Malam Gairah: Cinta Adalah Game Pemberani
"Apa katamu barusan?" Isaac mengangkat alisnya. Meski nada bicaranya tetap tenang, Forrest bisa merasakan suasana di antara mereka berubah menjadi lebih tegang.
"Lupakan saja," katanya sambil menggertakkan gigi. "Aku peduli dengan kebahagiaanmu, jadi aku akan membiarkannya untuk kali ini saja."
Isaac mengamati Forrest sejenak, kemudian dia mengisyaratkan pada Willie untuk pergi dari sana. "Jalan."
Willie menyalakan mobil, dan mobil itu perlahan melaju ke jalan raya.
Forrest masih gelisah. Dia merasa harus melakukan sesuatu untuk Camila, apa saja yang bisa membuat keadaan menjadi lebih baik untuknya.
Dia berbalik tepat pada saat Camila keluar dari gedung itu. "Mila," panggilnya.
"Aku pulang dulu," ucap Camila sambil tersenyum padanya.
"Mila … aku hanya ingin bilang bahwa aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mencarikan donor jantung yang cocok untuk ibumu. Akan kupastikan dia mendapatkan operasi jantung sesegera mungkin."
Memikirkan ibunya yang menderita membuat hati Camila terasa sakit. Dia tidak ingin memperlihatkannya, tetapi getaran dalam suaranya membocorkan emosi yang dia rasakan. "Sungguh?"
Donor jantung adalah salah satu donor organ yang paling sulit untuk ditemukan.
Donor jantung tidak hanya langka, tapi sekalipun ada, tidak pernah ada jaminan bahwa organ itu akan cocok dengan tubuh pasien. Sebagian besar pasien meninggal karena gagal mendapatkan transplantasi.
"Terima kasih, Forrest," bisik Camila dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak tahu bagaimana lagi cara menyampaikan rasa terima kasihnya yang tulus kepadanya.
"Sama-sama. Jangan diambil hati, kita ini teman, sudah sepantasnya sesama teman saling membantu." Perasaan Forrest saat ini campur aduk. Jika bukan karena Isaac, Camila pasti sudah selangkah lebih dekat dengan tujuannya. Meskipun dia ingin mendukung Isaac yang mengejar Debora, Forrest menyayangkan karena hal itu berarti Isaac harus mengorbankan Camila.
"Biar kuantar kamu pulang."
"Tidak, tidak, tidak perlu," kata Camila buru-buru. "Aku baik-baik saja, sungguh."
Lagi pula, dia tidak pulang ke rumah Keluarga Trevino. Dia tidak bisa membiarkan Forrest tahu bahwa dia sudah menikah. Tidak ada yang boleh tahu.
Untungnya, Forrest tidak memaksa.
Mereka berdua saling mengucapkan selamat tinggal, dan Camila menaiki taksi untuk kembali ke vila yang dia tinggali bersama Isaac.
Setidaknya dia terhibur karena mengetahui bahwa suaminya tidak mau pulang ke rumah untuk bertemu dengannya. Hal itu membuat Camila sangat lega.
Glenda menyambutnya di depan pintu. Dia sangat senang melihat Camila tidak tegang seperti saat dia pertama kali pindah ke sini. "Anda terlihat bahagia," ujar Glenda dengan ramah. "Apa ada hal baik yang baru saja terjadi?"
Camila membungkuk dan mengganti sepatunya. "Tidak ada apa-apa, Bi Glenda. Aku hanya sadar bahwa aku suka tinggal bersamamu, hanya kita berdua saja."
Glenda tidak membalas.
"Jadi maksudmu, kamu tidak memerlukan kehadiranku?"
Suara itu .…
Camila mendongakkan kepalanya dan melihat sosok pria yang berdiri di tengah ruang tamu. Jika dia tidak melihatnya di berita, dia tidak akan mengenali suaminya sendiri.
Pria itu tampak dingin dan sulit didekati sebagaimana yang selalu terlihat di foto, hanya saja kini matanya tampak menahan rasa jijik.
Camila tidak menyangka dia akan ada di sini.
"Kamu … kamu pulang? Kenapa?"
Sedang apa dia di sini? Bukankah dia membenci pernikahan ini?
Seharusnya Isaac benci melihat dirinya di sini.
Tidak disangka, ekspresi Isaac berubah menjadi lebih muram dari sebelumnya. "Kenapa?" seru Isaac. "Apa aku perlu minta izin padamu untuk tinggal di vila milikku sendiri?"
Camila menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Apa yang dikatakan Isaac memang benar. Dialah yang menyusup masuk ke dalam rumahnya.
Isaac lalu melemparkan sebuah map ke atas meja. "Tanda tangani itu."
Camila berjalan ke ruang tamu dan melirik dokumen-dokumen itu. Itu adalah surat cerai. Hal ini sama sekali tidak mengejutkannya. Bisa dikatakan dia sudah menduga akan terjadinya hal ini.
Namun, dia tidak bisa bercerai dengan Isaac sekarang. Dia harus menunggu hingga ibunya berhasil dioperasi terlebih dahulu.
Camila menatap Isaac, tidak yakin bagaimana harus memanggilnya. "Uh, Isaac … bisakah kita .…"
"Apa kamu menolak untuk bercerai denganku?" Isaac memotong perkataannya. Sepertinya dia juga sudah menduga reaksi Camila ini. Menurutnya, Camila pasti tidak akan menyetujuinya dengan mudah, apalagi setelah keluarganya yang serakah berhasil mendapatkan pernikahan ini setelah sekian lama.
"Baiklah, terserah padamu saja. Kuharap kamu tidak akan menyesali keputusanmu." Isaac berbalik dan meninggalkannya tanpa menunggu jawaban dari Camila.
Pria ini benar-benar salah paham dengan maksudnya. Camila berusaha mengejarnya untuk menjelaskan, tetapi karena terburu-buru, dia tersandung dan menjatuhkan tasnya.
Isi tasnya bertebaran ke segala arah di lantai.
Camila berjongkok dan mengumpulkan isi dompetnya, dia segera menyadari bahwa ada benda penting yang hilang. Saat melihat sekeliling, dia menemukan kotak pil tepat di samping kaki Isaac. Dia langsung menyambar kotak itu, berusaha keras untuk menyembunyikannya sebelum Isaac menyadarinya.
Jari-jari Camila menyentuh permukaan kotak itu tepat saat sepatu kulit yang mahal menginjaknya.
Dia pun mengangkat kepalanya.
Wajah Isaac nyaris tanpa ekspresi, tetapi kegugupan yang melintas di mata Camila membuatnya penasaran.
Isaac merebut kotak itu sebelum Camila bisa mengambilnya. Dia mengintip ke dalam dan mengeluarkan sebungkus pil.
Ada dua butir dalam bungkus itu.
Salah satunya jelas sudah dikonsumsi.
Isaac mengerutkan kening dan memeriksa label di kotak itu. "Planotab." Dia tidak tahu obat apa itu, tetapi kemudian dia melihat keterangan di bawahnya. "Kontrasepsi darurat, konsumsi sesegera mungkin dalam waktu 72 jam."
Bodoh sekali jika dia masih belum mengerti setelah membaca itu.
Dia perlahan menurunkan pandangannya untuk menatap wanita yang panik di bawah kakinya. "Jadi, kamu sudah berselingkuh dariku," ujarnya dengan nada menyindir. "Ditambah lagi, kamu melakukannya tepat di malam pernikahan kita."
Rasa jijik yang sebelumnya dia rasakan terhadap wanita ini kini berlipat ganda hingga seratus kali lipat.
Camila mengepalkan tangannya agar berhenti gemetar. Dia berusaha menenangkan dirinya dan menarik napas dalam-dalam. Dia tidak membantah perkatannya karena merasa tidak sanggup.
Isaac tidak salah, dia memang telah berselingkuh darinya.
"Aku tidak pernah ingin menikahimu," gumam Camila pelan.
Isaac merasa mual. Dia melemparkan bungkus plastik obat itu ke wajah Camila, dan ujungnya menggores sudut mata Camila hingga meninggalkan bekas luka merah tipis di wajahnya.
Syukurlah Camila sempat menutup matanya sebelum bungkus itu mengenai dirinya. Dia berjongkok dan mengambil obat itu, genggamannya begitu erat hingga bungkus plastik itu menjadi bengkok.
Rasa perih di kulitnya tidak seberapa dibandingkan dengan penghinaan yang baru saja dia terima dari Isaac. Pria itu telah menginjak-injak harga dirinya dalam hitungan detik.
"Jadi kamu suka pria, bukan?" katanya dengan nada penuh kebencian. "Kalau begitu, akan kupastikan kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Setelah berkata demikian, Isaac berjalan keluar dari vila.
Camila tidak tahu apa yang Isaac maksud dengan perkataannya itu, tetapi dia akan segera mengetahuinya.
Keesokan harinya, Willie menunggu Camila saat dia bersiap untuk berangkat kerja.