Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Namaku Marilyn. Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara, yang kesemuanya adalah perempuan. Madeline adalah kakak sulungku. Orang-orang menjulukinya Miss Perfect. Karena menurut orang-orang, kakakku itu sempurna dan maha segala. Maddie, begitu biasanya kakakku disapa, sangat cerdas, teliti dan cekatan dalam segala hal. Ditambah dengan kecantikannya yang bersinar terang bagai cahaya mercusuar, tidak ada satu laki-laki pun yang sanggup menolak pesonanya. Dalam keluarga kami, Maddie adalah seorang ratu. Segala titahnya adalah mutlak dan wajib untuk dilaksanakan.
Maureen adalah adik bungsuku. Kami sekeluarga sepakat menjulukinya Miss Glow In The Dark. Reen, biasanya adikku ini disapa, memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dengan IQ yang nyaris mendekati sempurna, Reen menonjol di antara gadis-gadis lainnya. Jika para wanita kebanyakan menonjol karena kecantikan ataupun keseksian mereka, Reen berbeda. Adikku ini mempesona dengan kecerdasan dan kepercayaan dirinya. Kelebihannya ini sangat mendukung karirnya sebagai seorang pengacara muda yang bertalenta. Dengan tatapan khasnya yang sangat intimidatif, Reen sukses setiap kali membantai musuh-musuhnya di pengadilan.
Dan di antara bersinarnya mereka berdua, aku bagaikan sebatang korek api basah nan redup. Aku tidak memiliki kelebihan apapun di antara kedua saudariku, selain kecantikanku yang di atas rata-rata.
Tetapi menurut kedua saudariku, kecantikanku itu bukanlah suatu hal yang perlu dibanggakan. Karena kecantikanku itu kebetulan diturunkan secara genetika oleh kedua orang tuaku. Bukan karena kerja keras apalagi prestasi. Aku tidak perlu melakukan apapun untuk meraihnya. Jadi apa hebatnya? Kecantikan hibahan tanpa perlu kerja keras adalah istilah favorit mereka berdua.
Sedari kecil, ibuku sangat bangga dengan semua talenta yang dimiliki oleh kakak dan adikku. Sampai-sampai ibuku lupa bahwa dia juga memiliki aku sebagai anak kandungnya.
Masih begitu terpatri dalam ingatkanku, kejadian-kejadian sewaktu kami semua masih di Sekolah Dasar. Saat itu kami menghadari acara ulang tahun salah seorang rekan kerja ayahku, di salah satu hotel megah dan mewah. Karena ayahku saat itu mempunyai keperluan lain, ayah berangkat ke acara terlebih dahulu.
Ayah berpesan pada ibu, agar kami semua menyusul saja ke tempat acara. Ayah akan menunggu kami di sana. Dan sepanjang hari itu, aku dan kedua saudariku sangat gembira. Jarang-jarang kami mendapat undangan di tempat mewah seperti acara ini. Dalam benak kami, akan ada kue-kue cantik yang lezat, namun sayang untuk dimakan. Kami bertiga memang cenderung tidak tega memakan kue yang bentuknya indah-indah. Kasihan kuenya bukan?
Waktu yang dinanti akhirnya tiba juga. Dengan memakai pakaian-pakaian terbaik yang kami miliki, ibu membawa kami bertiga ke tempat acara. Maddie memakai gaun princess berwarna merah muda yang cantik. Rok tulenya yang mengembang sempurna, membuat kakakku itu bagaikan seorang putri. Begitu juga dengan Reen. Gaun biru muda melambainya, membuat adikku itu seperti Cinderella. Gaun Cinderella berwarna biru bukan?
Sementara aku menggunakan gaun yang entah apa sebutan warnanya. Kalau disebut putih, tidak juga karena ada kuning-kuningnya. Tapi kalau disebut kuning, ya tidak bisa juga. Karena dasarnya gaun ini berwarna putih. Namun karena kelamaan disimpan di lemari gaun ini berubah warna menjadi kekuningan. Ya, gaunku adalah gaun bekas Maddie yang sudah tidak muat lagi. Sudah menggantung sebetis jika dikenakan olehnya. Makanya gaun ini diberikan kepadaku. Sebenarnya aku sedikit sesak napas juga mengenakan gaun ini karena kesempitan. Tetapi karena hanya tersisa satu gaun itu yang layak pakai, makanya aku memaksakan diri memakainya. Karena aku sangat ingin ikut ke acara.
Ketika kami tiba di lokasi acara, ibu menggandeng tangan Maddie dan Reen di sepanjang koridor hotel, menuju aula tempat acara diadakan. Dan seperti biasa, aku tetap berjalan dalam diam, di belakang mereka bertiga. Sebenarnya aku merasa iri dan ingin digandeng juga. Tetapi tangan ibu hanya dua. Jadi pasti tidak cukup untuk menggandengku juga.
Di sepanjang koridor hotel aku mendengar celotehan riang kakak dan adikku. Mereka menanyakan hal ini dan itu, sembari menunjuk segala dekorasi di sepanjang koridor hotel. Ibuku dengan sabar menjawab pertanyaan mereka satu persatu. Sesekali ibuku tertawa bila pertanyaan kakak dan adikku terasa lucu olehnya. Pemandangan ini sudah biasa aku saksikan setiap hari. Ibuku sangat menyayangi kakak dan adikku.
Ketika aku ikut menanyakan mengapa karpet yang lalui sepanjang jalan berwarna merah, ibu mengabaikannya. Ibu seolah-olah tidak mendengar pertanyaanku. Padahal suaraku sudah cukup keras. Tidak puas, aku menarik tangan ibuku. Mencoba meraih perhatiannya. Ibu malah menepis tanganku dan memarahiku. Ibu mengatakan agar aku jangan banyak bertanya dan jangan nakal. Padahal aku hanya bertanya satu kali. Sementara kakak dan adikku memborong semua pertanyaan. Dengan apa boleh buat, aku kembali diam dan mengikuti langkah mereka bertiga dari belakang.
Sembari berjalan, aku memperhatikan gerak-gerik anggun ibuku. Ibuku, adalah ibu yang paling sempurna di dunia. Ibu itu cantik, lembut, pintar sekaligus sangat cekatan. Untuk kategori seorang ibu idaman, mungkin ibuku adalah juaranya. Ibuku adalah ibu impian bagi semua anak, kecuali bagiku. Untukku, ibu rasanya begitu sulit untuk kugapai. Aku sendiri bingung. Mengapa rasa-rasanya ibu sangat tidak mencintaiku.
Sesampai di aula, ruangan telah ramai oleh tamu-tamu yang sebagian besar pernah kulihat. Mereka adalah rekan-rekan kerja ayah. Beberapa di antara bapak-bapak dan ibu-ibu berpakaian bagus itu, sebagian besar pernah datang ke rumah menjumpai ayah. Makanya aku mengenali beberapa di antaranya.
Di saat kami semua sedang mengagumi meriahnya acara, seorang ibu-ibu cantik berkebaya merah muda menghampiri kami bertiga.
"Lho, istri Pak Teddy ini ya?" tanya ibu-ibu cantik itu pada ibu. Sepertinya ibu itu mengenal ayahku. Ibu segera menyalami ibu-ibu cantik itu sembari tersenyum ramah.
"Benar, Bu. Kenalkan, saya Marissa. Seperti yang Ibu katakan tadi, saya adalah istri Pak Teddy," tukas ibuku ramah.
"Saya, Hera. Rekan kerja Pak Teddy," Bu Hera menyambut uluran tangan ibuku.
"Oh iya, ngomong-ngomong dari mana Bu Hera tahu kalau saya adalah istri Pak Teddy?" tanya ibuku.
"Oh, saya pernah melihat photo Bu Rissa dan anak-anak Ibu di ruangan Pak Teddy. Ngomong-ngomong panggil saja saya Hera. Dipanggil Ibu, kok saya jadi mendadak merasa tua," imbuh Bu Hera sembari tertawa.