Suamiku orang baik. Dia suami dan dan ayah baik untuk keluarga kami. Karena ekonomi yang sulit, suamiku memutuskan menjadi waria.
Namaku Wirda. Usiaku dua puluh sembilan tahun. Aku istri dari laki-laki bernama Sugi. Suamiku seorang sales obat-obatan herbal sehingga dia selalu berpenampilan necis, bersih dan rapi. Pernikahan kami sudah jalan tahun ke empat. Sebenarnya aku tidak ingin menikah saat itu. Tapi dorongan dari keluarga besar yang selalu menyebut kalau wanita di usia dua puluh lima tidak menikah maka dia adalah perawan tua.
Pernikahanku dan Bang Sugi-begitulah aku memanggilnya-berjalan dengan bahagia. Meski awalnya tidak ada cinta di antara kami. Tapi aku tidak membenci suamiku. Dia laki-laki yang baik. Bahkan ketika aku minta pisah kamar awal-awal menikah Bang Sugi yang merasa sungkan kalau orang-orang akan membicarakan kami, malah mengalah tidur di lantai yang dingin setiap malam sementara aku tidur di kasur yang empuk.
Tidak ada yang salah dari suamiku. Dia laki-laki yang baik. Dia, meskipun sekarang hanya seorang sales tapi masih berjuang sekuat tenaga mencukupi kebutuhan rumah tangga kami. Bahkan suamiku selalu sukarela begadang jika Langit, anak laki-laki kami rewel ketika tengah malam.
Tidak ada yang salah dari suamiku. Dia suami yang baik. Ayah yang baik. Sayang, dia bukan imam yang baik setelah aku mengetahui satu hal yang membuatku berpikir haruskah mundur dari pernikahan ini?
Semua berawal dari tanggal satu januari. Hari itu suamiku bilang akan pergi bekerja. Aku merasa heran mengapa perusahaan mempekerjakan salesnya di hari libur seperti ini. Tapi Bang Sugi bilang kalau dia sendiri yang ingin bekerja karena tahun baru biasanya banyak orang yang mau menghamburkan uang. Bang Sugi juga bilang kalau dia ingin mendapatkan bonus awal tahun untuk membelikan putra kami mainan baru. Aku terharu mendengar alasannya. Pagi itu, aku mencium tangan suamiku dengan takzim seraya mendoakannya agar baik-baik saja dan jualannya laris.
Langit, putraku sangat senang mendengar ayahnya akan pulang membawakan mainan. Aku mengajak putraku duduk di teras rumah kami. Melihat orang yang berlalu lalang pergi untuk merayakan tahun baru.
"Jalan dulu, mbak Wirda!" Ecih, tetangga sebelah rumahku yang selalu bergonta-ganti warna rambut setiap bulan menyapa.
"Nggih, mbak Ecih. Saya di rumah saja sama Langit," balasku pada Ecih. Langit yang duduk di pangkuanku terlihat senang melihat Ecih. Putraku sangat dekat dengan Ecih karena Ecih sering main ke rumah kalau sedang tidak ada kerjaan.
Meski warga kampung sering bilang kalau Ecih adalah perempuan bayaran, perempuan nakal dan sundal. Di mataku Ecih tetap tetangga yang baik. Dia bahkan pernah hujan-hujanan membawa motornya untuk membawaku dan Langit karena saat itu Langit sedang demam tinggi dan Bang Sugi tidak ada di rumah.
Hari ini, satu januari yang merupakan tahun baru berjalan seperti biasa. Tidak ada yang spesial. Aku tetap memasak dan mencuci seperti biasa sementara putraku yang berusia dua setengah tahun menonton film kartun.
Ketika aku sedang menyuapi Langit, pesan sms berbunyi. Itu dari Mas Sugi.
"Saya sudah di depan hotel Mas, kamarnya nomor berapa ya?"
Aku menyeritkan kening membaca pesan itu. Tapi aku merasa memaklumimya karena mungkin suamiku sedang janjian dengan pembelinya di sebuah hotel. Terlihat jelas dari pesan itu kalau yang di sms suamiku adalah seorang laki-laki. Andai saja Bag Sugi menyebutnya 'mbak', mungkin aku segera menelpon suamiku dan mencecarnya dengan beragam pertanyaan. Tapi ini laki-laki. Tidak ada yang mengkhawatirkan.
Ku abaikan pesan salah kirim dari suamiku. Tapi beberapa menit kemudian, sebuah panggilan masuk dari suamiku.
"Yang, Abang salah kirim sms tadi," ucap suamiku di seberang.
"Iya, Bang. Aku juga tahu kok. Makanya gak aku balas. Sudah dulu ya, Bang. Langit nangis nih." ucapku sambil mematikan panggilan.
Tangisan Langit membuatku kerepotan. Putra kecilku memang repot soal makanan. Kalau dia terganggu, bisa dipastikan nangisnya akan bertahan selama satu jam. Suara gugup Bang Sugi ketika menelponku tadi terlupakan.
Bang Sugi pulang jam enam sore. Wajahnya nampak kelelahan. Tidak seperti biasanya.
"Duduk dulu, Bang. Aku bikinkan teh dulu sama panaskan air mandi buat Abang."
Bang Sugi hanya mengangguk.
Setelah selesai menjerang air panas, aku membawakan segelas teh untuk Bang Sugi. Suamiku meminumnya tandas.
Bang Sugi mengeluarkan lima lembar uang kertas merah. Mataku terbelalak. Ini uang paling banyak yang di berikannya sejak awal pernikahan kami. Biasanya Bang Sugi paling banyak memberiku seratus ribu. Kadang-kadang lima puluh ribu. Tergantung penjualan. Bang Sugi sengaja meminta bayaran perhari karena perut lapar tidak dapat menunggu selama satu bulan untuk terima gaji.
"Banyak sekali, Bang. Ini uang dari mana?" tanyaku heran sekaligus senang.
"Berkat doamu, Yang. Jualan abang laku keras. Ini bonusnya. Sepertinya malam ini kita bisa jalan-jalan, Yang. Sudah lama Abang tidak membawa kamu dan anak kita jalan-jalan keluar." Bang Sugi berkata dengan senyuman mengembang di wajahnya. Suamiku pasto sangat bersyukur karena memiliki uang sebanyak itu di tahun baru.
Aku mengangguk.
Kulihat sejak selesai mandi, suamiku berjalan agak aneh. Sepertinya dia terkena wasir.
"Abang masih bisa jalan malam ini?" tanyaku khawatir.
"Ya bisalah, Yang. Memangnya kenapa?" Bang Sugi balik bertanya dengan lembut.
"Abang jalannya aneh. Abang kena wasir? Kalau abang merasa gak enak, kita di rumah saja."
"Gak! Abang susah payah hari ini cari uang untuk membahagiakan kamu dan Lintang, sekarang kamu menolak?" tanya Bang Sugi dengan emosi. Aku terkejut. Seumur hidup belum pernah ku lihat Bang Sugi seemosi ini.
"Iya, Bang. Kita jadi jalan-jalan." ucapku penuh ketakutan.
"Maaf. Abang hanya ingin membahagiakan kalian. Tolong jangan tolak, ya." suamiku memelukku erat.
Ya tuhan, betapa aku bersyukur sekali memiliki suami seperti Bang Sugi.
Malam ini kami jalan-jalan di alun-alun kota. Aku memesan jagung bakar, tapi si kecil Langit ingin makan permen gula-gula. Jadi tinggallah Bang Sugi sendirian menunggui jagimg bakar pesanan kami dan aku ke tempat penjual permen gula-gula.
Sekumpulan waria terlihat menuju penjual jagung bakar. Ternyata mereka bercakap-capak dengan suamiku. Aku yang sedang menuju ke arah suamiku, jelas sekali mendengar perkataan mereka.
"Euy, Neng Sugi lagi nunggu jagung bakar. Gimana tadi siang sama Om cucok? Ihh pasti banyak duit kan sekarang? Eyke aja yang bawa situ dapat bagian dua puluh persen, Shay!" ucap Waria berbaju merah.
"Nina, saya sedang bersama istri saya." Bang Sugi berkata pelan. Nina, waria berbaju merah itu terdiam. Sama seperti aku yang mematung mendengarnya.
Jadi, hari ini suamiku tidak bekerja melainkan melakukan hal laknat itu! Uang untuk jalan-jalan kami malam ini hasil dari uang haram.
Aku mematung. Menjatuhkan permen gula-gula anakku. Langit menangis. Tangisannya menyadarkan suamiku kalau aku ada di belakangnya.
"Lakn*t kau, Bang ...." Desisku.
Au segera berlari. Meninggalkan kerumunan. Pergi sejauh mungkin. Bang Sugi mengejar tapi kalah cepat dengan lariku yang penuh emosi. Di depan gerbang alun-alun, masih ada tukang ojek mangkal. Aku segera pergi dengan ojek. Tujuanku malam ini adalah rumah ibuku. Aku akan meminta cerai. Aku tidak sudi menyentuh suami yang sudah pernah berhubungan dengan laki-laki lain.
Malam yang indah ini hancur. Anakku menangis sepanjang jalan. Dia pasti menangisi permennya yang jatuh. Sementara aku menangisi Bang Sugi yang membuat duniaku runtuh.
Buku lain oleh Li Kasuarina
Selebihnya