Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani

Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani

GENEVIEVE VARGAS

5.0
Komentar
14.5M
Penayangan
468
Bab

Hari itu adalah hari yang besar bagi Camila. Dia sudah tidak sabar untuk menikah dengan suaminya yang tampan. Sayangnya, sang suami tidak menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian, dia menjadi bahan tertawaan di mata para tamu. Dengan penuh kemarahan, dia pergi dan tidur dengan seorang pria asing malam itu. Dia pikir itu hanya cinta satu malam. Namun yang mengejutkannya, pria itu menolak untuk melepaskannya. Dia mencoba memenangkan hatinya, seolah-olah dia sangat mencintainya. Camila tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia memberinya kesempatan? Atau mengabaikannya begitu saja?

Bab 1 Membalas Penghinaan

Camila Trevino seharusnya menikah hari ini. Namun sial baginya, pengantin prianya tidak ada di mana-mana.

Dia melirik ke arah ruangan yang kosong tanpa adanya tanda-tanda sang pengantin pria, dan wajahnya pun memucat. Dia merasa benar-benar dipermalukan. Camila tidak terima dengan penghinaan ini! Tapi memangnya apa yang bisa dia lakukan?

Sejak dia lahir, semua aspek dalam kehidupannya telah diatur oleh orang lain. Tentu saja, itu termasuk masalah pernikahannya.

Camila dipaksa untuk melakukan pernikahan ini oleh ayahnya, seorang pria yang dikuasai oleh keserakahannya sendiri.

Kakek Camila bekerja sebagai sopir Robin Johnston, sang pemimpin di Keluarga Johnston yang sangat berkuasa. Nasib buruk menimpa kakeknya, mereka terlibat dalam kecelakaan mengenaskan dan kakeknya berakhir meninggal demi menyelamatkan nyawa Robin.

Dalam beberapa bulan terakhir, perusahaan kecil yang dijalankan oleh keluarganya memiliki utang besar di mana-mana. Mereka bahkan nyaris bangkrut.

Meski begitu, ayah Camila yang licik menolak meminta bantuan Keluarga Johnston karena tahu hal itu akan menghapus utang budi mereka kepada Keluarga Trevino. Sebaliknya, dia membuat rencana agar cucu Robin yang bernama Isaac Johnston bisa menikah dengan Camila.

Mengingat kekayaan Keluarga Johnston, mereka pasti akan memberikan sejumlah uang yang besar untuk meminang Camila.

Sebagai tambahan, mereka akan membangun koneksi yang kuat dengan Keluarga Johnston, dan hubungan itu diikat oleh hukum melalui pernikahan tersebut.

Tentu saja, Keluarga Johnston tidak bisa menolak tawaran tersebut, mereka tidak mau mengambil risiko kehilangan muka karena menolak hal itu.

Isaac menunjukkan ketidakpuasannya dengan tidak menghadiri pesta perjamuan ini, meskipun tidak ada orang di luar kedua keluarga inti yang hadir. Dia juga tidak membiarkan Camila menggunakan nama Keluarga Johnston, dan melarangnya untuk memberi tahu orang lain bahwa dia adalah istrinya.

Semua hal itu berjalan dari awal hingga akhir tanpa ada satu pun orang yang terlibat yang menanyakan pendapat Camila.

Kini, dia berdiri dengan punggung lurus dan bahu tegak. Bulu matanya sedikit bergetar, tetapi sorot matanya menyiratkan sifat keras kepalanya. Dia tidak akan menerima penghinaan ini begitu saja!

Namun, bagaimana caranya dia membalas penghinaan ini? Dia masih bertanya-tanya bagaimana dia sebaiknya menghabiskan malam pernikahannya saat dia menerima pesan dari seorang rekannya.

Wanita yang mengirim pesan meminta Camila untuk menggantikan shift malamnya.

Camila tanpa ragu menyanggupi. Dia berjalan keluar dari kamar dan memesan taksi untuk membawanya ke rumah sakit.

Beberapa saat kemudian, dia sudah berada di ruang staf rumah sakit dan memeriksa catatan pasien. Gaun malam yang sebelumnya dia kenakan telah berganti dengan snelli berwarna putih.

Dengan suara keras, pintu tempat dia berada tiba-tiba terbuka dari luar dan menabrak dinding.

Sebelum Camila sempat melihat apa yang sedang terjadi, pintu itu kembali dibanting hingga tertutup. Dia mendengar gerakan seseorang menekan saklar, dan ruangan itu pun menjadi gelap.

Bulu kuduknya seketika merinding.

"Siapa ...."

Dia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat dirinya didorong ke bawah meja. Beberapa alat tulis jatuh ke lantai saat dia merasakan ujung pisau yang dingin dan tajam ditekan ke arah lehernya. "Diam!" bisik penyerangnya dengan garang.

Camila hampir tidak bisa melihat wajah pria itu, meski matanya cukup mencolok. Mata pria itu berkilat di tengah cahaya yang redup, dan tatapannya penuh dengan kewaspadaan.

Bau logam yang tidak asing tercium di udara di sekitar mereka, membuat Camila menyadari bahwa pria ini sedang terluka.

Berkat pelatihan dan pengalaman Camila selama bertahun-tahun sebagai dokter, dia bisa tetap tenang dalam situasi seperti ini.

Perlahan dia melengkungkan salah satu kakinya, berencana untuk menyerang pria itu dengan menggunakan lututnya.

Namun, pria itu bisa membaca pikirannya. Begitu dia merasakan gerakan Camila, dia menjepit kedua kaki Camila secara paksa dan menekankannya ke meja dengan pahanya yang kuat.

Tiba-tiba saja, mereka mendengar suara langkah kaki di lorong di luar ruangan. Langkah kaki itu langsung menuju ke ruang staf.

"Cepat, aku melihatnya pergi ke arah sini!"

Hanya butuh satu jeritan untuk meminta tolong, dan orang-orang di luar sana pasti akan menerobos masuk ke dalam ruangan.

Tidak punya pilihan lain, pria itu menundukkan kepalanya dan mencium Camila.

Camila meronta, dia terkejut saat dia sanggup mendorong pria itu menjauh dengan mudah. Dia semakin terkejut melihat pria itu tidak lagi mengancamnya dengan pisau.

Pikiran Camila berpacu dengan liar.

Pada saat ini, orang yang berada di luar sana sudah memegang kenop pintu dan akan membukanya.

Camila membuat keputusan dalam kepalanya dan segera menarik pria itu ke arahnya dan melingkarkan lengan pria itu di lehernya. Kali ini, giliran Camila yang balas menciumnya.

"Aku bisa membantumu," gumamnya pelan, berharap pria itu tidak bisa melihat ketakutannya.

Pria itu menelan ludah. Butuh beberapa detik hingga dia memutuskan, dan Camila bisa merasakan napasnya yang hangat di telinganya. "Aku akan bertanggung jawab untuk ini." Suaranya rendah dan menawan.

Namun tampaknya pria ini salah paham. Camila hanya bermaksud melakukan semua ini dengan pura-pura. Pria itu tidak perlu bertanggung jawab atas apa pun.

Detik berikutnya, pintu itu kembali terbuka.

Camila dan pria itu langsung beradu ciuman kembali. Camila bahkan mengerang keras dengan suara desahan yang menggoda, seperti yang pernah dia dengar di video porno. Meski mereka berada di tengah kesulitan, pria itu dapat merasakan tubuhnya bereaksi terhadap suara Camila. Dia mungkin akan kehilangan kendali jika orang-orang di pintu itu tidak berbicara.

"Sialan! Ternyata hanya pasangan yang sedang bermesraan. Astaga, mereka bahkan berani berbuat tindakan senonoh di rumah sakit. Dasar tidak tahu malu!"

Cahaya dari lorong memasuki ruangan dan memperlihatkan sosok yang menempel satu sama lain. Tubuh pria itu tertutupi oleh Camila, sehingga wajahnya tersembunyi dari mata orang-orang yang mendobrak pintu.

"Yah, itu jelas bukan Isaac, bajingan itu terluka parah. Tidak peduli seberapa menggodanya wanita itu, aku ragu dia punya tenaga untuk melakukan apa pun padanya."

"Tapi suara wanita itu sangat menggairahkan, bukan?"

"Tutup mulutmu dan keluar dari sini! Kita harus menemukan Isaac secepat mungkin, atau kita bisa dibunuh!"

Terdengar suara derap kaki saat orang-orang itu bergegas pergi, meninggalkan pintu itu tertutup kembali dengan sendirinya.

Pria itu tahu bahwa pengejarnya telah pergi, tetapi saat menyadari bahwa kini mereka sudah ditinggalkan sendiri, dia pun kehilangan kendali. Akalnya berhenti bekerja untuk sesaat, digantikan oleh gelombang nafsu yang menguasai dirinya.

Gelombang nafsu tersebut juga melanda Camila. Entah apakah itu karena kedekatan mereka, atau posisi mereka yang intim, atau mungkin karena pacuan adrenalin yang tiba-tiba, tapi yang jelas, ada sifat memberontak yang tidak pernah Camila rasakan sebelumnya yang kini muncul ke permukaan.

Hingga saat ini, dia selalu menjalani kehidupan abu-abu yang monoton, selalu mematuhi aturan dan rencana yang telah ditetapkan oleh orang lain untuknya.

Kali ini—untuk sekali saja—dia ingin memanjakan dirinya sendiri.

Camila melepaskan semua hal yang menahannya dan membebaskan pria itu untuk melakukan apa pun yang dia mau. Demikianlah, Camila melepaskan keperawanannya dengan pria itu begitu saja, melalui hubungan seks yang kasar dan menyakitkan sebagai pengalaman pertamanya.

Saat mereka selesai, pria itu mencium pipinya. "Aku akan datang padamu," ujarnya dengan suara yang dipenuhi dengan sisa-sisa kenikmatan. Setelah itu, dia pergi begitu saja, sama seperti kedatangannya yang tiba-tiba.

Butuh waktu beberapa saat hingga Camila dapat berdiri kembali. Pinggang dan punggungnya sakit, belum lagi selangkangannya.

Keheningan di ruangan itu dipecahkan oleh suara dering teleponnya. Dia melihat sekeliling dan mendapati ponselnya berada di ujung meja.

Camila mengambilnya sebelum ponsel itu jatuh, lalu menjawab telepon tersebut. "Dokter!" Terdengar suara panik dari seberang telepon. "Seorang pasien baru saja diantar ke ruang gawat darurat. Dia mengalami kecelakaan mobil dan terluka parah. Kami butuh kehadiran Anda di sini untuk memberikan perawatan segera!"

Camila berdeham untuk menstabilkan suaranya. "Baiklah, aku akan segera ke sana."

Dia menutup telepon dan melangkah menuju pintu, tetapi segera menghentikan langkahnya untuk sesaat. Dia menatap dirinya sendiri. Pakaiannya berantakan dan kusut, ditambah lagi ada sesuatu yang lengket di antara kedua kakinya.

Camila tersentak saat menyadari kondisinya saat ini. Dia benar-benar baru saja berhubungan seks dengan orang tak dikenal di malam pernikahannya.

Itu adalah hal paling berani yang pernah dia lakukan!

Namun, sekarang bukan saatnya untuk merayakan perbuatannya ataupun memikirkan akibatnya. Camila merapikan dirinya dan pergi ke unit gawat darurat.

Dia sibuk bekerja sepanjang malam itu.

Pada saat dia akhirnya selesai, waktu sudah hampir pagi. Dia kembali ke ruang staf dan mendapati bahwa ruangan itu masih berantakan seperti saat dia meninggalkannya.

Camila mengepalkan tangannya saat kenangan malam sebelumnya—yang sebenarnya baru beberapa jam yang lalu—memenuhi pikirannya.

"Terima kasih sudah mengambil alih shift-ku, Dr. Trevino." Rekan Camila, Debora Griffith, masuk ke dalam dengan senyum penuh terima kasih.

Camila memaksakan diri untuk tersenyum. "Sama-sama."

"Urusanku sudah selesai, jadi kamu sebaiknya pulang dan beristirahatlah." Debora melirik ke arah kertas-kertas yang berserakan di lantai dan mengangkat alisnya. "Apa yang terjadi di sini? Kenapa lantainya berantakan sekali?"

Camila mengalihkan pandangannya dengan panik dan berkata, "Oh, aku tidak sengaja menjatuhkan semuanya. Tolong bantu aku membereskan semua kekacauan ini. Aku sangat lelah, jadi aku akan pulang lebih dulu."

Debora merasa tanggapan Camila sedikit aneh, tetapi dia tidak terlalu memikirkannya. Mereka saling mengucapkan selamat tinggal, dan dia mulai mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai.

Debora baru saja mulai bekerja ketika direktur rumah sakit muncul di pintu, diikuti oleh asisten Isaac.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku