Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani
Bukankah Isaac yang meninggalkannya di tangan pria bejat itu? Kenapa dia ada di sini? Apa Isaac sengaja datang ke sini untuk mengejeknya dan menertawakan tragedi yang dia alami?
Karena sedang berada di bawah pengaruh alkohol yang cukup kuat, Camila memiliki keberanian yang lebih dari biasanya dan dia menunjuk ke arah Isaac dengan marah. Dia menatap mata pria itu dan tidak merasakan rasa takut seperti yang dia miliki sebelumnya.
"Isaac! Kamu ... bajingan!"
Bibir atas Isaac berkedut, tatapannya memancarkan kilatan yang penuh ancaman.
Baik Willie dan Glenda melangkah mundur dan menundukkan kepala mereka secara bersamaan, bahkan tidak berani bersuara sedikit pun.
Camila berjalan terhuyung-huyung ke arah Isaac dan meraih dasinya, lalu menariknya mendekat padanya. "Apa kamu benar-benar berpikir aku ingin menikah denganmu? Kamu pikir kamu itu siapa?"
Isaac mengerutkan keningnya karena mencium bau alkohol yang sangat menyengat dari napas Camila.
Dia menggenggam pergelangan tangan Camila dengan sangat erat. "Kamu sudah gila," katanya dengan suara yang sangat rendah.
Bagaimana bisa Camila mengikuti orang asing, bahkan ketika orang itu telah menunjukkan ketertarikan seksual padanya?
Isaac sejujurnya hanya mengujinya dan mencoba mendorongnya untuk mengalah, tetapi wanita ini terlalu keras kepala.
Sebenarnya, begitu Camila memutuskan untuk pergi bersama Jaylen, Isaac langsung menyesali perbuatannya. Bagaimanapun juga, Camila masih istri sahnya, meskipun itu hanyalah status. Isaac tidak suka melihatnya berduaan dengan pria lain.
"Kamu yang sudah gila!" Camila membalas, berteriak padanya. Dia mengayunkan lengannya dan berjuang untuk melawannya dengan seluruh tenaga yang dia miliki.
Dia ingin memberinya sedikit pelajaran dan menghukumnya karena telah meninggalkannya sendirian di tangan orang cabul yang aneh!
Raut wajah Isaac semakin gelap dan muram. Dia mengencangkan cengkeramannya di pergelangan tangan Camila dan bergegas menyeretnya ke atas.
Camila terus melawannya sambil berteriak, "Hei! Lepaskan aku! Aku bilang lepaskan! Lepaskan!"
Tentu saja, Isaac menolak untuk mengalah.
Sesampainya di depan kamar, dia menendang pintu kamar hingga terbuka lebar dan melemparkannya ke dalam.
Camila sudah kehilangan keseimbangannya, dan dia langsung jatuh ke lantai tanpa adanya kesempatan untuk bisa melawan. Dia terjatuh dengan lututnya yang terlebih dulu menyentuh lantai, menahan seluruh badannya. Dia mengerang kesakitan.
Suara itu membuat Isaac membeku di tempat dalam sekejap.
Suara itu ....
Suara itu membuatnya teringat kembali pada malam yang menggairahkan di rumah sakit.
Suara istrinya terdengar sangat mirip dengan suara wanita yang dia peluk pada waktu itu.
Mengapa dia tidak pernah menyadari bahwa suara Camila sangat mirip dengan suara Debora sebelumnya?
"Isaac!" Camila menyebut namanya dengan marah.
Dia selalu tahu bahwa Isaac itu sangat kejam dan tidak memiliki hati nurani, tetapi dia tidak pernah menyangka bahwa suaminya sampai melakukan kekerasan terhadapnya.
Sekarang, lututnya tergores dan mulai berdarah.
Isaac tersentak kembali ke akal sehatnya, dan pandangannya segera tertuju pada Camila.
Dia melangkah maju dan berjongkok di depannya. "Kamu sedang mabuk atau tidak?"
Camila tentu saja benar-benar mabuk total. Meski begitu, dia masih memiliki sebagian besar dari akal sehatnya.
Dia lalu menekan kedua telapak tangannya ke lantai dan mencoba untuk membuat dirinya berdiri.
Dia tampaknya telah kehilangan kekuatan di kakinya, dan dia merasa dirinya telah terjatuh kembali bahkan sebelum dia sempat untuk berdiri dengan benar. Camila langsung meraih sesuatu untuk bisa dipegang, bereaksi dengan naluriah.
Untungnya, dia bisa mengambil sesuatu yang kokoh pada menit terakhir sebelum dia terjatuh ke lantai.
Tapi sebelum dia bisa bangkit lagi, dia bisa merasakan suhu udara di dalam ruangan turun drastis menjadi sangat dingin.
Camila perlahan mendongak ke atas dan tatapannya bertemu dengan tatapan Isaac.
Mata Isaac tampak lebih dingin dan lebih berbahaya dari yang pernah diingatnya.
Camila membutuhkan beberapa detik untuk menyadari bahwa sesuatu yang dia pegang itu adalah kaki Isaac yang kuat. Lebih tepatnya lagi, dia sedang mencengkeram celana Isaac.
Jika bukan karena ikat pinggangnya, Camila sudah pasti akan langsung merobek celananya. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa posisi mereka saat ini kurang memalukan. Wajah Isaac sudah memerah bercampur antara rasa jijik dan marah.
Camila dengan segera melepaskan cengkeramannya.
Dia melirik kain celana Isaac yang sudah menjadi kusut dan langsung memalingkan mukanya dengan panik. "Maaf," gumamnya. "Aku tidak bermaksud untuk memegangmu."
"Oh, apa kamu yakin?" Isaac mencibir.
"Tentu saja!"
Tidak, tunggu dulu sebentar ....
Camila kembali tersadar bahwa seharusnya dialah yang marah pada Isaac, jadi dia kembali memelototinya dengan tajam. "Apa maksudmu?"
"Oh, apa kamu mengatakan bahwa kamu tidak tahu orang seperti apa kamu sebenarnya?"
Ejekan Isaac yang begitu sarkastik terasa seperti pukulan fisik bagi Camila. Isaac sempat melihat obat kontrasepsi darurat milik Camila tadi pagi dan langsung berasumsi buruk tentangnya.
Kejadian malam itu tiba-tiba terlintas di benak Camila, membuatnya bergidik. Tetap saja, dia tidak kehilangan ketenangannya. Yang ingin dia lakukan saat ini hanyalah melarikan diri dari penghinaan lebih lanjut.
"Apa kamu tidak memiliki sesuatu yang ingin kamu jelaskan? Kamu ingin berhubungan seks dengan pria mana pun yang kamu temui, bukan?" Isaac tiba-tiba mencengkeram lehernya dan memaksanya untuk menatap matanya dengan serius. "Katakan padaku, bagaimana kamu ingin berselingkuh dariku? Kamu seharusnya menceraikanku saja jika kamu memang ingin tidur dengan pria lain!"
Isaac mengatakan hal itu dengan kejam, kemarahannya memang tidak salah. Lagi pula, memangnya siapa yang berani menyalahkannya?
Diselingkuhi pada malam pernikahan ... mungkin merupakan penghinaan terburuk yang pernah Isaac alami selama hidupnya.
Camila perlahan kehilangan napas saat jari-jari Isaac semakin menekan sekitar tenggorokannya dengan kuat. Wajahnya sudah berwarna merah padam, dadanya juga terlihat naik turun karena dia berusaha keras untuk bisa menghirup lebih banyak udara ke dalam paru-parunya.
Dia mencakar tangan Isaac dan mencoba untuk mengeluarkan beberapa kata. "Lepaskan ... aku ...."
Camila merasa semakin putus asa pada detik itu, dan saat dia sedang berjuang untuk bisa lepas dari cengkeraman Isaac, dua kancing atas blusnya terbuka.
Mata Isaac langsung melayang ke bawah, memperhatikan tubuh Camila yang sedikit terbuka. Branya yang berwarna hitam tidak banyak menyembunyikan payudara montoknya. Hanya perlu satu tarikan kecil dan ....
Camila masih terengah-engah, mencoba untuk menghirup udara.
Sejumput rambutnya jatuh di atas dadanya ketika payudaranya terus naik turun saat dia mencoba mengambil napas dalam-dalam. Itu adalah pemandangan yang sangat memesona untuk dilihat ....
Isaac segera mengalihkan pandangannya saat dia menyadari bahwa dia telah terpesona dengan pemandangan itu. Dia mengerutkan alisnya lalu menelan ludahnya, lubang hidungnya juga terlihat melebar.
Dia bisa merasakan gejolak hasrat yang sangat familier di perutnya, dan instingnya segera berteriak padanya untuk melepaskannya.
Tapi, sepenggal alasan kemudian menimpa pikirannya. Bagaimana bisa dia malah merasa bergairah pada wanita yang tidak bermoral seperti ini?
Pikiran itu memicu amarahnya sekali lagi.
Isaac lalu menarik Camila dan melemparkannya ke atas tempat tidur. Pada titik ini, dia tidak lagi yakin apakah dia lebih marah pada Camila atau pada dirinya sendiri.
Fakta bahwa dia mendambakan tubuh Camila sangat tidak cocok dengannya, dia benar-benar tidak berada dalam akal sehatnya.
Apa dia sudah benar-benar gila sekarang?!
Isaac berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan, membanting pintu kamar dengan keras di belakangnya. Dia menginjak anak tangga dengan marah dan langsung menuju ke pintu utama.
"Pak Johnston." Willie segera berjalan mendekat dan mendatangi bosnya, tapi diabaikan.
Isaac tidak berkata apa-apa dan hanya melangkah keluar vila dengan asistennya yang setia yang segera mengikutinya di belakang.
Kedua pria itu kemudian masuk ke dalam mobil. Willie menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa, kemudian dia menyetir keluar dari kediaman Isaac, meskipun dia tidak tahu ke mana tujuan mereka sebenarnya. Dia melirik bosnya dengan hati-hati melalui kaca spion.
Apa yang salah dengan bosnya? Kenapa dia begitu marah malam ini?
Sementara itu, di dalam vila, Camila berbaring di atas tempat tidur, masih terengah-engah dan berusaha mengatur napasnya menjadi lebih stabil.
Dia menekan tangannya ke dadanya. Dia benar-benar mengira dia akan tamat, dia berpikir Isaac akan mencekiknya sampai mati tadi.
Dia baru pulih dari kejadian mengerikan yang dialaminya ketika merasakan perutnya bergejolak, kemudian asam yang panas mengalir naik ke tenggorokannya dengan cepat.
Camila tahu bahwa dia akan segera muntah.
Dia lalu bergegas berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi dengan buru-buru. Dia menghabiskan beberapa menit berikutnya untuk muntah di toilet.
Camila merasa jauh lebih baik setelahnya, meskipun dia masih merasa sedih.
Dia mencuci mulutnya dan berjalan dengan susah payah kembali ke tempat tidur tanpa repot-repot untuk mandi.
Dia benar-benar sangat lelah malam ini. Matanya mulai terpejam begitu kepalanya menyentuh bantal.
Camila lalu tertidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya di PT. Paramount.
Sekretaris Isaac, Wynter Archer, mendatanginya begitu dia baru saja keluar dari lift. "Pak Johnston, Pak Williams mencari Anda."