Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani
Camila menundukkan kepalanya saat dia buru-buru mengambil peralatan medisnya di atas meja. Dia lalu berdeham dan memberinya beberapa petunjuk. Bagaimanapun juga, dia masih merupakan seorang dokter.
"Lukamu tidak boleh terkena air untuk saat ini. Bersihkan lukamu sekali sehari, dan kenakan baju yang longgar agar tidak memperparah lukamu."
Dia mengeluarkan sebotol pil dan juga salep, kemudian meletakkannya di atas nakas tepat di samping ranjang. "Aku akan meninggalkan beberapa obat-obatan ini."
Isaac bergumam pelan untuk menunjukkan bahwa dia memahami perkataannya, tetapi dia tetap tidak membalikkan badannya.
Camila juga tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya dan segera keluar dari vila tersebut.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas siang pada saat dia tiba di rumah sakit. Dia langsung menuju ke arah kantin untuk makan siang. Camila baru saja duduk di mejanya ketika dia dipanggil ke kantor direktur rumah sakit.
"Aku akan mengirim Debora ke RS Military Central untuk magang di sana," kata direktur itu dengan nada yang tegas, tidak menerima bantahan apa pun.
Tentu saja, Camila tercengang mendengarnya. "Tapi bukankah Anda sudah memutuskan untuk mengirim saya ke sana?"
"Camila, aku yakin kamu tahu bahwa semua peralatan berteknologi tinggi di rumah sakit kita ini disponsori oleh PT. Paramount. Pak Johnston telah memintaku untuk menjaga Debora secara pribadi. Tentu saja aku tidak bisa melawan perintahnya."
Camila merasa tersinggung saat dia mendengar nama Isaac disebut. Mereka berdua mungkin memang telah menikah secara resmi, tetapi mereka tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung. Dia hanya pernah melihat suaminya itu sesekali di majalah dan berita yang disiarkan melalui TV.
Isaac dan Debora?
Jantung Camila berdetak dengan kencang, tapi dia tetap berusaha untuk bersikap tenang. "Jadi begitu?"
"Ya, aku khawatir aku tidak punya banyak pilihan dalam memutuskan masalah ini. Dengar, Camila, kita berdua tentu tahu sejauh mana keahlianmu yang sebenarnya, tetapi ...."
Sang direktur sebenarnya ingin menghibur Camila, tetapi tidak yakin bagaimana caranya. Camila memang sangat menonjol dibanding rekan-rekannya, bakat dan etika profesionalnya sungguh luar biasa. Dia bahkan paling menghargainya dibanding yang lainnya.
"Saya mengerti," gumam Camila pelan.
Camila berkata pada dirinya sendiri bahwa dia tidak berada dalam posisi untuk berhak merasa kecewa atas keterlibatan Isaac dalam hal ini. Isaac telah dipaksa untuk menikah dengannya. Tentu saja, dia tidak bisa mengharapkan Isaac untuk peduli padanya.
"Saya masih harus melakukan operasi, jadi saya akan pergi sekarang," ucap Camila dengan nada pasrah.
Camila tahu dengan jelas bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk membalikkan keadaan.
Direktur itu hanya bisa menghela napasnya dengan berat dan melihatnya pergi.
Camila kembali bekerja dengan semangat dalam upaya untuk mengalihkan pikirannya dari perihal magang itu. Dia menyelesaikan operasi keduanya tanpa hambatan sedikit pun, lalu membuang seragam bedahnya dan mencuci tangannya hingga bersih sebelum duduk dengan lelah di kursi.
Saat itulah Debora terlihat berjalan masuk ke dalam ruang tunggu.
"Halo, Camila," sapanya dengan senyum yang cerah. "Apa kamu memiliki waktu luang malam ini? Aku akan mentraktirmu makan malam."
"Maaf, tapi ada urusan yang harus kuselesaikan nanti," ucap Camila menolaknya dengan sopan. Dia tidak terlalu berhubungan baik dengan Debora sejak lama. Hubungan mereka hanyalah sebatas rekan kerja, bukan teman baik.
Keduanya lulus pada waktu yang sama dari universitas yang sama juga.
Karakter Debora bahkan masih sama sedari dulu. Dia sangat kompetitif, suka pamer, dan juga suka menarik perhatian semua orang.
Camila, di sisi lain, lebih suka berbaur dengan sekelilingnya dan tenggelam di dalam buku-bukunya. Orang-orang bisa mengatakan bahwa kedua wanita itu sangat bertolak belakang.
Secara alami, mereka tentu saja tidak rukun.
"Oh, sayang sekali," kata Debora, entah kenapa terlihat menyayangkan setelah mendengar jawaban Camila. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kubicarakan berdua saja denganmu."
Camila lalu berdiri dan pergi ke lokernya untuk menggantung snellinya. "Katakanlah," katanya, bahkan tanpa memandang ke arah Debora.
Fakta bahwa rekannya memiliki hubungan dengan Isaac membuat Camila menjadi semakin ingin menjauhkan dirinya dari Debora.
"Kamu pasti sudah mendengarnya, kan? Aku benar-benar ingin meminta maaf padamu, aku tidak tahu kalau direktur akan ...."
"Tidak apa-apa," potong Camila dengan cepat.
Tapi Debora belum selesai menyampaikan apa yang ingin dia katakan. "Dan juga, bisakah kamu merahasiakan bahwa kamu mengambil alih jam kerjaku tadi malam? Kamu juga tahu, karena aku akan pergi ke RS Military Central, aku tidak ingin hal itu sampai menimbulkan masalah nantinya."
Camila memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya meskipun alasannya terdengar sedikit aneh.
"Tenang saja, aku tidak akan memberi tahu siapa pun."
Lagi pula, wajar saja untuk membantu rekan kerja menggantikan jam kerjanya. Mereka memang terikat untuk menghadapi keadaan darurat pribadi sesekali.
Di luar, di halaman rumah sakit.
Langit sudah mulai gelap dan lampu jalan menyala satu per satu.
Forrest sedang duduk di kursi belakang sebuah mobil mahal berwarna hitam yang sedang terparkir di dekat gerbang. "Yah," katanya, suaranya penuh dengan kebanggaan, "apa pendapatmu tentang juniorku yang satu itu? Dia memiliki keterampilan yang sangat bagus, bukan?"
Di sampingnya, Isaac sedang bersandar di kursinya dengan santai. Dia memikirkan kembali dokter yang telah merawatnya sebelumnya dan mengingat betapa tenang dan terampil tindakannya. Dia sejujurnya sangat kagum dengan keterampilannya.
"Nona Griffith," ucap Willie tiba-tiba.
Isaac menurunkan jendelanya tepat pada saat Debora berjalan menghampiri ke mobil.
Alis Forrest terangkat naik. "Debora?"
Willie memutar badannya dari kursi pengemudi. "Apa kamu mengenalnya?"
Forrest mengangguk dengan rasa penasaran yang terpancar dengan jelas dari tatapannya. "Dia juniorku di universitas dulu."
Isaac menjadi penasaran ketika mendengar hal ini.
Jadi, selain menyelamatkannya tadi malam, wanita itu juga yang telah merawat lukanya?
"Apa ini adalah takdir?" ucap Willie.
Apakah Tuhan akhirnya memutuskan untuk memberi bosnya kesempatan untuk merasakan cinta yang sebenarnya?
"Apa yang sedang kamu bicarakan?" Forrest bertanya sambil mengerutkan kening saat dia melihat bolak-balik di antara dua pria itu.
Tetapi dia tetap tidak mendapatkan jawabannya, karena Debora berada di luar mobil dan langsung menyela pembicaraan mereka.
"Permisi, Pak Johnston."