Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Di antara mereka sudah ada yang mati. Tapi dia tetap tinggal bersama di dalam rumah. Makan, minum, berjalan selayaknya orang hidup."
Siapakah dia? Pakde Rais belum menjelaskan siapa orangnya. Tapi, Rossa dan Kakaknya harus tinggal serumah dengan mereka, termasuk mayat hidup itu.
Pandemi melanda dunia, di kota atau pun di desa kehidupan mencekam. Apalagi Rossa baru ditinggal mati kedua orang tuanya. Tianggal ia dan Kakaknya, Ojan, juga hutang-hutang kedua orang tuanya semasa hidup. Mereka menjadi korban. Hingga akhirnya, mereka hanya punya pilihan tinggal di desa, di rumah Pakdenya. Padahal di sana desanya hampir mati, tak ada kehidupan. Tubuh manusia yang dikerubuti lalat, petani yang meninggal di tengah lumpur sawah, juga mayat-mayat yang dibiarkan tak dikubur. Lebih aneh lagi, ada mayat yang dijadikan seperti orang hidup melalui sebuah ritual dukun. Rossa dan Ojan hidup di antara mereka, di rumah Pakdenya, Pakde Rais yang ternyata seorang dukun mandraguna.
Rasanya tak bisa dipercaya, mana mungkin aku akan serumah dengan orang mati. Bukan mayat biasa, melainkan mayat hidup. Dia makan, minum dan berjalan sebagaimana orang hidup, tapi katanya sudah mati.
"Sudahlah, sekarang lagi musim orang meninggal, makanya banyak cerita yang dibuat-buat," ujar Mas Ojan, kakak sulungku.
"Jadi gimana, Mas? Kita tetap berangkat ke sana?" Tanyaku ragu.
Mas Ojan mengangguk. Tak ada pilihan. Rumah yang kami tempati telah disita bank. Kami baru mengetahuinya setelah kematian Papa satu bulan lalu. Ternyata, mendiang Mama banyak berhutang ke sana-sini untuk memenuhi gaya hidup hedonnya. Setelah Mama meninggal, Papa menggadaikan ini-itu ke bank untuk menutupi hutang Mama. Setelah mereka berdua meninggal, tinggal aku dan Mas Ojan yang kelimpungan. Kami tak punya apa pun. Parahnya, kami dikejar-kejar rentenir setiap hari. Bahkan akhir-akhir ini disertai ancaman dan kekerasan.
"Apakah mayat hidup itu semacam zombie?" Tanyaku dalam kekalutan.
"Kalau dia bergerak, apalagi makan dan minum, berarti dia hidup, sama seperti kita. Kalau dia mati, dia akan diam, kaku. Itu logikanya, jelas, jangan bertanya lagi," putus Mas Ojan. Sepertinya mulai jengah dengan kekhawatiranku.
"Kita akan tinggal di sana?"
Mas Ojan lalu mencebik dan menjawab, "terserah kamu. Kalau mau selamat, ikut aku . Kalau mau diancam rentenir, tinggallah di jalanan. Karena kita sudah nggak punya rumah."
Melihat Mas Ojan mulai berkemas, aku ikut berkemas meski setengah hati. Terngiang-ngiang percakapan terakhir dengan Pakde Rais via telepon.
"Kalian boleh tinggal di sini, di rumah Pakde. Di sini aman. Rentenir ndak akan menjangkau. Tapi segeralah berangkat. Kabarnya, akses ke desa akan ditutup total. Pandemi membunuh warga satu persatu."
"Apakah aku dan Mas Ojan juga akan mati kalau tinggal di sana, Pakde?" Tanyaku polos.
Tak disangka, Pakde Rais menjawab, "ndak ada yang tahu, itu rahasia Tuhan. Salah satu keluarga Pakde juga ada yang meninggal kemarin lusa. Tapi, dia masih di sini, di rumah ini bersama kami."
"Hahh?" Aku terperangah.
"Iya, Pakde biarkan dia seperti orang hidup," Pakde menjawab berat namun misterius.