai dokter,” gumamku.
Ku lihat mas Abyan yang nampak sesekali melirik pada ponselnya lalu kembali berbicara pada gadis itu sebelum akhirnya kembali memasuki koridor rumah sakit meninggalkan gadis itu sendiri yang terus menatap kepergiannya tanpa berpindah seinci pun dari tempatnya berdiri.
Ku putuskan untuk mendekatinya, baiklah sepertinya aku memang perlu mengenalkan diri padanya, pikirku saat itu.
“Selamat siang, Nada,” sapaku membuatnya segera memalingkan pandangannya pada punggung mas Abyan yang sudah menghilang di balik tembok.
Gadis itu menatapku dengan pandangan penuh selidik dan wajah yang begitu datar, aku tersenyum kecil mengingat kembali bagaimana mas Abyan bercerita saat kali pertama bertemu gadis ini, dia memang begitu datar dan terkesan sangat jutek pada setiap orang yang baru ditemuinya, namun satu yang aku ketahui dari mas Abyan bahwa gadis ini sangat baik.
“Perkenalkan saya Nadira,” ucapku lagi sembari mengulurkan tangan padanya terlihat dia masih menatapku dengan pandangan datarnya namun kemudian mulai mengangkat tangannya dan membalas uluran tangan dariku.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” adalah pertanyaan pertama yang keluar dari bibir pucatnya.
Aku menggeleng pelan, “Tidak,” jawabku.
Kulihat dahinya berkerut, “Dari mana kakak tau namaku?” tanyanya lagi.
“Aku mengenalmu dari dokter Abyan,” jawabku lagi dan sontak membuat mimik wajahnya menjadi tidak sedatar tadi, ada sedikit lengkungan kecil dari kedua sudut bibirnya kala aku menyebut nama mas Abyan.
“Dokter bercerita tentangku?” tanyanya dengan sedikit rona merah yang muncul di pipi pucatnya.
Aku kembali mengangguk, “Iya, dokter Abyan sering bercerita tentangmu.”
Dia kembali menatapku, “Tapi kakak siapanya dokter Abyan?”
Aku tersenyum, dalam hati aku bersorak sorai. Ini adalah moment yang sangat ku tunggu dimana dia menanyakan siapakah gerangan diriku yang selalu menjadi wadah seorang Abyan untuk bercerita.
“Aku tunangan dokter Abyan,” jawabku dengan senyum termanis diwajah, dan dapat kulihat wajahnya menjadi sedikit tegang sorot matanya mulai tak fokus dan sesekali menatap objek lain, ku tebak jika sekarang gadis ini pasti sangatlah terkejut.
“Dokter Abyan punya tunangan?” tanyanya seakan tak percaya.
Aku mengangguk lagi, “Iya,” jawabku sembari membuat sedikit gerakan kecil pada tanganku agar dia melihat sebuah cincin emas yang melingkar pada jari manisku, cincin emas pemberian dari mama mas Abyan, calon ibu mertuaku.
“Aku tak tau jika dokter Abyan punya tunangan,” ucapnya pelan dengan tubuh yang sepertinya mulai bergetar.
“Sekarang sudah tahu,” gumamku pelan.
“Aku permisi dulu, senang dapat bertemu denganmu,” ucapku hendak pergi dari hadapannya saat kembali terdengar suara dari bibirnya, “Tapi dokter tidak memakai cincin di jarinya? Apa kau membohongiku?” ucapnya dengan penuh selidik, dapat kulihat kilat kemarahan di matanya.