Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Guruku Suamiku

Guruku Suamiku

Effendikz

5.0
Komentar
328
Penayangan
25
Bab

Arjuna mendapatkan surat wasian mendiang Sang Ayah. Bahwa isi surat wasiat harus menikah dengan gadis belia yang masih kelas dua SMK putri dari Pak Banu seorang notaris keluarganya. Kalau tidak mengikuti surat wasiat maka Pak Banu akan dijebloskan ke penjara. Karena kecurangannya di masa lalu pada perusahaan keluarga Daramawan dan Arjuna tak akan mendapat satu rupiah pun warisan beliau. Mampukah Arjuna meyakinkan Asmara anak Pak Banu yang masih berusia tujuh belas tahun untuk menikah? Ikuti terus kisah Arjuna.

Bab 1 Surat Wasiat

Terik tengah hari bergulir perlahan semakin memanaskan area ruko Puri Mas. Arjuna yang tengah beristirahat siang di salah satu kedai kopi di jajaran ruko sebelah kanan.

Tampak menatap segelas kopi hitam sedikit gula kesukaannya. Wajahnya tampak mengingat sesuatu tentang sebuah kenangan.

Kenangan puluhan tahun silam tentang satu masa. Bahwa pernah ada kisah cinta dalam saksi bisu bangku yang ia tempati siang ini di masa muda putih abu-abu.

Dahulu ada seorang gadis dengan tajuk kencan pertama di malam buta. Duduk berdua menikmati alunan petik gitar para pengamen jalanan di kedai Melati yang ia singgahi siang ini.

"Ya sudahlah itu masa lalu dan biarkan menjadi masa lalu. Sekarang yang harus aku pikirkan tentang pengembangan gurita bisnisku ke depan. Persaingan semakin ketat aku rasa dan para kolega jua sudah mulai goyah," gerutu Arjuna sambil tersenyum ringan dengan teguk kopi satu seruput di bibirnya yang masih merah jua.

Wajah Arjuna tergolong awet muda dengan usia yang tak muda lagi. Tiga puluh tahun sudah ia menjalani kehidupan. Bahkan teman-teman sebayanya sudah ada yang memiliki tiga atau dua anak.

Namun Arjuna masih betah melajang hingga saat ini. Walau bergelimang harta dan tergolong tampan. Tetapi masalah asmara Arjuna tak pandai bermain di area tersebut.

"Ke mana Pak Banu ini? Katanya janji bertemu di sini siang ini. Andai bukan masalah tentang surat wasiat Bapak. Tentu aku enggan juga meladeni keinginan Pak Banu yang haus akan harta dan jabatan tersebut," gumam Arjuna yang telah membuat janji bertemu dengan Pak Banu.

Pak Banu adalah seorang yang dahulu dipercaya oleh Pak Darmawan Ayah dari Arjuna. Pak Banu memiliki profesi sebagai notaris handal. Tetapi entah kenapa Arjuna dari dahulu tak menyukai dia.

Bahkan Arjuna bukan tanpa sebab akan tak menyukai orang tersebut. Sebab dahulu pernah Pak Banu melakukan kecurangan penggelapan uang perusahaan Pak Darmawan.

Oleh karena alasan Pak Banu untuk menyekolahkan putrinya menuju jenjang SMK. Oleh sebab sifat Pak Darmawan yang memang sesuai namanya sangat dermawan. Maka Pak Banu hanya diproses secara kekeluargaan dan diwajibkan mengganti dengan dicicil sebisanya.

Masih teringat kata sang Ayah di telinga Arjuna, "Nak, Anakku Arjuna jangan menimbang satu hal dari sisi buruknya saja. Timbang juga akan sisi baiknya pula agar seimbang hidupmu. Tetap berpikir positif dalam hidup, agar jiwamu tetap sehat selalu. Bisa jadi memang benar Pak Banu sangat membutuhkan uang itu dan tak berani bicara pada Bapak. Beliau juga sudah ikut kita bertahun-tahun. Pandang juga jasa beliau yang ikut memajukan bisnis kita."

Huftz,

Hela nafas Arjuna agak panjang bila mengingat semua hal tentang Almarhum Ayahnya. Bahkan terlalu perih pertemuan terakhir dengan Sang Ayah saat ia hendak menimba ilmu ke luar negeri. Tanpa Arjuna sadari saat itu adalah pertemuan terakhirnya bersama Sang Ayah.

Sialnya saat kematian Sang Ayah satu tahun silam. Arjuna sedang melakukan skripsi yang tidak bisa diundur dan ditinggalkan pelaksanaannya. Bahkan walau Arjuna setelah usai skripsi langsung pulang ke Indonesia. Tetap saja Arjuna terlambat menghadiri pemakaman Ayahnya.

"Assalamualaikum Mas Arjuna, maaf telat. Tadi Asmara putriku sibuk menyiapkan acara ulang tahunnya. Jadi saya harus ikut menyiapkan ini dan itu. Maklum Ibunya Asmara sudah berpulang dua tahun yang lalu. Mohon dimaklumi ya Mas Arjuna atas keterlambatan saya," ucap Pak Banu yang baru datang dan agak merasa takut atas marahnya Arjuna.

"Tidak masalah Pak saya juga enggak sibuk-sibuk amat hari ini. Silakan duduk dan oh iya mau pesan minum atau makan siang mungkin. Biar saya pesankan kebetulan tadi saya sudah makan siang," ujar Arjuna agak berbosa-basi.

"Tidak usah repot-repot Mas Arjuna segelas teh hangat cukup menyegarkan dahaga saya dipanas siang hari ini," jawab Pak Banu sambil mengeluarkan berkas lama yang ia bawa dan bertuliskan logo keluarga Darmawan.

"Pelayan teh hangat satu gelas ya?" teriak Arjuna sambil mengacungkan tangannya.

"Siap Pak Bos segera diantarkan," jawab salah satu pelayan kedai kopi dimanah mereka sekarang duduk bersama dan baru sekali ini mereka duduk bersama. Walau selama ini Pak Banu terus bekerja di keluarga Darmawan.

"Singkat saja Pak Banu langsung ke topik yang kita bicarakan semalam ditelepon. Apa maksud dan isi surat tersebut. Tenang saja kali ini aku tak akan mencurigai Pak Banu. Sebab Bapak juga pernah berkata padaku. Tentang surat wasiat yang dititipkannya pada Bapak," tutur Arjuna sambil menyulut sebatang rokok di tangannya.

"Sebaiknya Mas Arjuna membacanya sendiri. Nanti kalau saya yang menjelaskan takutnya Mas Arjuna salah paham. Mas Arjuna juga pasti mengenali tulisan tangan Pak Darmawan dan juga tanda tangannya bukan? Maka surat yang saya bawa asli. Benar-benar ditulis oleh beliau dan dititipkan pada saya saat beliau masih hidup," ucap Pak Banu mengulurkan satu map berkas warna biru pada Arjuna.

Lantas Arjuna membukanya dengan cepat dan begitu pula cara membacanya. Tampak raut wajah Arjuna seketika berubah drastis. Menjadi satu wajah yang tampak heran dan tak mengerti akan isi tulisan pada surat wasiat Ayahnya tersebut.

"Ada apa Mas Arjuna, apa isi dari surat tersebut. Bahkan saya sendiri bertahun-tahun tidak berani membukanya," ujar Pak Banu yang jua ikut penasaran akan isi surat wasiat.

"Apa benar Pak Banu tidak pernah membukanya sama sekali. Walau untuk membaca isinya dan sekedar ingin tahu maksud dari Ayah saya?" tanya Arjuna memasukkan kembali lembaran kertas surat wasiat ke dalam map warna biru.

"Sama sekali tidak pernah Mas, bahkan map itu aku istimewakan dan aku taruh pada satu brangkas bersama surat-surat penting kami. Dimanah brangkas tersebut memang jarang kami buka. Apakah isi surat tersebut kalau boleh saya tahu Mas?" Pak Banu malah bertanya pada Arjuna.

"Kata Ayah saya di dalam surat ini. Yayasan SMK Darmawan Jaya yang di tengah kota itu diberikan pada saya. Tetapi saya harus menikah dengan putri Bapak Asmara. Tetapi Putri Bapak bukannya masih kelas dua di sana, apa patut saya menikahi gadis belia?" tutur Arjuna menjadi agak bingung.

"Apa tidak ada kelanjutannya Mas dari kata-kata surat itu. Mungkin ada kata tetapi atau pengecualian setelahnya Mas?" Pak Banu malah bertanya seakan jua tak mempercayai akan surat wasiat dari Ayah Arjuna.

"Ada Pak Banu, Dalam surat ini. Ayah saya berkata. Kalau semua perintah beliau tak dilaksanakan. Maka tuntutan Ayah akan kecurangan Pak Banu dilanjutkan dan perkara itu sudah dititipkan pula pada kepala sektor kepolisian kota ini. Bahkan kata Ayah dalam surat ini semua aset serta kekayaan beliau akan dihadiahkan atau disumbangkan pada yayasan yatim piatu bila aku tak mematuhinya," tutur Arjuna.

"Terus bagaimana menurut Mas Arjuna. Aku terserah Mas Arjuna bagaimana baiknya?" ucap Pak Banu yang berwajah semakin tegang.

"Terus terang saya dari dahulu tak menyukai Pak Banu. Tetapi saya bukan orang dengan tipe yang suka melihat orang lain sengsara. Apalagi harus memasukkan Pak Banu ke penjara. Jadi mau tak mau kita laksanakan isi dari surat ini," jawab Arjuna.

"Lalu masalah Asmara anak saya bagaimana Mas?" ucap Pak Banu yang khawatir kalau Asmara tak menyetujui tentang isi surat wasiat Pak Darmawan.

"Mengenai Asmara putri Bapak, saya akan mencoba mendekatinya dengan cara menjadi salah satu guru di SMK itu. Saya akan berusaha menarik simpatinya dan memberitahunya perlahan akan surat ini. Sebab dalam surat ini pernikahan harus dilangsungkan saat saya berusia tiga puluh tahun. Kalau melebihi itu surat dibatalkan dan Bapak tahu artinya pembatalan surat wasiat ini bukan," tutur Arjuna seraya berdiri hendak berpamitan pergi.

"Baik Mas Arjuna saya serahkan semua pada Mas Arjuna. Tolonglah ya Mas dan saya tak mau masa tua saya nanti saya habiskan di terali besi. Karena saat itu memang benar-benar terpaksa saya melakukannya," ucap Pak Banu mengulurkan tangan mengajak jabat tangan dengan Arjuna.

"Baik Pak Banu lain kali kita bahas lagi hal penting ini. Saya juga sudah memaafkan kesalahan Pak Banu yang dahulu. Sekarang mari kita bekerja sama untuk melakukan perintah dari surat wasiat ini," kata Arjuna menjabat tangan Pak Banu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku