Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani
"Nyonya, saya adalah asisten Pak Johnston, Willie. Silakan ikuti saya."
Camila membeku di tempat saat melihat Willie. Suara pria itu membuatnya tersadar kembali setelah sempat linglung, dan dia segera menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Dia tidak ingin pria itu tahu bahwa dia mengenalinya.
Kemarin ketika dia pergi untuk merawat seorang pasien menggantikan Forrest, Willie yang membuka pintu. Dia adalah asisten Isaac, jadi apa itu berarti orang yang terluka waktu itu adalah Isaac?
"Nyonya, silakan," desak Willie. Fakta bahwa Camila tidak bergerak sedikit pun mulai membuatnya stres.
Camila menepis kecurigaannya dan berkata, "Aku harus berangkat kerja."
Jelas itu hanya alasan Camila untuk menolaknya, dan mereka berdua tahu itu.
Camila sama sekali tidak tertarik untuk menemui Isaac, tidak peduli apa alasannya.
"Saya sarankan Anda berpikir ulang. Jika Anda memusuhi Pak Johnston, Anda tidak hanya akan kehilangan pekerjaan Anda, Anda juga akan mempertaruhkan seluruh karier dan reputasi Anda."
Itu jelas sebuah ancaman, dan mereka berdua juga tahu itu.
Camila menggertakkan giginya. Ayahnya sudah setuju untuk membiayai operasi ibunya, tidak lebih. Dia harus membayar perawatan ibunya dan biaya-biaya rumah sakit lainnya. Dia tidak bisa kehilangan pekerjaannya sekarang, dan dia juga tidak bisa melepaskan kariernya setelah bertahun-tahun bekerja keras untuk mendapatkannya.
Tidak ada yang bisa dia lakukan selain pergi bersama Willie.
"Baiklah, beri aku waktu sebentar. Aku perlu menelepon rumah sakit dan meminta cuti."
Camila berlari kembali ke kamarnya dengan dalih hendak menelepon. Dia memang memberi tahu rumah sakit bahwa dia tidak akan datang, tetapi tujuan utamanya ke kamar adalah untuk mengambil pisau bedah dari peralatan medisnya. Dia menyelipkannya di saku rahasia di dalam tasnya. Lebih baik cari aman daripada menyesal kemudian.
Camila lalu mengikuti Willie keluar dari vila.
Tak lama kemudian, dia mendapati dirinya di sebuah klub. Dia tidak pernah pergi ke tempat seperti itu sebelumnya.
Di mana-mana, orang-orang berkerumun, memanjakan diri mereka dengan segala bentuk kebejatan yang mereka sukai. Saat mereka melewati sebuah sudut, Camila tidak sengaja mendengar pembicaraan beberapa orang wanita yang sedang mengobrol.
"Isaac sedang berada di ruang VIP di lantai paling atas, membicarakan bisnis dengan seorang pria mesum. Kudengar pria itu punya selera yang tidak biasa."
"Apa dia orang yang hampir membunuh seorang wanita pendamping dalam salah satu sesi mereka?"
"Benar! Dia orangnya."
"Ckck ... aku tidak kenal siapa gadis yang malang itu, tapi syukurlah bukan kita yang terpilih. Apa kamu tahu gadis malang yang hampir mati itu? Dia mungkin selamat, tetapi kudengar dia menjadi mandul setelah kejadian itu. Aku tidak bisa membayangkan siksaan seperti apa yang dilakukan oleh bajingan itu padanya hingga dia berakhir seperti itu."
Semakin banyak yang Camila dengar, semakin Camila merasa ketakutan. Dia bahkan tidak berani membayangkan apa yang tersirat dari percakapan mengerikan itu.
Jantungnya bergemuruh di dalam dadanya saat Willie membawanya ke lift, dan telapak tangannya mulai berkeringat.
Lift berhenti bergerak lebih cepat dari yang dia bayangkan. Mereka segera tiba di tempat tujuan.
Willie melirik ke arah wajahnya yang pucat dan berkata menawarkan, "Anda lebih tahu dari siapa pun tentang bagaimana Anda bisa sampai menikah dengan Pak Johnston. Anda tidak perlu masuk ke dalam selama Anda menandatangani surat perjanjian cerai."
Semuanya sungguh sesederhana itu. Keluarga Johnston berutang budi pada Keluarga Trevino, jadi mereka tidak punya pilihan selain menyepakati syarat yang sudah diajukan oleh ayah Camila.
Akan tetapi, baik Camila maupun Isaac tidak menginginkan pernikahan ini. Semua lelucon ini akan berakhir jika dia menandatangani surat perjanjian cerai itu.
Camila menoleh ke arah Willie. Jika saja dia memiliki kekuatan untuk menolak sejak awal, dia pasti tidak akan pernah menikah dengan Isaac.
Dengan begitu, pria jahat itu tidak akan punya alasan untuk memaksanya melakukan apa pun.
Dia menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahunya, dan melangkah keluar dari lift dengan kepala terangkat tinggi.
Willie mengerutkan alisnya, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengantarnya ke sebuah kamar pribadi yang mewah.
Ruangan itu remang-remang, tetapi Camila tidak kesulitan untuk melihat Isaac yang duduk di sofa di samping seorang pria berpenampilan cukup rapi.
Pria itu tampak bersemangat begitu Camila melangkah masuk, dan dia mulai bersiul sambil meliriknya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seolah itu belum cukup, dia juga membuka mulutnya dan melontarkan komentar yang menjijikkan.
"Bagus, bagus! Kulit yang bagus, pinggang yang ramping, aku yakin aku akan merasakan kelembutan yang nyaman dengan kamu di dalam pelukanku."
Dia memberi isyarat pada Camila dengan lambaian tangannya. "Kemarilah, duduklah di sampingku."
Camila mengabaikannya dan menatap Isaac.
Pria yang merupakan suaminya itu sedang duduk santai di salah satu ujung sofa dengan bersilang kaki.
Berkat pencahayaan remang-remang, dia tidak bisa melihat ekspresinya.
Dengan tidak sabar, pria itu berdiri, lalu berjalan dengan tertatih-tatih dan melingkarkan lengannya di bahu Camila.
Dia menyeringai ke arah Isaac. "Di mana kamu menemukan wanita cantik ini? Dia jauh lebih cantik daripada pelacur mesum dengan riasan tebal dan pakaian minim yang biasa kutemui. Aku suka penampilan murni dan lugu dari nona kecil ini."
Isaac tetap diam, dia tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pria itu, bukankah itu berarti dia setuju dengan hal ini?
Rasa dingin mencengkeram hati Camila. Dia mengepalkan satu tangan, sementara tangannya yang lain mencengkeram tasnya lebih erat.
"Apa kamu bisa minum?" Pria itu berbicara, tetapi tangannya sudah turun untuk membelai pinggang Camila.
Camila mundur dengan jijik. "Tidak," jawabnya dengan suara tegas tanpa gentar seraya menjauh darinya.
"Tidak masalah, kalau kamu tidak bisa, aku bisa mengajarimu. Mau kuajarkan sekarang?" Pria itu mengambil gelas dari meja dan mengisinya sampai penuh dengan minuman keras. Dia mengangkat gelas itu ke bibir Camila.
Camila memalingkan wajahnya ke samping untuk menghindarinya, tetapi pria itu mencengkeram lengan Camila dan menahannya.
"Lepaskan aku!" Dia berjuang melawannya dengan sekuat tenaga. Dia mungkin akan berhasil jika saja Isaac tidak ikut campur tangan tepat pada saat itu.
"Tugasmu adalah menghibur tamuku. Jika begitu saja kamu tidak bisa, sebaiknya kamu pergi saja!" Isaac mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya terlihat menyeramkan akibat cahaya dan bayangan di ruangan itu.
Selama ini, Camila dengan bodohnya percaya bahwa suaminya akan menganggap dirinya sebagai sampah yang tidak layak mendapatkan waktu dan perhatiannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa suaminya akan dengan sengaja membuat hidupnya sengsara seperti ini.
"Oke, aku akan minum." Dia mendorong pria itu menjauh dan mengambil gelas itu. Dia menatap cairan itu dengan tegang untuk sesaat, lalu meneguk semuanya sekaligus.
Itu pertama kalinya Camila mengonsumsi alkohol. Minuman keras itu terasa tidak enak dan meninggalkan sensasi terbakar di lidahnya. Bahkan beberapa detik setelahnya, dia masih merasakan seolah ada bola api yang menggelinding ke dalam perutnya.
Camila mengernyitkan alisnya dan mengatupkan bibirnya, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang menerjangnya.
Ekspresinya terlihat menawan meski dia tidak bermaksud demikian, dan pria itu menjadi tidak sabar saat melihatnya. "Pak Johnston," katanya dengan suara serak, "bisakah aku membawanya pergi?"
Camila langsung panik mendengar itu. Dia mencari cara untuk melarikan diri, tetapi lirikan matanya justru tertangkap oleh sepasang mata lainnya yang tak jauh dari sana.
Tatapan Isaac terlihat gelap dan tak bisa diduga. Camila membeku di tempat. Apa Isaac serius ingin mempermalukan dirinya?
Tanpa disangka, Isaac yang terlebih dahulu memalingkan wajahnya. "Kamu … terserah padamu."
Pria itu berteriak dengan gembira. Dia melingkarkan lengannya yang lain di tubuh Camila dan menyeringai padanya.
Kali ini, Camila tidak melawan. Sebaliknya, dia membiarkan pria itu menyeretnya keluar dari ruangan.
"Pak." Willie berjalan di belakang Isaac. "Jika Anda membiarkan Nona Trevino pergi dengan Jaylen Williams, saya rasa … saya rasa dia tidak akan bisa melarikan diri dari Jaylen."
Willie paham Isaac ingin memaksa Camila agar menyetujui perceraian mereka, tapi tentu dia tidak bermaksud membiarkan Camila dilecehkan oleh seorang pria cabul, bukan?
Isaac menuang segelas wine untuk dirinya sendiri dan meneguknya dengan acuh tak acuh. Dia melirik Willie dan berkata, "Apa menurutmu dia benar-benar polos dan tidak ternoda?"
Mata sang asisten terbelalak kaget. Keluarga Trevino benar-benar keterlaluan! Beraninya mereka menipu bosnya dengan memberikan wanita yang kotor dan memaksa bosnya untuk menikahi wanita itu?
Willie merasa seolah dikhianati. Dia sempat bersimpati dengan Camila, bahkan mendoakan yang terbaik untuknya. Sekarang, kelihatannya wanita itu tidak pantas mendapatkan itikad baik darinya sama sekali.
"Dia tahu Anda hanya berusaha untuk menyulitkannya, tetapi dia masih menolak untuk menandatangani surat perceraian itu," ujarnya. "Saya khawatir semuanya tidak akan berakhir di sini, Pak."
Apakah Camila begitu bertekad untuk tetap tinggal di Keluarga Johnston?
"Pak Johnston .…"
"Ayo pergi dari sini," potong Isaac. Dia tidak ingin lagi mendengar apa pun tentang Camila.
Willie dengan bijak menutup mulutnya dan pergi untuk membukakan pintu.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada dalam mobil dalam perjalanan pulang. Meski demikian, yang bisa Isaac pikirkan selama itu hanyalah ekspresi kekalahan di wajah Camila saat Jaylen membawanya pergi.
Camila jelas menyadari bahayanya, tetapi dia pasrah dan menyerahkan diri padanya.
Wanita itu .…
"Putar arah mobil."
Willie menginjak rem dengan keras. Butuh beberapa detik baginya untuk memahami kata-kata Isaac, tetapi ketika dia menyadari apa maksud bosnya, dia segera berbalik arah dan kembali ke klub.
Namun, mereka tidak menemukan Camila ataupun Jaylen di kamar pribadi, dan belakangan mereka diberi tahu bahwa pasangan itu sudah pergi dari sana.
Ekspresi masam yang berbahaya muncul di wajah Isaac. Dia menggeram kepada Willie dan memerintahkannya untuk kembali ke vila.
Namun, Camila juga tidak ada di sana.
"Pergi dan cari ...."
Kalimat Isaac tertahan di tenggorokannya saat mereka mendengar pintu utama berderit terbuka, diikuti oleh suara manis Camila.
"Glenda .…"
Camila bukan peminum alkohol, jadi segelas minuman keras itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya mabuk. Jika dia belum terlatih untuk tetap tenang dan mengendalikan diri dalam situasi yang paling berbahaya, dia tidak mungkin bisa pulang sama sekali.
Camila memicingkan matanya untuk mengamati sekelilingnya. Dia yakin dia sudah kembali ke vila, tetapi mengapa Glenda hanya berdiri di sana?
"Bi Glenda .…" panggilnya sekali lagi, tetapi saat dia berkedip sekali lagi, dia mendapati suaminya yang bajingan berdiri tidak jauh darinya.