Adinda terpaksa menerima tawaran untuk menikah dengan laki-laki bernama Alvin, demi dapat membayar biaya rumah sakit Alvaro, kekasih yang terbaring koma di rumah sakit. Semua menjadi pelik saat Adinda tahu ternyata Alvin bukanlah seorang single. Dan tugas Adinda dalam pernikahan ini adalah membantu Alvin untuk melupakan istrinya. Kepelikan itu makin menjadi saat misi Adinda menaklukan hati Alvin berhasil, tetapi di saat bersamaan Alvaro sadar dari komanya. Jadi, siapakah yang harus Adinda pilih? Alvin, dengan risiko menjadi yang kedua? Atau Alvaro, dengan risiko menghadapi keluarga laki-laki itu yang tidak pernah menyukai keberadaannya?
Adinda menatap kosong taman rumah sakit yang terlihat sepi, karena memang jam besuk sudah berakhir sejak 2 jam yang lalu. Di antara kekosongan yang menghias, tampak juga kebingungan di netra dengan warna cokelat itu. Di saat seperti ini, ia benar-benar merasa sendiri, dan sama sekali tidak memiliki teman. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat ia berlari pun sudah tidak lagi ada. Ia anak tunggal, dan kedua orangtuanya sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.
Adinda hidup seorang diri di kota yang banyak orang bilang lebih kejam dari ibu tiri ini. Gajinya menjadi seorang pelayan kafe, tentu saja tidak akan cukup untuk membayar tagihan rumah sakit yang sudah amat membengkak.
"Maaf Mbak, tapi jika Mbak Dinda tidak bisa melunasinya besok, terpaksa kami akan mencabut segala fasilitas yang kami berikan pada pasien."
Wanita dengan surai lembut sepanjang punggung itu memejamkan mata. Menarik napasnya yang begitu sesak. Apa yang harus ia lakukan dengan ini semua? Siapa yang bisa ia mintai tolong?
"Kamu yang menyebabkan anak kami terbaring koma di rumah sakit! Jadi kami harap kamu akan bertanggung jawab dan tidak lepas tangan begitu saja!"
Napas yang terasa sesak itu kian bertambah sesak. Nyatanya kalimat yang ibu Alvaro katakan itu benar. Alvaro, laki-laki yang menjadi kekasihnya selama satu tahun belakangan ini mengalami kecelakaan karena dirinya. Andai hari itu Alvaro tidak bertengkar dengan kedua orang tuanya, dan tidak kabur demi memilihnya, tentu saja hal semacam ini tidak akan pernah terjadi. Andai saja saat ibu Alvaro datang, dan memintanya mundur hari itu, dia memilih mundur, mungkin saja Alvaro tidak akan terbaring di ranjang rumah sakit seperti sekarang ini. Andai saja- Adinda kembali mengembus napas lirih, mencoba untuk kuat karena semua kata andai itu telah menjadi percuma.
Sekarang, yang perlu ia lakukan adalah membayar tagihan rumah sakit, agar Alvaro bisa sembuh. Namun, lagi-lagi ia bingung dari mana mendapatkan uang dengan nominal yang tidak bisa dikatakan sedikit itu?
Adinda memejamkan mata, mencoba berpikir, dan- surat rumah. Apa dia harus menjual rumah peninggalan orang tuanya?
"Boleh saya numpang duduk?" Pertanyaan itu membuyarkan semua pemikiran yang kini memenuhi kepala Adinda. Ia menoleh dan segera melempar senyuman ramah pada seorang wanita yang kini berdiri di sampingnya.
"Silahkan Tante," ujar Adinda sembari menggeser duduk agar wanita yang berusia sekitar enam puluh tahun itu bisa duduk.
"Siapa yang sakit?" tanya wanita itu, membuat Adinda urung untuk kembali memikirkan rencana menjual rumahnya.
"Teman, Tante," jawab Adinda kikuk. Merasa tidak nyaman jika menyebut pacar.
"Pacar, ya?" tebak wanita itu dengan senyuman lembut, tidak ada nada nyinyir ataupun sok tahu, yang membuat Adinda akhirnya mengangguk.
"Sakitnya parah, kamu keliatan sedih gitu?"
Jika dalam kondisi hati yang baik, mungkin Adinda akan memilih pamit, daripada meladeni wanita yang mulai kepo dengan apa yang ia alami ini. Namun, keadaannya sedang sangat membingungkan, dan sepertinya Adinda perlu teman untuk sekadar berbagi cerita. Toh, wanita di sampingnya ini tidak ia kenal. Mungkin tidak masalah untuk sekadar berbagi resah.
"Sudah dua minggu koma, dan sampai sekarang belum sadar." Adinda memberikan sebuah senyuman, yang malah terlihat menyedihkan.
"Dan jika besok saya belum membayar tagihan, semua pengobatan akan dihentikan," bisik Adinda lagi dengan wajah sendu.
"Kenapa kamu yang menanggung? Memang keluarga tidak ada?"
Adinda menunjukkan senyum kecut, dan seharusnya ia berhenti saat itu juga. Bukan malah membeberkan apa yang terjadi. Entahlah, mungkin Adinda sudah terlalu lelah dan putus asa. Atau mungkin, karena sorot mata wanita ini tidak terlihat menghakimi.
"Kok ada ya keluarga kayak gitu? Ini kan menyangkut nyawa anak mereka? Apa mereka nggak mikir andai kamu nggak bisa bayar?" Adinda hanya tersenyum mendengar semua kalimat bernada marah itu. Ia merasa, seolah ibunya kini ada di sini untuk memberinya kekuatan.
"Makasih Tante, sudah mau mendengar curhatan saya," ujar Adinda dengan senyuman tulus. Jujur, hatinya mulai membaik, dan sepertinya ia memang harus menjual rumahnya untuk membayar tagihan rumah sakit.
"Kamu mau ke mana?" tanya wanita itu saat Adinda bangkit dari duduknya.
"Saya sepertinya sudah menemukan solusi masalah saya, Tante," jawab Adinda dengan senyum mengembang. Ia ingat salah satu tetangganya pernah menawar rumah peninggalan orangtuanya itu. Mungkin sekarang belum terlambat untuk menawarkannya.
"Boleh Tante tahu, apa itu?" Entah mengapa wanita itu merasa khawatir. Ia takut wanita muda di sampingnya ini melakukan hal nekad.
"Saya punya rumah peninggalan orang tua saya. Rasanya itu akan cukup untuk membayar tagihan rumah sakit. Lebihnya bisa saya pakai untuk menyewa kontrakan," jelas Adinda tanpa beban. Seolah memang itu jalan yang terbaik.
"Orangtua kamu sudah meninggal?" Dan saat anggukan kepala yang ia dapat sebagai jawaban, wanita itu merasakan kepedihan yang luar biasa.
"Saya permisi dulu ya, Tante. Mau nawarin ke tetangga saya. Waktu itu dia mau, siapa tahu masih berminat."
"Tunggu!" Namun, langkahnya terpaksa terhenti saat wanita dengan penampilan elegan itu menahan lengannya. "Siapa nama kamu?"
"Saya Adinda, Tante," jawab Adinda dengan wajah bingung.
"Kamu anak baik."
Adinda tersenyum manis saat mendengar pujian itu. "Terima kasih," bisiknya masih dengan raut bingung.
"Boleh Tante bantu kamu, Sayang?"
Kening Adinda mengerut bingung. "Maksud Tante?"
"Berapa tagihan rumah sakit?" tanya wanita itu sungguh-sungguh. Dan dengan wajah yang semakin bingung, Adinda pun menyebutkan nominal yang jumlahnya sangat besar. Namun, anehnya wanita itu tidak terlihat terkejut.
"Ayo kita ke resepsionis." Wanita itu menarik lengan Adinda, tapi Adinda menahan langkahnya.
"Tante ini maksudnya gimana? Saya nggak mau nyusahin Tante. Bahkan kita juga baru kenal."
Wanita itu tersenyum hangat. "Nama saya Marlina. Saya juga seorang ibu yang mempunyai anak. Mana saya tega setelah mendengar cerita kamu tadi?"
"Tapi Tante, itu jumlahnya nggak sedikit." Adinda merasa menyesal karena sudah menceritakan masalahnya pada orang asing. Sungguh, ia tidak berniat sampai ke arah sini.
"Tante tahu, dan Tante bisa bantu kamu," ujar Marlina dengan senyum lembut keibuan. Membuat Adinda semakin merasa bersalah. Wanita ini begitu baik, dan dia tidak boleh memanfaatkannya.
"Tapi Tan-"
"Kamu bisa anggap ini hutang, dan mencicilnya pelan-pelan," potong Marlina cepat.
Namun, Adinda menggeleng. "Saya hanya pelayan kafe, nggak akan bisa membayar hutang sebesar itu." Adinda mencoba untuk berpikir realistis.
"Kalau begitu, kamu bisa membayar dengan cara lain," ujar Marlina, kali ini ada sorot penuh harap yang terpancar dari mata itu. Hal yang sejak tadi tidak bisa mata Adinda tangkap, wanita ini kini seolah menunjukkan ruang rapuh yang terus disembunyikan.
"Apa itu Tante?" tanya Adinda, yang merasa trenyuh saat melihat mata wanita itu mulai berkaca-kaca.
"Menikahlah dengan anak saya." Mata Adinda pun melebar saat itu juga.
"Uang itu akan saya jadikan mahar, jadi kamu tidak perlu mengembalikannya."
Jantung Adinda pun perlahan berdetak cepat. Ada rasa takut, bingung, putus asa, yang kembali menyerangnya. Awalnya Adinda meminta waktu untuk berpikir, tapi nyatanya waktu tidak memihak padanya. Dan saat tetangga yang ia harap bisa menolong dengan membeli rumahnya ternyata baru saja membeli rumah di lokasi lain, maka Adinda tidak punya jalan keluar, selain menghubungi wanita itu.
"Oke, besok kita bertemu di rumah sakit dan saya akan melunasi semuanya."
"Tante, tolong buat surat perjanjian. Saya takut nantinya hati saya goyah," ujar Adinda yang merasa takut akan berbuat curang jika ada yang membuatnya tidak nyaman nanti.
"Baiklah, saya rasa saya memang tidak salah memilih. Kamu adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping anak saya."
Adinda hanya tersenyum tipis, menyerahkan kehidupannya di depan sana pada Tuhan. Semoga, semuanya berjalan lebih mudah dari yang ia duga.
Bab 1 1. Prolog
16/11/2021
Bab 2 2. STATUS ALVIN
16/11/2021
Bab 3 PENAWARAN
16/11/2021
Bab 4 PERNIKAHAN KONTRAK
16/11/2021
Bab 5 SIKAP DINGINN ALVIN
16/11/2021
Bab 6 6. PROSES PENDEKATAN
18/11/2021
Bab 7 7. SOSOK YANG TEPAT
18/11/2021
Bab 8 8. TIDAK MENYERAH
18/11/2021
Bab 9 9. MULAI BERUBAH
18/11/2021
Bab 10 LADANG EMAS BARU
18/11/2021
Bab 11 11. SEDIKIT BERUBAH
18/11/2021
Bab 12 SENYUMAN ALVIN
18/11/2021
Bab 13 ALVIN YANG MELUNAK
18/11/2021
Bab 14 ALASAN ADINDA
18/11/2021
Bab 15 DELUSI
18/11/2021
Bab 16 MENCOBA IKLHAS
18/11/2021
Bab 17 KECANGGUNGAN
18/11/2021
Bab 18 ANDAI AKU LAKI-LAKI ITU
18/11/2021
Bab 19 MIMPI YANG TERWUJUD
18/11/2021
Bab 20 SENYUM ADINDA
18/11/2021
Bab 21 SIKAP MANIS ALVIN
19/11/2021
Bab 22 NYARIS SAJA
19/11/2021
Bab 23 PENGAKUAN ALVIN
19/11/2021
Bab 24 SEBUAH PERMINTAAN
19/11/2021
Bab 25 ISI PERJANJIAN
19/11/2021
Bab 26 ALVARO SADAR
19/11/2021
Bab 27 WAKTUNYA MELEPAS
19/11/2021
Bab 28 SUDAH BERAKHIR
19/11/2021
Bab 29 BERUSAHA IKLHAS
19/11/2021
Bab 30 TIDAK INGIN BERPISAH
19/11/2021
Bab 31 ADINDA MENYERAH
20/11/2021
Bab 32 SURAT CERAI
20/11/2021
Bab 33 BERAKHIR
20/11/2021
Bab 34 BAHAGIA UNTUK ADINDA
20/11/2021
Bab 35 TERUNGKAPNYA KEBENARAN
20/11/2021
Bab 36 BEBAN BARU
20/11/2021
Bab 37 ADINDA BERUBAH
20/11/2021
Bab 38 KEEGOISAN ALVARO
20/11/2021
Bab 39 SEMAKIN LELAH
20/11/2021
Bab 40 KEINGINAN ADINDA
20/11/2021