Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kesalahan Satu Malam

Kesalahan Satu Malam

Riana Christina

5.0
Komentar
253
Penayangan
2
Bab

Kesalahan satu malam membuat kehidupan remaja Rindu Anastasya berubah. Di umur yang masih muda ia harus mengandung dan Leonel yang harusnya bertanggung jawab tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Kenyataan pahit itu membuat Rindu frustrasi hingga berniat mengakhiri hidupnya. Beruntung Awan yang adalah anak dari sopir keluarganya bersedia menikahinya. Lima tahun berlalu, Leonel kembali dan baru menyadari bahwa dia sudah kehilangan banyak karena keegoisannya. Leonel ingin kembali pada Rindu yang saat itu sudah menjadi istri Awan. Akankah Rindu memaafkan Leonel dan lebih memilih mantan kekasihnya daripada Awan, suaminya?

Bab 1 Malam Penuh Noda

Desahan napas memburu, terus beradu di sebuah ruangan yang hanya mendapat penerangan cahaya dari lampu tidur.

Di sana, di atas ranjang yang berada di tengah ruangan, terdapat dua insan yang sedang bergumul, bercum*bu, menyalurkan has*rat yang menggebu.

"Leonel ...."

Erangan si gadis semakin menggila ketika Leonel menciumi dadanya secara bergantian, kompak dengan tangan yang mere*mas bagian itu.

"Kau sangat indah, Rindu," rancau Leonel dengan pandangan berkabut. Tangannya bergerak turun, perlahan, menyusuri tubuh mulus sang gadis. Ketika sudah menemukannya, pemuda itu mengelus lembut, memainkan dengan sangat ahli, seolah-olah sudah sangat berpengalaman, padahal usianya baru menginjak 18 tahun.

Ya, 18 tahun.

Malam ini adalah malam prom, malam perayaan kelulusan mereka sebagai siswa sekolah menengah atas. Di saat teman-teman seangkatan mereka merayakan malam kelulusan di ballroom, Leonel sengaja menarik sang pacar ke salah satu kamar di hotel yang sama dengan tempat acara prom. Lalu, melakukan perbuatan yang belum pantas mereka lakukan.

"Oh, tidak Leo ... aku ... aku ingin meledak." Gadis itu menggigit bibir bawah, matanya terpejam, bersiap menjemput puncaknya.

"Jangan dulu Sayang, tunggu aku."

Leonel tidak membuang-buang waktu. Erangan Rindu semakin menggila, membuat Leonel semakin bersemangat dan bergairah. Ia ingin memberikan banyak kenikmatan untuk sang pacar. Semakin banyak Rindu mendapat kenikmatan, semakin puas Leonel dibuatnya. Rindu begitu cantik, begitu menggoda dengan wajah malu-malunya. Apalagi ketika pacarnya itu menggigit bibir bawah, rasanya Leonel ingin menggantikan gigi-gigi itu.

Leonel terus bergerak mengikuti pusaran gairah, sampai menemukan tubuh gadis di bawahnya melengkung disertai lenguhan panjang, pertanda Rindu sudah mencapai puncak. Ia pun tidak ingin kalah, ia mengejar kepuasannya sendiri hingga merasakan sesuatu seperti meledakkan tubuhnya.

Leonel ambruk, tubuhnya yang berkeringat terkulai di atas tubuh rindu, napasnya terengah. "Terima kasih Rin, ini luar biasa," gumamnya terengah di balik ceruk leher Rindu.

Entah berapa lama keduanya tenggelam dalam lautan kenikmatan, sampai terdengar nada lirih itu terdengar.

"Leo, em ... barusan kau mengeluarkannya di dalam?" tanya Rindu seperti baru menyadari sesuatu. "Aku takut ...."

"Jangan takut," sela Leonel seraya menjauhkan wajahnya agar bisa menatap manik mata hazel itu. Ketika tatap mereka bertemu ia kembali berkata, "Aku pasti bertanggung jawab."

***

"Uweekkk ... uweekkk ...."

Pagi ini Rindu kembali memuntahkan isi perutnya. Sudah beberapa hari ini ia merasakan pusing dan mual di pagi hari. Yang membuatnya semakin heran, entah mengapa tubuhnya mudah sekali lelah. Naf*su makannya menjadi berkurang hingga tidak bersemangat melakukan apa pun.

Liburan kelulusan sekaligus menunggu ijazah keluar tinggal beberapa hari lagi akan berakhir. Sesekali ia dan teman-temannya, juga Leonel bertemu di coffee shop langganan mereka, menikmati sisa-sisa kebersamaan karena sebentar lagi akan berpisah.

Ya, beberapa teman Rindu akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri termasuk Leonel. Sementara ia sebagai putri sulung seorang dekan, sudah ditentukan akan melanjutkan sekolah di universitas di mana ayahnya bekerja.

Rindu juga sebenarnya berat berpisah dengan Leonel. Ia ingin selalu berada di dekat sang pacar, ia takut Leonel meninggalkannya. Atas alasan itu, Leonel berhasil membujuknya di malam prom. Mengatakan kalau perbuatan terlarang mereka di malam itu sebagai bukti cinta sekaligus pengikat hubungan mereka.

Saat sedang memikirkan perbuatan terlarangnya bersama Leonel dan juga keanehan dalam tubuhnya, tanpa sengaja Rindu melirik kalender. Perlahan mendekati nakas, mengambil kalender duduk di sana. Matanya sontak diantar ke tanggal hari ini, lalu membalik lembaran kalender ke bulan lalu, mengingat kembali ke tanggal terakhir kali ia mendapat tamu bulanan.

Seketika itu juga Rindu tersentak, terduduk di kasur. Pikirannya nyalang, memikirkan satu kemungkinan yang kemudian membuat tubuhnya gemetar.

"Tidak! Itu tidak boleh terjadi," gumamnya seraya menyentuh perutnya yang rata.

Hari ini tepat lewat dua minggu dari tanggal biasa ia mendapatkan tamu bulannya. Rindu bisa saja menganggap ini wajar karena memang setiap bulan tanggal menstruasinya berubah-ubah,akibat siklus yang tidak lancar.

Iya, Rindu bisa menanggapi dengan tenang jika saja ia tidak pernah berpacaran melewati batas dengan Leonel.

Sebagai siswi yang mengambil jurusan sains sewaktu di sekolah menengah atas sekaligus menjadi calon mahasiswi kedokteran, Rindu paham betul resiko dari perbuatan terlarangnya bersama Leonel. Meskipun mereka hanya melakukan sekali.

Kecurigaan itu membuat Rindu gelisah, ia lantas memesan alat tes kehamilan lewat online. Tidak tanggung-tanggung, Rindu memesan tujuh alat tes kehamilan dengan merek yang berbeda.

Setelah pesanannya datang, Rindu segera berlari menuju kamar mandi dalam kamarnya. Ia duduk di atas kloset. Jantungnya seketika berdebar. Dengan tangan gemetar, perlahan ia membuka bungkusan tadi lalu membaca petunjuk pemakaiannya terlebih dahulu.

Kini tangan kanan memegang benda kecil berwarna putih yang berisi garis strip warna merah dari bungkusan tadi, sedangkan tangan kiri memegang gelas ukur lab yang juga dipesannya via online. Gelas itu sudah berisi urine miliknya. Rindu menelan ludah beberapa kali. Jantungnya sudah berdegup semakin kencang. Dengan memicingkan mata, ia mencelupkan alat tes itu ke dalam gelas urine, harap-harap cemas menunggu hasilnya.

Rindu melebarkan mata begitu dua garis merah muncul pada alat tes itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat itu juga. Kepalanya seketika pusing.

"Tidak Rin, kamu harus rileks. Inheal ... exheal ... inheal ... exheal," gumamnya menenangkan diri sendiri. "Kita coba lagi, ini pasti ada kesalahan pada alatnya tadi. Ya, alatnya pasti salah tadi."

Bergegas Rindu mengambil bungkusan merek lain dari kantung yang sama, lalu melakukan hal yang sama. Ia berdecak begitu melihat hasilnya. Lalu mencoba lagi dengan merek lain. Begitu berulang sampai tujuh kali dengan alat tes dari merek yang berbeda, tetapi hasilnya tetap sama. Dua garis merah, tanda + , dan tulisan yes.

Rindu sangat mengerti artinya. Ingin rasanya sekarang ia menjerit, menangis, dan marah. Namun, marah pada siapa? Bukankah ini adalah hasil dari perbuatannya sendiri.

Dengan pikiran kacau, Rindu hanya bisa terduduk lemas di kloset, butiran bening pun mulai mengalir di kedua pipi mulus itu.

"Aku hamil. Apa yang harus aku lakukan?"

***

"Apa?" pekik Leonel. "Kok bisa sih, Rin?" pemuda itu mencengkeram kedua lengan Rindu yang sedang duduk di bangku yang ada di tengah-tengah taman.

Siang ini, Rindu memutuskan untuk memberitahu pemuda yang menyebabkan kehamilan ini terjadi padanya. Mereka memilih berbicara di taman dekat perumahan Rindu karena pusing dan mual membuat Rindu tidak kuat berpergian jauh.

"Aku juga nggak tahu, aku nggak mikir kalau bakalan begini jadinya." Rindu meremas jemari sembari terus meneteskan air mata.

Pemuda itu melepaskan cengkeraman tangannya, lalu berdiri memunggungi Rindu sambil menjambak rambutnya sendiri. "Aarrggghh, sial!" umpatnya. "Kenapa bisa begini, sih? Padahal aku sudah mengikuti metodenya." Leonel mengusap wajah dengan gusar kemudian mendekati Rindu kembali, bersimpuh di depan gadis itu. "Terus mau kamu gimana sekarang?" Dengan lembut meraih tangan Rindu, lalu menggenggamnya.

Mata sembab Rindu menatap Leonel dengan sendu. "Aku cuma ingin kamu tanggung jawab seperti yang kamu janjikan malam itu."

"Tentu aku akan tanggung jawab, kamu mau aku tanggung jawab seperti apa?" tanya Leonel lembut sembari mengecup tangan Rindu yang ada dalam genggamannya.

Pertanyaan Leonel membuat dahi Rindu mengernyit dalam. Tanggung jawab seperti apa katanya?

"Tentu saja menikahiku. Aku mau kita menikah secepatnya!"

"Menikah?" Sepasang manik hijau itu membulat, sontak melepaskan tangan Rindu dan berdiri. "Kita pasti menikah Rin. Aku pasti akan menikahimu, tapi tidak sekarang!"

"Terus, kapan?" Rindu mulai terdengar tidak sabar.

"Kita masih muda Rin, belum dewasa. Belum saatnya memikirkan anak. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan. Aku masih ingin kuliah dan menggapai cita-citaku."

"Terus kamu pikir aku juga tidak menginginkan semua itu!" Wajah cantik itu mengeras, semakin emosi pada pemuda di depannya. "Apalagi aku, Ayah sudah mendaftarkanku ke fakultas kedokteran sesuai impianku."

"Maka dari itu kita jangan memikirkan pernikahan dulu." Pemuda tampan itu kembali bersimpuh di hadapan sang pacar, menatapnya dengan wajah memelas.

"Lalu gimana? Kamu enak nggak ada bekasnya, sedangkan aku, perutku semakin lama semakin membesar, mana bisa disembunyikan lagi." Air mata kembali meleleh tanpa mampu dicegah. Rindu menangis lagi.

"Kita bisa cari cara lain ...?" Dua alis Leonel terangkat ketika tatap mereka bertemu.

"Cara apa?"

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku