Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani
Isaac berjalan cepat melewati pintu ke kantornya. "Aku tidak ingin bertemu dengannya. Buatkan aku secangkir kopi sekarang juga."
Dia menuju ke meja kerjanya sementara sekretarisnya, Wynter, sedang berdiri dengan gelisah di ambang pintu ruang kerjanya.
"Pak Williams berkata dia tidak akan pergi sampai Anda menemuinya."
Isaac akhirnya menatap ke arah Wynter, yang pada akhirnya segera menundukkan kepalanya ke bawah.
Isaac memejamkan matanya untuk sesaat dan menghela napas dengan berat. "Bawa dia masuk." Dia membuka kancing jasnya dan duduk di belakang meja kerjanya.
Tak lama kemudian, Wynter kembali dengan membawa Jaylen dan secangkir kopi untuk Isaac.
Jaylen tidak bertele-tele dan langsung bertanya padanya, "Di mana kamu menemukan wanita itu?"
Sama sekali tidak terpengaruh oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu, Isaac perlahan mengambil cangkir kopinya dan memberi isyarat pada Wynter untuk pergi meninggalkan mereka. Baru pada saat itulah dia bertemu dengan tatapan bermusuhan Jaylen.
"Apa kamu melihat luka-luka ini?" Jaylen mendengus, menunjuk potongan kain kasa yang membalut leher dan pergelangan tangannya. "Dia hampir saja menghancurkan tanganku secara permanen!"
Isaac mengangkat salah satu alisnya, merasa agak senang saat melihat luka Jaylen. "Bagaimana kamu mendapatkan luka-luka itu?" tanyanya dengan sengaja.
Jaylen kemudian menjawab, sedikit ketakutan muncul di matanya, "Wanita itu membawa pisau bedah! Dia juga tahu bagaimana cara menggunakannya. Dokter yang merawatku mengatakan bahwa dia hampir saja memotong arteri utamaku. Aku benar-benar tidak percaya aku bisa sesial ini! Bukan hanya gagal menikmati wanita yang menawan itu, aku juga hampir mati di tangannya!"
Suasana hati Isaac semakin bahagia setelah mendengar hal itu. Ternyata Jaylen tidak mengambil keuntungan dari Camila. Isaac lalu bersandar di kursinya, tapi sikapnya tetap dingin. "Jadi, kenapa kamu masih mencarinya sekarang?"
"Tentu saja untuk membalas dendam padanya!"
Jaylen benar-benar merasa terhina dan juga terluka malam tadi. Ini pertama kalinya dia mengalami hal seperti itu di dalam hidupnya.
Dia harus menemukan wanita itu dan memberinya pelajaran.
"Kalau begitu, kamu harus mencarinya sendiri," kata Isaac.
Jaylen terdiam sesaat dan mengedipkan mata ke arahnya, tampak bingung.
"Kalau begitu, lupakan saja. Aku akan mengirim orang-orangku untuk mencarinya. Setelah aku berhasil menemukan wanita jalang itu, aku pasti akan mematahkan kedua tangannya! Mari kita lihat apakah dia bisa mengambil pisau bedah lagi atau tidak setelahnya!"
Jaylen membuat pernyataannya dengan sangat berapi-api bahkan sampai Isaac sedikit mengernyitkan alisnya.
Sementara itu, di rumah sakit, Camila baru saja keluar dari ruang pemeriksaan ketika punggungnya entah mengapa tiba-tiba menggigil.
Apa seseorang baru saja mengutuknya di belakangnya?
"Dr. Trevino," sapa seorang teman kerjanya yang berjalan melewatinya, membuat pikirannya buyar. "Jangan sampai kamu lupa datang ke pesta perpisahan Dr. Griffith malam ini. Pukul delapan malam, di Hotel Crowne hall B."
Camila memasukkan tangannya ke dalam saku snellinya dan mengangguk kecil, meskipun dia sebenarnya tidak ingin pergi ke acara itu.
Isaac kemungkinan besar juga akan berada di sana, dan membayangkan melihatnya bersama Debora membuat hatinya terasa dingin.
Meski demikian, Camila tetap memutuskan untuk pergi ke tempat yang telah ditentukan pada pukul delapan malam itu.
Dia hendak memasuki hotel ketika melihat mobil yang dikenalnya berdecit berhenti di depan pintu masuk.
Benar saja seperti dugaannya tadi, Debora turun dari mobil itu diikuti oleh Isaac di belakang.
Camila segera bersembunyi ke belakang salah satu pilar besar yang menghiasi fasad bangunan.
Dia mengintip ke arah mereka dan berhati-hati agar tidak ketahuan. Dia harus mengakui bahwa Isaac dan Debora terlihat seperti sepasang kekasih yang serasi. Isaac pasti sangat menyukai Debora sampai-sampai bersedia menghadiri pertemuan malam ini.
Selain itu, hampir setiap anggota staf rumah sakit juga akan hadir di sana. Mereka pasti akan berspekulasi tentang hubungan keduanya.
"Terima kasih sudah datang hari ini, Isaac," ucap Debora dengan lembut. Riasannya terlihat sangat indah, dan gaun yang dikenakannya juga memeluk sosok tubuhnya dengan sempurna. Dia menunjukkan senyum malu-malu pada Isaac dan mengedipkan matanya ke arahnya.
"Bukan masalah besar," jawab Isaac dengan singkat. "Lagi pula, kita adalah teman."
Isaac ada di sini hanya karena bantuan yang telah Debora berikan padanya malam itu.
Mengenai Debora, dia dengan cepat mulai menyukai Isaac, dan dia tidak menginginkan apa pun selain menjadi lebih dekat dengannya. Sayangnya, dalam upayanya untuk membuat kesan yang baik selama pertemuan terakhir mereka, dia malah menghilangkan opsi itu untuk dirinya sendiri.
Debora tidak punya pilihan selain berpegang pada kata-katanya untuk saat ini, dia berharap persahabatan mereka dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih lagi.
Mereka berjalan melewati pilar, dan Camila perlahan bergeser ke arah yang berlawanan.
Camila tidak ingin berhadapan dengan Isaac, jadi dia memutuskan untuk menelepon Debora dan berkata bahwa dia tidak bisa hadir dengan alasan dia dibutuhkan di tempat lain.
Camila mengeluarkan ponselnya dan hendak menelepon Debora ketika rekan lain tiba-tiba saja datang dan memanggil namanya.
Itu menarik perhatian orang-orang yang sedang berada di dekatnya, termasuk Debora. Dia berbalik untuk melihat ke arah Camila.
Tertangkap basah, Camila seketika membeku di tempatnya berdiri, tetapi ibu jarinya telah menyentuh tombol panggil. Pada saat dia menyadari apa yang telah dilakukannya, ponsel Debora sudah berdering.
Camila buru-buru menekan tombol untuk mengakhiri panggilan itu. "Maaf, aku salah pencet."
Mendengar suara yang tidak asing, Isaac juga ikut membalikkan badannya. Matanya langsung tertuju pada Camila, dan rasa geli terpasang jelas di wajahnya saat melihat istrinya sedang mengambil sikap canggung dengan ponselnya di tangannya.
Isaac lalu mengangkat alisnya.
Jadi, wanita itu juga dokter di RS Wellness?
"Oh, tidak apa-apa," kata Debora dengan senyum ramah sambil mendekat ke arah Isaac.
Isaac melarang Camila untuk mengungkapkan kepada siapa pun bahwa dia adalah istrinya, jadi dia benar-benar melakukannya dan berpura-pura tidak mengenalnya.
"Apa dia pacarmu?" tanya Camila sambil tersenyum, tatapannya terlihat cerah dan jernih.
Debora hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa.
Isaac juga tetap diam, meskipun matanya menatap tajam ke arah Camila. Dia ingin melihat bagaimana istrinya akan bereaksi dalam situasi ini.
Yang membuatnya kecewa adalah istrinya itu malah tertawa kecil dan berkata, "Kalian berdua adalah pasangan yang sempurna."
Jari-jari Isaac sedikit berkedut. Dia tiba-tiba memiliki keinginan untuk langsung berjalan ke arah Camila dan menghapus senyum palsu itu dari wajahnya!
Sadar akan sikap pria jahat itu, Camila tidak membuang-buang waktunya lebih lama lagi dan segera melarikan diri dari sana. "Aku tidak akan menahan kalian lebih lama lagi. Permisi, aku harus pergi sekarang."
Dia bergegas ke arah rekan kerjanya yang baru saja memanggilnya, mengaitkan lengan dengannya, dan buru-buru masuk ke dalam hotel.
"Pria itu," bisik rekannya ketika jarak mereka sudah agak jauh dari pasangan itu. "Dia adalah bos PT. Paramount. Dia masih muda dan sukses, dia terlihat begitu menjanjikan. Aku sangat iri pada Dr. Griffith, dia sangat beruntung bisa mendapatkan pria seperti itu."
Camila tidak menanggapi ucapan rekan kerjanya.
Rekan kerja itu terus melanjutkan, "Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu sempurna? Tidak hanya kaya dan pandai berbisnis, tetapi dia juga tampan dan menawan ...."
"Bagaimana kamu tahu bahwa dia sehebat itu?" Camila akhirnya menyela, tidak tahan mendengar pujian rekan kerjanya terhadap pria itu. "Mungkin saja dia itu cabul." Camila mengingat kembali kejadian malam tadi, dan bagaimana cara Isaac mencekiknya dan melontarkan hinaan paling keji padanya. Kata cabul bahkan tidak dapat menutupi siapa Isaac sebenarnya.
Rekannya kemudian tertawa terbahak-bahak.
Tak perlu dikatakan lagi bahwa Debora telah naik pangkat karena hubungannya dengan Isaac. Setiap orang yang bekerja di rumah sakit menghadiri pesta perpisahannya, dan semua meja di hall B terisi penuh.
Camila dan rekannya berjalan memasuki aula. Mereka hendak menuju ke meja yang terletak jauh di sudut ruangan ketika direktur rumah sakit mengangkat tangannya dan menghentikannya. "Camila! Kemarilah dan duduklah bersama kami."
Camila berbalik dan menemukan Isaac sedang menatap lurus ke arahnya.
Dia memasang senyum sopan di wajahnya dan menolak tawaran sang direktur dengan hormat. "Maaf Pak, aku ...."
"Ayolah." Sang direktur dengan mudah menepis penolakannya dan langsung menariknya ke kursi kosong.
Camila tidak punya pilihan selain bergabung dengan mereka di meja itu, meskipun dia memastikan untuk tetap menundukkan kepalanya.
Sang direktur belum selesai sampai di situ. Dia mencondongkan tubuhnya mendekat dan menyenggol Camila dengan sikunya. "Kamu dan Debora berasal dari universitas yang sama, kan? Sekarang karena dia akan pergi ke RS Military Central, kamu harus bersulang untuknya."
"Dia tidak bisa minum," potong Isaac tiba-tiba.
Keheningan mulai menyelimuti meja saat mereka melirik ke arah Isaac dan Camila. Bagaimana bisa Isaac tahu bahwa Camila tidak bisa minum?
Camila sendiri terkejut mendengarnya. Dia akhirnya mengangkat matanya dan bertemu dengan tatapan Isaac yang mengejek.
Dia mengepalkan kedua tangannya di bawah meja.
Apa yang ingin dilakukan bajingan itu sekarang?
Debora merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia memutuskan untuk mengabaikan firasatnya. Dia berkata pada dirinya sendiri bahwa dia pasti salah paham dengan maksud Isaac.
"Yah, sebagai dokter, tidak baik bagi kita untuk mengonsumsi alkohol. Lagi pula, nyawa para pasien ada di tangan kita." Debora tersenyum sopan saat dia memandang ke arah Camila. "Camila dan aku merupakan teman baik. Aku pasti akan merindukannya ketika aku pergi nanti."
Saat itu, telepon Isaac tiba-tiba berdering. Dia tidak repot-repot untuk meminta izin dan langsung menjawab panggilan itu di meja.
Penelepon mengatakan sesuatu, dan Isaac menjawab bahwa dia mengerti sebelum dia menutup telepon dengan segera.
Begitu dia menyimpan ponselnya, kini giliran ponsel Camila yang berdering.
Camila melirik ke arah tamu lainnya dan menekan tombol jawab.
Yang menghubunginya adalah Steve Cooper, kepala pelayan tepercaya yang melayani kakek Isaac. "Selamat malam, Nyonya Muda. Tolong datang ke kediaman Keluarga Johnston dengan segera, Tuan Johnston ingin bertemu dengan Anda."
"Baik, aku mengerti."
Camila mengakhiri panggilan itu dan menoleh ke arah Debora. "Maaf, ada hal mendesak, aku harus pergi sekarang. Aku akan bersulang denganmu menggunakan segelas air ini. Aku benar-benar mendoakan yang terbaik untukmu." Dia kemudian mengangkat gelasnya yang berisi air ke arah Debora dan meminumnya.
Isaac memperhatikan Camila bersiap-siap sambil menyeringai dengan penuh arti. Dia menunggunya untuk berdiri dan berkata, "Kebetulan sekali! Aku juga harus mengurus sesuatu. Mengapa kita tidak pergi bersama saja?"
Camila terdiam, matanya membelalak lebar.
Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, Isaac merasa kesal karena Camila berpura-pura tidak mengenalnya. Dia sangat ingin melihat berapa lama Camila bisa terus berakting.
Seperti yang diharapkan, semua mata tertuju pada Camila.