Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Hidup bergelimpangan harta sudah menjadi pilihan para wanita di manapun mereka berada. Harta, Tahta dan Pria, incaran ganas bagi siapun. Rupanya tampan, dia kaya, gagah nan mempesona. Namun, siapa yang sangka, di balik ketampanan dan kekayaannya, menyimpan sejuta keganasan di dalamnya.
Gareesa Wicaksono, itu lah namanya. Panggil saja Ares. Itu panggilan dari keluarga dan teman-temannya.
Pria gagah itu kini sedang berdiri dengan kedua tangan terlipat menghadap orang-orang yang tengah duduk di tuang tamu. Ada ayah dan ibunya, ada tiga tamu lain yang sepertinya berasal dari kalangan rendah.
“Apa ini perjodohan untukku lagi?” tanya Ares dengan nada sinis.
Belum sempat ada yang menjawab, Ares sudah berdecak sambil membuang muka. “Dan lihatlah, kenapa yang datang keluarga kumuh begini?”
“ARES! Jaga bicaramu!” gertak Bian (Ayah). “Mereka tamu kita, bersikaplah yang sopan!” Bian masih melotot.
Mendengar hampir ada perdebatan, tiga orang yang duduk di depan kedua orang tua Ares, nampak gelisah dan gemetaran.
“Ayah ....”Ares meraup wajah kemudian berdecak. “Lihatlah mereka, tampangnya saja lusuh begitu, bagaimana bisa disandingkan denganku?”
“ARES!” gertak Bian lagi. Dan Ares tetap bersikap santai tanpa ada rasa bersalah. “Duduklah dan biarkan kami membicarakan ini baik-baik.”
Ares menyeringai. Saat ia duduk, bola matanya sempat melirik ke arah seorang gadis berambut kepang dengan panjang di bawah pundak. Ares tidak bisa melihat dengan jelas rupanya seperti apa karena gadis itu sedari tadi menunduk.
“Ck! Apa gadis itu yang akan menikah denganku?” tanya Ares saat Ayahnya hendak bicara.
“Ares, diamlah dulu. Ayahmu mau bicara,” wanita di samping Bian melotot ke arah Ares.
Dia Ana, ibu tiri dari Ares.
“Hei! Anda bukan siapa-siapaku, jangan mengaturku!” sulut Ares sambil menuding.
Bian berkedip pada sang istri, sambil mengusap lengan. Bian memberi kode supaya tidak usah ikut bicara. Ana sempat merengut, tapi ada baiknya juga berdiam diri dari pada ikut berdebat dengan pria seperti Ares.
“Jawab ayah!”
Bian terperanjat saat tiba-tiba Ares berteriak ke arahnya.
“Apa gadis itu yang akan menjadi istriku?” tanya Ares mengulang pertanyaan yang tadi.
Gadis itu terlihat semakin menciut ketakutan. Kedua tangannya gemetaran dan saling genggam. Ares sempat menyeringai melihat ketakutan gadis itu.
“Mau bertahan sampai berapa detik dia bersamaku,” batin Ares masih dengan melirik tangan gemetaran itu.
“Kau duduklah yang tenang, biar ayah menyelesaikan pembicaraan ini.” Bian menepuk pundak Ares saat sudah duduk di sampingnya.
“Sepertinya menarik. Baiklah, aku akan ikuti drama ini,” gumam Ares dalam hati.
“Perkenalkan, mereka dari keluarga Kakek Baskoro. Ini Paman Anton dan ini Bibi Maya. Kalau yang ini ....”
“Gadis lusuh!” potong Ares sambil menyeringai jijik.
Senyum yang sempat mengembang di bibir Anton dan Maya langsung lenyap.
Bian menghela napas lalu berkata lagi tanpa memperdulikan perkataan Ares baru saja.
“Namanya, Anggun. Anggun Lestari.”
Mendengar nama gadis itu disebutkan, gelak tawa mencuat begitu sana dari mulut Ares. Ares tertawa sampai buliran bening muncul di ujung mata.
“Aku tidak salah dengar?” Ares ternganga menatap ayahnya.
“Apa maksudmu?” tanya Bian.
“Anggun Lestari? Hm ... kenapa nama itu terdengar sangat aneh?” Ares tertawa lagi. Sementara yang lain hanya bisa mengusap dada.
“Namanya kampungan sekali!” ceplos Ares lagi.
“Jaga bicara anda, Tuan!” Anggun tiba-tiba berdiri. Dua bola matanya menyala ke arah Ares. “Jangan pernah menghina namaku!”
“Heh!” Ares ikut berdiri. “Apa bagusnya namamu? Terlalu kampungan, makanya pantas dihina!”
“Ares, dudulah.” Bian menarik lengan Ares.
“Kau juga duduk Anggun,” perintah Anton dan Maya.