icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gundik Suamiku
5.0
Komentar
18.5K
Penayangan
21
Bab

Wanita yang terlihat baik, belum tentu baik juga kelakuannya. Itulah yang kulihat dari gundik suamiku. Ia rela menjadi yang kedua dan merusak rumah tangga orang. Hanya karena belum bisa melupakan masalalu bersama suamiku. Padahal, dia sudah menikah, dan dengan gamblang ia memilih meninggalkan lelakinya hanya demi kembali bersama suami orang. Apa yang membuat dia senekat itu? Naluri sebagai seorang istri menuntunku mengungkap semua tabir yang membuat mereka bersatu kembali karena cincin berlian yang kutemukan. Yuk baca kelanjutannya!

Bab 1 Cincin Palsu

"Jeng, coba lihat, tadi malam aku di kasih kado cincin berlian loh sama suamiku," ucapku pada Ibu-ibu arisan yang biasa disebut Jeng. Seraya menunjukan cincin cantik nan berkilau yang tersemat di jari manisku.

"Wah, cantik banget ya, Jeng. Harganya berapa? Kepo dong kita-kita, iya nggak Jeng?" sahut Jeng Lina sambil mencolek lengan Ibu-ibu lainnya.

"Murah kok, Jeng. Suami aku bilang, cuman 400 jutaan harganya," jelasku dengan senyum merekah.

"Wah, emang suami idaman banget ya, eh Jeng Selin, kamu 'kan punya toko perhiasan tuh, paham dong mana yang asli dan mana yang bukan." kali ini Jeng Marisa yang menimpali. Dia memang agak sensi kalau punya barang-barang mahal. Orang bilang mah syirik istilahnya.

"Mana coba, lihat." Jeng Selin menelisik jemariku. Tentu aku tak keberatan. Dan dengan percaya diri menunjukkan cincin ini pada mereka. Biar bungkam mulutnya. Enak saja main nuduh asli atau bukan. Dasar mulut kompor. Iri? Bilang bos!

Jeng Selin tentu menatap lekat-lekat cincin ini. Tak segan. Aku pun melepas cincin ini dari jari manisku.

"Nih cek aja kalau nggak percaya," kuletakan benda cantik itu ke telapak tangan Jeng Selin. Ia langsung memperhatikan detail.

Beberapa saat kemudian ....

"Maaf ya, Jeng. Sebelumnya, keknya ini palsu deh, soalnya kilauannya agak beda gitu, kalau asli mah udah terpancar cetar gitu, meski nggak pake alat pendeteksi." jelas Jeng Selin lalu mengembalikan cincin itu padaku.

Jeng Lina dan Marisa terlihat berbisik dengan mulut mencibir ke arahku. Aku yakin mereka sedang mengejekku. Aku pun tak percaya dengan yang dibilang Jeng Selin. Nggak mungkin cincin ini palsu. Mas Ari nggak mungkin lah beliin aku barang KW. Secara, dia kan CEO di perusahaan sendiri.

"Jeng, nggak mungkin ya, ini palsu. Jangan asal ngomong ya, nggak mungkin suami saya beliin saya barang KW." tekanku sebal.

"Kalau Jeng Vina nggak percaya, coba cek aja di toko berlian. Semoga aja saya yang salah menilai ya, Jeng." Jeng Selin bicara lagi. Sedangkan si Marisa dan Lina, mereka berdua sesekali berdecih dan tertawa kecil.

Semakin muak aku berada di sini.

"Ya udah ya, Jeng. Aku pamit pulang dulu, gerah lama-lama di sini," alibiku.

"Iya, Jeng. Lain kali kita ngobrol-ngobrol lagi ya," ucap mereka serentak.

Aku menanggapinya dengan anggukan.

Gegas aku pergi meninggalkan rumah Marisa. Tujuanku hendak ke toko berlian. Untuk memastikan apa yang dibilang si Selin itu salah.

*

"Maaf, Bu. Ini cincinnya KW." ucap karyawan toko berlian yang cukup terkenal di kota ini. Seketika mataku melebar sempurna.

"Yakin, Mas? Itu palsu?" tanyaku memastikan.

"Iya, Bu. Ini ada suratnya tidak? Kalau ada 'kan bisa tahu harganya dan di mana belinya," tambah lelaki muda itu. Sambil mengembalikan cincinku.

Tak ingin menanggung malu yang semakin menjadi. Kuputuskan untuk beringsut pergi dari toko ini.

Benar-benar memalukan. Tega sekali Mas Ari membelikan aku barang palsu.

*

Aku pulang ke rumah untuk mencari surat cincin ini. Karena semalam ia tak memberikan surat itu padaku. Jikalaupun ada, pasti ini asli. Dan jika tak ada, memang dia minta di bejek-bejek. Jengkel sekali aku. Awas saja jika Mas Ari berani berbohong.

Kuraih jas yang tergelak di atas sofa. Siapa tahu suratnya ada di sini. Kebetulan juga Mas Ari sedang di kantor. Aku jadi lebih leluasa untuk mencari bukti tentang cincin memalukan itu.

Benar saja, setelah kuraba-raba seluruh saku di jas berwarna hitam pekat tersebut. Tepat di saku sebelah kiri. Ada sesuatu yang mengganjal. Cepat kurogoh dan mengeluarkannya dari dalam sana.

Kotak kecil berwarna merah membuat mataku melotot.

Saat kubuka, isinya semakin membuat mata ini hendak melompat dari pelupuknya.

Lantas kuambil benda itu dan memperhatikannya lama. Cincin berlian? Ini untuk siapa? Kenapa mirip sekali dengan punyaku yang barusan dibilang palsu sama orang-orang.

Astaga! Aku kian tercengang. Melihat nama yang diukir di ring cincin ini. "Marisa." Namanya Marisa? Marisa siapa? Jangan-jangan Mas Ari selingkuh sama Marisa lagi? Lagian tadi dia yang paling antusias mempermalukan aku. Ya Allah, kok aku jadi berprasangka buruk begini.

Argh! Tapi bukti sudah jelas. Mas Ari tega membohongiku.

Aku tak percaya, tapi ini kenyataannya.

Kututup kembali kotak cincin ini. Dan merogoh lagi saku jas yang membuatku dongkol.

Secarik kertas kecil kutemukan. Lantas aku membacanya. Dengan dada naik turun menahan emosi.

Tertera angka lima ratus lima puluh juta di sana. Lengkap dengan biaya ukirnya.

Tanganku mengepal keras. Ingin sekali membogem mulut Mas Ari. Tahan! Tahan!

Aku paling anti dengan yang namanya perselingkuhan. Bagiku lelaki tukang selingkuh itu adalah sampah. Dan pantas untuk dibuang.

Aku mengembalikan dua barang sial*n ini kembali ke tempatnya semula. Agar aku bisa menyelidik lebih dalam.

Sebenarnya niat hati ingin menukar cincin ini. Tapi sayang, di situ tertera namanya. Pasti Mas Ari curiga padaku, jika cincin itu sampai berbeda dari aslinya. Atau ... lebih baik aku ukir saja cincin KW milikku dan menukarnya. Enak saja! Aku dikasih barang palsu. Sedangkan gundiknya ... mendapat berlian berharga fantastis. Harusnya tuh perempuan yang jadi selingkuhannya Mas Ari dapet rongsongkan saja.

Kuulurkan lagi tanganku ke dalam saku. Tentu aku mengambil cincin tersebut beserta suratnya. Lagi pula, ini belum sore. Jadi, Mas Ari masih agak lama pulangnya. Cepat kusambar tas yang tergelak di atas meja rias. Dan memasukan cincin ini ke dalamnya. Aku harus buru-buru pergi ke tempat temanku. Kebetulan ia juga punya usaha tentang aksesoris. Lagian 'kan, cincin yang akan aku tukar 'kan palsu. Jadi, cari tempat pengukiran yang murah saja.

Aku jadi tidak sabar, jika benar Mas Ari selingkuh dengan Marisa. Akan aku buat mereka menyesal telah bermain api di belakangku. Dan juga, akan kupermalukan Marisa dengan cincin palsu yang nanti kutukar ini. Biar tahu rasa dia! Aku juga baru ingat, besok 'kan ada pesta ulang tahun anaknya temanku juga temannya Marisa. Pasti Marisa juga akan datang. Siap-siap besok membalas cibirannya tadi.

Tak ingin membuang-buang waktu. Lantas aku pergi ke tempat temanku. Yang jaraknya lumayan dekat dari sini. Bersiaplah mati kutu kau Marisa!

*

Seperkian menit dari rumahku. Akhirnya aku sampai di toko aksesoris, alias toko emas KW yang menjual berbagai macam rupa keperluan wanita.

"Eh, Nadif. Kamu bisa 'kan? Ukir cincin ini nggak?" tanyaku pada Nadifa, teman semasa kecil dan hingga sekarang kami masih berhubungan baik. Kuangsurkan cincin berlian yang diberikan Mas Ari padaku.

"Apa sih, Vin. Yang temen lu nggak bisa." kelakar Nadif. Jemarinya menggapai cincin yang sedari tadi menggambang di awang. Ia memperhatikan cincin itu sebentar. "ini mau diukir kayak apa, Vin?"

"Tolong ukirin cincin ini, sama seperti nama yang di sini. Terus tolong kasih surat palsu yang sama dengan surat ini." jelasku rinci. Nadif mengangguk paham. Dan lantas kuberikan surat beserta cincin asli yang terukir nama Marisa itu.

"Hah, Marisa?!" mata Nadif sontak membeliak melihat nama yang tertera di sana. Tepat di ring cincin.

"Iya, Dif. Plis tolong aku ya, kerjain tadi apa yang aku minta. Waktunya nggak banyak." kataku was-was. Ya, aku takut jika Mas Ari buru-buru pulang. Meski masih beberapa jam lagi. Namun, inikah rasanya mengambil barang diam-diam. Kalau dibilang maling sih, bukan. Tetapi, apa ya, namanya? Jika mengambil barang tanpa izin. Ah, biarlah, kurasa ini hakku. Enak saja, lelaki bergelar suami itu memberikan berlian mahal kepada orang lain. Sedangkan istrinya dibelikan KW. Sangat keterlaluan bukan! Ingin kupotong saja belalainya itu. Geram.

"Tapi, sebenarnya ada apa, Vin? Kenapa cincin ini namanya Marisa?" tanyanya lagi. Ampun deh, selain bawel, wanita yang usianya sama denganku itu tukang kepo juga.

"Udah deh, Dif. Nanti aku jelasin. Ini menyangkut masa depan rumah tanggaku."

"Iya-iya, tunggu ya, pasti aku buatin semirip mungkin." akhirnya, ia berhenti nyerocos dan mengerjakan keinginanku. "tunggu ya, aku ke belakang dulu." pamitnya kemudian. Yang kubalas dengan anggukan.

*

Kutatap lekat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah satu jam menunggu. Sedari tadi banyak pembeli yang berlalu lalang di depanku. Namun sama sekali tak mengurangi getir di dalam hati. Toko milik Nadif lumayan besar, ia punya lima karyawan. Tadi aku memang sengaja, menyuruh Nadif sendiri yang mengukir cincin itu. Aku percaya, tangannya mampu membuat apa yang aku inginkan.

"Nih udah jadi, bengong aja lu, kesambet demit baru tahu rasa!" lamunanku terbuyar mendengar suara Nadif yang agak cempreng. Gegas kuhampirinya yang sudah berposisi dengan tangan di atas etalase kaca.

"Mana?"

"Nih lihat, mirip banget 'kan? Nadif gitu loh." ia tertawa dengan pedenya.

Tak kuindahkan kata-katanya. Jemariku sibuk mengangkat cincin itu dan memperhatikannya lama.

"Sempurna!" ucapku. Lantas berganti memperhatikan surat yang juga palsu bikinan Nadif. Kuakui, semua memang mirip sekali. Rasain kamu Marisa, pake barang KW. Nggak bakal ikhlas aku, kalau kamu pake sepeserpun uang atau barang pemberian suamiku.

"Jangan lupa bayar!" decih Nadif setengah berteriak.

"Berisik! Ntar gue transfer. Sekarang aku harus buru-buru pulang nih," semua barang-barang penting ini kumasukan dalam tas. Dan lantas membawanya pergi.

"Hati-hati, Vin." terdengar teriakan Nadif sebelum aku masuk ke dalam mobil.

*

Kupercepat laju mobil ini membelah jalanan kota yang lumayan ramai.

Mataku terbelalak saat tiba di pekarangan rumah yang kutempati. Mobil Mas Ari sudah terparkir di sana. Itu artinya Mas Ari sudah pulang. Oh Tuhan, bagaimana ini?

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Nur Jayanti

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku