Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Malam Pertama dengan CEO

Malam Pertama dengan CEO

Stefani Wijanto

5.0
Komentar
259.3K
Penayangan
27
Bab

Kara dijual oleh suaminya tepat pada malam pertama pernikahan mereka, pada lelaki bernama Angkasa. Kara harus melayani sang CEO selama satu bulan. Hari demi hari dilalui Kara bersama Angkasa, hingga Kara mengandung. Akan tetapi, Angkasa tidak mau mengakui bahwa bayi yang di dalam kandungan Kara adalah darah dagingnya--karena kesalahpahaman. Kara dicampakkan begitu saja. Kara makin menderita karena perbuatan mertua dan suaminya. Dia menghadapi penderitaan hidup seorang diri dalam kondisi mengandung. Kara akhirnya bisa sukses menjadi desainer berkat kerja keras. Angkasa muncul kembali pada kehidupan Kara. Menyesal dan meminta maaf. Akankah Kara menerima permintaan maaf Angkasa?

Bab 1 Petaka Malam Pertama

"Pakai ini." Andreas mengulurkan lingerie merah. "Biar tambah panas," ucapnya kemudian sembari mengedipkan matanya.

Aku menerima lingerie, lalu tertunduk malu. Rautku pasti semerah warna lingerie.

"Aku tunggu di sini," ujar Andreas, menepuk-nepuk tempat tidur.

Dengan perasaan yang tak keruan, aku masuk kamar mandi. Melepas semua baju termasuk pakaian dalam, berganti dengan lingerie. Pantulan diri pada cermin membuatku makin tersipu malu. Belahan dada terlihat, pahaku terekspos. Lekuk tubuh ini samar terlihat.

Aku menarik napas dalam. Andreas adalah suamiku, jadi tidak perlu malu. Membayangkan malam pertama yang bakalan kami lewati, membuat degup jantung melesat cepat. Mendadak hasrat meledak sempurna.

Perlahan aku menguak pintu kamar mandi. Lagi, aku tertunduk dalam seraya melangkah ke tempat tidur. Namun, suamiku tidak ada.

"Andreas," panggilku, memindai setiap sudut kamar. "Andreas ...."

Ke mana dia? Apa mungkin dia keluar kamar? Aku meraih jubah kimono yang tersampir di kursi.

Tiba-tiba lampu kamar mati ketika kaki hendak berjalan ke arah pintu. Embusan hangat pada tengkuk dan tangan yang melingkar di pinggang membuatku terkejut setengah mati. Jubah kimono yang aku kenakan dilepas oleh Andreas, meluncur ke bawah.

"Andreas, dari mana saja?" tanyaku, memutar tubuh. Karena gelap, aku tidak bisa melihat suamiku.

Andreas tidak menjawab, dia malah membopong tubuhku ke peraduan. Mencium bibirku dengan tergesa, sementara tangan kanannya menarik lingerie hingga terlepas. Aku mendekap punggungnya dengan erat, membalas ciuman Andreas yang membara. Dia mulai menjelajah leher dan dadaku. Turun pada perut, memberikan sensasi yang bergejolak. Seperti inikah rasanya bercinta?

Sentuhan demi sentuhan dari Andreas membuatku terseret dalam letupan indah yang tidak berkesudahan. Napas kami berkejaran pada malam yang sunyi. Debaran di dada nyaris terbakar.

Akan tetapi, aku tersadar dengan aroma citrus. Seingatku parfum Andreas beraroma bunga lili. Dan, ketika tanganku menyentuh rambut---rambutnya tebal, sepertinya sedikit bergelombang. Rambut Andreas pendek ala anggota militer.

"Siapa kamu?" Aku mendorong tubuh lelaki yang tidak kukenal, menyambar selimut untuk menutupi tubuh, dan menyalakan lampu meja di samping tempat tidur.

Seorang lelaki yang tidak kukenal tersenyum lebar. "Aku?"

Aku turun dari tempat tidur, memegang erat selimut.

"Aku lelaki yang akan menghabiskan malam bersamamu," ucapnya dingin.

"Andreas!" teriakku.

"Suamimu sudah pergi."

"Tidak mungkin." Aku mengambil tas di atas meja rias. Ponselku tidak ada di dalam tas, sehingga aku menumpahkan semua isi tas di lantai. Tetapi, ponselku tidak ketemu. Aku mencari ke setiap sudut kamar dengan kebingungan.

"Kara, Andreas menjual dirimu seharga mobil dan menyewakan selama satu bulan untuk melayaniku," kata lelaki bermata cokelat itu.

"Dari mana kamu tahu namaku?" Aku merapat ke pintu, mencoba membuka pintu. Aku sangat ketakutan. "Andreas, tolong!"

Berkali-kali aku menggerakkan pegangan pintu, berharap ada keajaiban pintu bisa terbuka.

"Andreas tidak akan datang, Kara Sayang. Dia sudah meninggalkan vila."

Aku menoleh, lelaki yang tubuhnya tidak tertutup sehelai benang pun itu berjalan mendekat.

"Andreas, tolong! Andreas!" Aku berteriak dan menggedor-gedor pintu.

"Jika kamu menurut, aku tidak akan kasar dan kamu tidak akan kesakitan. Seperti tadi, kau begitu menikmati." Wajah itu menyeringai mengerikan. Kedua tangannya mencengkeram kuat pundakku.

"Lepaskan! Andreas! Tolong!"

Teriakanku percuma. Tidak bisa menembus dinding kamar. Perlawananku pun tidak bisa menyelamatkan kehormatanku.

***

Lelaki itu tidur nyenyak setelah menjamah paksa tubuh ini. Sementara aku meringkuk di atas sofa, meratapi nasib. Aku masih tidak percaya Andreas menjualku demi uang. Aku mengenal Andreas dua bulan yang lalu, dia dari keluarga terpandang, ayahnya seorang pejabat. Status Andreas duda tanpa anak, istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan empat bulan yang lalu.

Andreas sangat sopan dan ramah, itu yang membuatku jatuh hati dan menerima lamarannya. Aku yang hanya buruh pabrik dan yatim piatu tentu saja bahagia. Lelaki tampan serta pujaan para perempuan memilihku sebagai istrinya. Aku tidak berpikir dua kali, karena usiaku dua puluh sembilan tahun. Dan, yang pasti karena rasa cinta.

Aku mengusap butir air mata yang luruh di pelipis dan membasahi bantal. Masih saja mengingkari kenyataan--tidak mungkin Andreas berbuat kejam dan biadab--mungkin saja lelaki itu berbohong. Atau mungkin saja Andreas disekap di suatu tempat.

"Tidak mungkin, tidak mungkin ...." desisku.

Ingin kabur tidak bisa, jendela kaca dengan teralis besi dan pintu kayu itu cukup tebal. Tubuhku lelah dan perih, yang bisa kulakukan hanya tetap bisa terjaga sepanjang malam.

"Kara ...."

Sentuhan hangat terasa di pipi lalu di hidung. Refleks, aku terbangun. Denyut-denyut nadiku berantakan karena terkejut. Ya, Tuhan, aku terlelap. Mataku mengerjap, wajah lelaki bejat itu sangat dekat.

"Apa yang ingin kau lakukan?!" Aku langsung berdiri dan menjauh.

"Rupanya kamu kelelahan." Lelaki itu mengambil jas yang tergeletak di lantai. "Ayo, keluar, kita akan ke rumahku. Di sana kita akan memadu kasih setiap malam."

Aku menggeleng. "Tinggalkan aku."

"Oh, tidak bisa, Nona cantik. Aku sudah membeli dan menyewamu," katanya, "ngomong-ngomong mungkin kamu ingin menyimpan seprai? Usiamu sudah tidak muda lagi, tapi kamu masih perawan. Ternyata Andreas tidak berbohong."

Mataku melihat ke arah seprai, noda merah membuat dadaku sesak. Rasa pedih merayapi hati. Kedua tanganku mengepal kuat, hingga kuku-kuku menghujam.

Lelaki itu menyeretku keluar kamar, aku tersuruk-suruk mengikuti langkahnya. Cengkeramannya kuat sekali.

"Tolong, lepaskan aku." Aku mengiba. Aku tidak ingin berakhir dalam dekapan lelaki bejat itu.

"Selamat pagi, Pak Angkasa," sapa seorang lelaki yang berdiri di sisi mobil, dia kemudian membuka pintu mobil.

Aku menggigit tangan lelaki yang bernama Angkasa itu. Dia berteriak dan mengumpat. Namun, tidak membuatnya melepaskan cengkeraman. Tubuhku didorong masuk ke mobil, hampir tersungkur di jok belakang.

Mobil sedan meluncur. Pada garis batas, langit mulai terang dengan warna kemerahan. Aku telah melalui malam laknat. Aku tidak ingin melaluinya lagi. Tidak.

Aku harus bisa kabur, lari dari lelaki yang duduk di sebelahku. Mobil berhenti karena lampu merah. Aku beruntung, karena sistem autolock pada mobil sepertinya rusak, sehingga aku bisa membuka pintu mobil. Angkasa sempat meraih ujung kemejaku, tetapi tidak bisa mencegahku keluar mobil.

"Kara, kembali!"

Lampu yang berubah hijau menyelamatkan diriku. Terus berlari menyusuri trotoar jalan dengan bertelanjang kaki. Aku baru berhenti setelah sepuluh menit lari. Tidak ada Angkasa di belakangku.

Aku duduk pada bangku trotoar, telapak kaki berdarah sedikit karena tergores batu. Menyelaraskan napas yang hampir habis. Ke mana tujuanku sekarang? Menghubungi Andreas? Aku bimbang. Kalaupun dia tidak menjualku, dia pasti tidak menerima istri yang telah ternoda.

Setelah merasa cukup istirahat, aku melangkah perlahan. Aku akan pulang ke rumahku sendiri.

"Kara!"

Aku menoleh, Bu Zunaira--mertuaku--turun dari mobil. Dia memelukku.

"Kara, telah terjadi pada Andreas tadi malam. Kami mencoba meneleponmu, tetapi ponselmu tidak aktif. Kenapa kondisimu memprihatinkan begini?" Bu Zunaira melepas pelukan dan melihat diriku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Apa yang terjadi dengan Andreas, Bu?"

"Dia diculik."

"Diculik? Tapi--"

"Kita pulang dulu, ya, Nak." Bu Zunaira membimbingku masuk mobil. "Tenangkan dirimu, pasti Andreas baik-baik saja."

Aku antara percaya dan tidak. Tapi, mungkin saja bisa terjadi. Apa Angkasa yang menculik Andreas tadi malam? Bu Zunaira tampak tegang, dia memegang jemari tanganku. Sementara mobil membelah jalan raya yang mulai hidup.

"Rumah siapa, Bu?" tanyaku saat mobil merapat di rumah besar berpagar tinggi.

"Rumah petinggi polisi, dia yang membantu keluarga kita melacak Andreas. Seharusnya kalian berbulan madu, malah kemalangan yang menimpa," jawab Bu Zunaira sebelum turun dari mobil.

Aku pun ikut turun. Dua lelaki tinggi besar mendekati kami. Lalu, dengan cepat mereka mengunci tubuhku.

"Apa-apaan kalian? Lepas!" Aku memberontak, namun sia-sia. "Bu Zunaira, tolong aku."

"Tempatmu di sini, Kara," sahut Bu Zunaira sinis.

"Apa maksudmu?" Aku tidak mengerti.

"Hei, Kara, kita berjumpa lagi." Lelaki yang memakai kemeja putih muncul dari dalam rumah.

"Bu Zunaira ...." Aku memandangi mertuaku tidak percaya. Perempuan tua itu menyerahkan aku pada Angkasa.

"Terima kasih, Bu Zunaira," ujar Angkasa.

"Tentu saya dan Andreas tidak akan mengecewakan Anda, Pak Angkasa. Uang Anda tidak akan sia-sia," sahut Bu Zunaira. "Ikat saja kaki Kara, supaya tidak lari lagi. Saya permisi dulu."

Aku serasa ditusuk-tusuk ribuan pisau, Ibu mertua dan suamiku melakukan hal biadab. Mereka berdua bak malaikat, namun pada kenyataannya, mereka iblis ....

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Stefani Wijanto

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku