Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Rahasia di Koper Suamiku

Rahasia di Koper Suamiku

Nur Jayanti

5.0
Komentar
35.3K
Penayangan
41
Bab

Ketika seorang suami menyembunyikan suatu hal yang membuat biduk rumah tangganya hancur berantakan. Sebuah benda kepunyaan seorang wanita teronggok dalam koper sang suami. Dan benda itu menuntun Dewi, seorang istri yang nyaris sempurna membuka tabiat buruk sang lelaki. Sanggupkah Dewi bertahan dengan kecewa, ataukah ia malah membalas perlakuan suaminya?

Bab 1 Sebuah Benda

Bab 1

Mataku membola, menatap seonggok benda kepunyaan wanita berada di dalam koper suamiku. Untuk apa ia membeli pembalut? Apa ia sengaja membelikannya untukku? Tapi, jika ini untukku. Kenapa jumlahnya hanya dua biji saja.

Pintu kamar mandi terbuka lebar, bersama munculnya lelaki berambut basah. Ya, Mas Hakam--suamiku baru saja selesai melangsungkan ritual mandinya.

Setengah jam yang lalu ia baru pulang dari luar kota. Cepat kututup kembali koper hitam legam ini. Oke, pura-pura tidak tahu saja. Akan aku selidiki semuanya diam-diam. Jika benar ia bermain serong di belakangku. Lihat saja akibatnya.

"Mas, bolehkah kopernya aku bereskan?" tanyaku manis. Seolah tidak tahu isi di dalamnya.

Sejurus kemudian. Ia sudah berada di dekatku dan menyambar koper yang tengah kusentuh permukaannya.

"Jangan, Wi! Kamu tidur saja. Biar aku sendiri yang membereskannya. Lagian ini sudah larut malam." sergah Mas Hakam sedikit gugup. Terlihat tangannya yang bergetar. Aku jadi semakin yakin. Jika ada lebih banyak lagi misteri di balik koper itu.

"Oh, oke, Mas. Kamu juga tidur ya," aku meninggalkannya yang masih berdiri di dekat lemari. Cepat kupura-pura mengerjap, meski banyak pikiran yang mengitari kepalaku.

*

Hari minggu, Mas Hakam libur bekerja. Saat ia tengah berada di lantai bawah. Gegas kucari benda yang menjadi sumber kecurigaanku semalam.

Kubuka koper yang tergelak di atas lemari.

Kosong. Rupanya Mas Hakam sudah membereskan isinya.

Pikiranku makin tak tenang. Apa iya, lelaki itu menghianatiku? Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Selama ini dia selalu menjadi suami yang pengertian. Bahkan banyak teman-temanku yang iri akan rumah tangga harmonis kami. Meski belum ada anak, tapi hubungan kami sangat hangat. Ia tak pernah mempermasalahkan soal keturunan. Walaupun usia pernikahan kami sudah 8 tahun lamanya.

Aku dibuat bingung akan situasi seperti ini. Ingin kubertanya perihal pembalut itu, pasti ia akan mengelak.

Ting!

Bunyi notifikasi pada gawaiku menghenyakanku dari lamunan. Aku beranjak dan mengambil benda pipih itu. Lalu menyalakannya, nampak pesan di aplikasi hijau menunjukan nama Fania--teman dekatku.

[Wi, kamu kemarin habis melancong kemana? Aku lihat suamimu di bandara tapi kok sama anak kecil ya, kemarin aku mau tegur dia, tapi aku udah keburu check in.] pesan dari Fania semakin membuat hatiku tak tenang.

Mas Hakam di bandara? Sama anak kecil? Bukankah dia keluar kota menggunakan mobil? Lagi pula kota yang dibilang Mas Hakam tak terlalu jauh, hanya sekitar 3 jam dari sini.

Jemariku lugas mengetik balasan untuk Fania.

[Aku tidak pergi kemana-mana, Fan. Mungkin kamu salah lihat. Kan kamu tahu sendiri, kita belum ada anak.] kirim.

[Tapi, itu benar suami kamu, Wi. Dia sama anak kecil laki-laki kira-kira umurnya 3 tahunan. Di sama wanita pake kaca mata item. Aku kira itu kamu, karena aku lihatnya dari kejauhan.]

[Apa kamu ada bukti? Kalau tidak. Jangan asal menuduh deh, Fan.] balasku. Hatiku dongkol membaca pesan dari Fania, apa dia sengaja mengkompori aku.

Seperkian detik. Sebuah foto dikirimkan Fania.

Tak lama, foto itu terpampang jelas di layar ponselku. Nampak Mas Hakam sedang menggendong anak lelaki, seperti yang dimaksud Fania. Di sampingnya ada seorang wanita yang aku pun tak mengenalnya. Pose mereka sedang berada di bandara. Oh jadi, Mas Hakam membohongiku.

Ya Allah, apa benar dia selingkuh?

Kumatikan layar ponselku. Lalu bergegas menyusul Mas Hakam di lantai bawah.

Tahan Wi, jangan emosi! Selidiki secara cantik. Jika benar, ambil semua aset. Yang sudah susah payah kamu bangun bersama lelaki itu.

Kakiku menapak di dekat sofa. Mas Hakam menyadari keberadaanku. Ia menyambut dengan tersenyum manis.

"Mas, bolehkah aku pinjam mobilmu? Mobilku remnya bermasalah." kataku.

"Mau kemana, Wi?" ia menggapai kunci mobil di atas nakas samping remote TV. "biar Mas antar," tawarnya lalu berdiri.

"Nggak usah, Mas. Aku cuma mau pergi ke Alfa." tolakku pelan.

"Oh, ya sudah. Hati-hati ya," ujarnya lalu memberikan kontak mobil itu padaku.

"Mas, aku pergi dulu ya," pamitku. Segera kumelenggang meninggalkan Mas Hakam.

*

Kupacu kecepatan mobil ini menuju ke salah satu bengkel.

Rencanaku adalah, memasang GPS pelacak jejak. Agar aku tahu kemana pun Mas Hakam pergi.

Baiklah Dewi, semoga rencanamu berhasil.

*

Aku berhenti di bengkel yang cukup terkenal di kota ini. Tentu saja sesuai rencanaku tadi. Ingin memasang GPS di mobil Mas Hakam.

"Mas, tolong pasangi GPS di mobil ini." ujarku pada pegawai bengkel yang tengah sibuk berkutat dengan alat-alat perkakas khas bengkel. Tidak perlu kusebutkan satu-satu apa alatnya, nanti malah nggak selesai-selesai.

"Iya, Mbak. Tapi harganya mahal, Mbak. Sekitar 1 juta 600 sekalian ongkos pasangnya." jawab Mas-Mas bergigi agak maju itu.

"Tak masalah. Nih saya kasih uang 2 juta untuk biaya pasang GPS itu." tanganku merogoh tas yang kubawa dari rumah. Tentu aku mengambil uang. Setelah kupastikan jumlahnya sama seperti yang kubilang tadi. Lanjut kuangsurkan lembaran uang tersebut kepada pegawai bengkel.

Ia menggapai uang yang kuberikan.

"Terimakasih, Mbak. Mbak tunggu di sana saja. Dengan cepat saya akan mengerjakannya." titahnya sambil menunjuk kursi kosong di sebrang sana.

"Oke, tolong dipercepat ya, Mas."

Pegawai itu mengangguk paham.

Lantas aku menunggu di kursi yang ia maksud tadi.

Untuk mengusir rasa jengah. Kumainkan ponsel dalam genggaman tanganku. Kubuka aplikasi berlogo biru. Untuk sekedar berselancar di sana. Aku jarang sekali mengunggah kehidupan pribadiku di halaman facebook atau sosial media lainnya, kecuali tengah bersama teman-teman arisanku.

Tak ada apa-apa di beranda facebookku. Yang ada hanyalah deretan orang pamer dan tukang nyinyir. Yang suka mencela orang lain. Kutekan tombol out. Lalu beralih membuka aplikasi novel online kesayanganku. Sekedar membaca tulisan-tulisan yang mengusir kegundahan atau kadang juga mendapat inspirasi.

"Mbak, udah selesai pasangnya." ucap pegawai bengkel menghentikan aktivitasku membaca rentetan huruf pada gawaiku.

"Oh, ya, bagus." balasku lalu berdiri.

"Silahkan masukan kode ini ke ponsel Mbak. Agar nanti Mbak bisa memantau ke mana pun mobil ini pergi. Hanya lewat ponsel yang mbak pake." jelasnya. Sesuai arahan dari Mas-Mas ini. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk menghubungkan GPS di mobil Mas Hakam dengan ponselku.

Setelah semua selesai. Cepat aku pamit untuk pulang.

"Saya balik dulu, Mas. Makasih." kataku lalu melenggang masuk ke dalam mobil.

"Iya, Mbak."

Kunyalakan mesin mobil ini. Dan melajukannya meninggalkan bengkel.

Sekarang kamu akan ketahuan Mas jika pergi ke tempat yang menjadikan hubungan kita renggang.

Hampir saja aku lupa. Tadi pamitku pada Mas Hakam 'kan pergi ke Alfa. Bisa curiga dia kalau aku pulang tak membawa barang belanjaan.

Oke, Dewi. Beli beberapa stok makanan. Agar lelakimu tak curiga. Bertingkahlah biasa saja. Singkap semua tabir kebenaran secara perlahan dan main cantik.

Kuhentikan mobil ini di parkiran salah satu toko. Kubeli beberapa makanan ringan dan lalu membayarnya. Langkahku tergesa, karena aku sudah terlalu lama pergi. Walau hanya sekedar pergi ke Alfa. Itu kan bohongku pada Mas Hakam. Ia tidak tahu kalau aku pergi ke bengkel memasang alat pelacak di mobilnya.

*

Lima belas menit perjalanan. Akhirnya aku sudah sampai di rumah. Terlihat Mas Hakam terhenyak dengan kedatanganku.

Ia buru-buru memasukan ponselnya ke dalam saku. Dengan raut wajah kelabakan.

"Kok lama ke Alfanya?" ia melontarkan pertanyaan itu padaku.

"Tadi macet Mas. Jalannya." balasku biasa saja. Dalam hati aku curiga. Kenapa Mas Hakam buru-buru menyembunyikan gawainya saat aku datang. Ada apa sebenarnya?

"Wi, aku ijin pergi ya, ada urusan." Mas Hakam bangkit dari sofa dan menghampiriku yang tengah sibuk mengeluarkan beberapa makanan ringan yang barusan kubeli.

"Oh, iya, Mas. Ini kunci mobilnya." kuserahkan kontak mobil pada Mas Hakam.

Ia mengecup keningku sebelum berlalu pergi.

"Hati-hati ya, Mas." ucapku sedikit berteriak saat ia sampai di dekat pintu.

Mas Hakam tersenyum sambil melambaikan tangan.

Tak lama, punggung lelaki itu sudah tak terlihat dari pandangan mataku.

Pergilah Mas, kemanapun kau tidak akan bisa berbohong. Ponsel pintarku akan senantiasa menunjukan kemana arah yang kau tuju Mas.

Aku tersenyum miring membayangkan apa yang akan terjadi pada Mas Hakam. Apakah ia benar ada urusan? Ataukah ada urusan lain yang memancing pertengkaran. Kita lihat saja nanti!

Gawai ini akan membawaku ke tempat persinggahanmu.

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Nur Jayanti

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku