Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Satu Malam Dengan CEO Tampan

Satu Malam Dengan CEO Tampan

Bunda Kembar

5.0
Komentar
2.6K
Penayangan
61
Bab

Warning. mohon bijak dalam memilih bacaan Dua tahun setelah kematian suaminya, Hana harus menemukan kenyataan kalau putra kecilnya mengidap leukemia. Hana tidak punya pilihan lain, dia harus mencari uang dalam jumlah banyak untuk biaya pengobatan anaknya. Situasi itu mempertemukan Hana dengan Devan. Devan, sang CEO yang angkuh karena patah hati bersedia memberikan banyak uang pada Hana asalkan Hana bersedia bermalam dengannya. Demi menyelamatkan putra kesayangannya, Hana pun terpaksa melakukannya. Seiring kebencian yang muncul di hati Hana kepada Devan yang telah membuatnya terpaksa melakukan hal itu, cinta di hati Devan justru tumbuh terhadap Hana. Devan merasa sangat menyesal ketika mengetahui kalau Hana tidur dengannya demi menyelamatkan putranya. Devan berusaha meminta maaf dan mendapatkan hati Hana. Akankah Hana memaafkan lelaki yang telah memanfaatkan dirinya? Bisakah Hana menghilangkan bayangan kelam dari malam ketika Hana merasa dia telah menjual diri demi uang? Bagaimanakah kisah cinta Hana dan Devan?

Bab 1 Percintaan Semalam

Malam mulai tinggi ketika hana berjalan menegarkan langkah, menapaki lantai loby hotel mewah di bilangan Jakarta Selatan yang baru saja didatanginya. hana menarik nafas panjang, dia langsung menuju ke arah lift. hana berjalan lurus, tanpa melirik ke kanan atau ke kiri sedikitpun. Perasaannya terasa tak karuan ketika berdiri menanti pintu lift itu membuka.

Ting!

Denting suara lift membuyarkan lamunannya. Hana menarik nafas panjang. Setiap tarikan nafasnya terasa sama sekali tak melunasi sesak di dadanya. Hana rasanya ingin menangis.

Hana melangkahkan kaki ke dalam lift itu. Dia segera memencet tombol lift untuk menuju ke lantai 25. Jantung Hana rasanya berdebar semakin kencang. Hana berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya, berusaha memudarkan air mata yang terasa hendak menyelinap keluar dari pelupuknya. Dia menengadahkan kepala, hana tahu, dirinya tak mau kelihatan sedih atau takut. Semua ini sudah menjadi keputusannya.

Hana memandang bayangan dirinya yang dibiaskan oleh pintu lift berwarna perak. Wanita cantik itu berdiri kikuk. Gaun hitam tujuh per delapan yang dikenakan Hana membalut tubuh tinggi semampainya. Hana tampak anggun dalam balutan busana itu. Tapi tidak, bukan itu alasan Hana mengenakan warna hitam hari ini, hana sedang merasa berduka.

Sekali lagi Hana menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat. Di dalam hati, hana merasa sedikit beruntung karna hanya dirinya yang ada di dalam lift itu.

Ting!

Suara lift yang kembali berdenting membuat Shana otomatis memejamkan mata. Rasanya setiap langkah akan sangat sulit baginya. hana menguatkan diri. Dia melangkah keluar dari lift itu. Sekilas melihat papan penunjuk dan berbelok ke kanan.

Hana melangkah dengan tegar. Sesaat dia memuji kemampuan dirinya memainkan peran itu. Kalau saja Hana menuruti keinginan hatinya, dia mungkin merangkak pada selasar di antara kamar-kamar presidential suite itu.

Semakin mendekati kamar yang dituju, langkah Hana berubah pelan. Seketika perasaan takut menyerang dirinya, 'Haruskah aku masuk ke dalam sana?' Hana bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ada sebuah keraguan yang menghampiri pikiran wanita itu.

'Ya, aku harus masuk ke dalam dan menyelesaikan segalanya!' Seketika ia teringat akan bocah kecil berusia 3,5 tahun itu. Bocah yang sekarang tak berdaya menunggunya. Hana pun memantapkan hatinya kembali, melangkah tanpa rasa takut ke arah yang ditujunya.

Kamar 2509! Sesuai dengan nomor kamar yang dikatakan sahabatnya pagi tadi. Hana berhenti tepat di depan kamar itu. Dia menarik nafas panjang sebelum jemari lentiknya dengan ragu memencet tombol bel pintu.

Hana menundukkan kepalanya, wanita itu merasa sangat gugup sekali. Ingin rasanya ia berlari dari sana. Tapi tidak, tentu saja dia tidak boleh lari. Hana datang karena kemauannya sendiri, karena keputusan yang telah diambilnya.

Pintu itu terbuka, Hana yang menunduk seketika mengangkat wajahnya pelan. Matanya menyusuri sebuah sosok yang ada di hadapannya dari kaki hingga mata bertemu mata. "Masuklah," ujar lelaki berparas tampan yang sedang berdiri di depannya saat ini.

Lelaki itu adalah Devan, bos besar dari perusahaan tempat sahabatnya bekerja. Wajah rupawan lelaki itu memang tersenyum tipis, namun senyuman itu tampak seperti seringai bagi hana.

Hana terdiam menatap wajah tampan nan dingin itu. Sebuah rahang kokoh yang sedikit di tumbuhi cambang tipis, sorot matanya yang tajam dengan bola mata berwarna hazel itu seharusnya bisa membuat setiap wanita yang melihatnya terpesona, tapi tidak bagi Hana. Bagi hana, lelaki itu hanyalah sebuah jalan keluar yang dapat membantu dirinya.

"Hemm ...."

Lelaki itu berdeham seketika membuyarkan lamunan Hana, Hana langsung mengubah raut wajahnya yang tegang. Dia mengangguk pelan. Tanpa menunggu, Hana melangkah menjejakkan kakinya di kamar hotel itu ketika sang lelaki di hadapannya sedikit mundur, memberikan hana jalan untuk masuk.

Lelaki itu kini duduk di sebuah sofa besar di tengah ruangan. "Duduklah," ucapnya sambil terus menatap ke arah wanita cantik di hadapannya.

"Kau mau minum? Kau sudah tahu namaku kan? Aku--" Lelaki itu bertanya sambil mengulurkan tangannya namun ucapannya disela oleh Hana.

"Aku tidak mau minum, juga tak ingin mengetahui siapa dirimu, kita lakukan saja apa yang sudah kita sepakati." Hana memotong ucapan Devan, ia ingin segera menyudahi segalanya agar bisa pergi dari tempat itu.

Devan tersenyum sinis, sebelah tangannya mengusap rahang kokoh miliknya. Devan berdiri lalu berjalan ke arah Hana.

Semakin dekat lelaki itu pada dirinya, semakin gugup pula perasaan hati Hana. Ketika Devan sudah berjarak hanya beberapa jengkal dari Hana, lelaki itu menghentikan langkahnya. Kedekatan lelaki itu membuat jantung Hana berdetak dengan kencang.

Devan memegang dagu Hana menariknya ke atas, lelaki itu memperhatikan wajah cantik dengan mata sayu dan bulu mata yang lentik menatap ke arahnya, perlahan pandangannya turun ke bawah, ke bibir mungil berwarna peach yang begitu menggoda.

Hana merasa sangat gugup saat perlahan lelaki itu mendekatkan wajahnya. Sekarang denyut jantungnya Hana sudah tidak karuan.

Perlahan Devan mendekatkan bibirnya, mata itu sempat melihat ke arah wajah Hana memperhatikan raut mukanya yang mulai tegang, Devan tau jika saat ini wanita yang ada di hadapannya tengah gugup.

Lelaki itu langsung melihat ke arah bibir Hana dan mulai menciumnya, ciuman yang hanya menempel di bibir Hana. Devan sengaja karena ia ingin tau reaksi apa yang diberikan oleh wanita itu.

Namun setelah sepersekian detik tak ada pergerakan apapun, Devan mulai kembali, dia melumat bibir itu, satu tangannya ia lingkarkan kebelakang tengkuk Hana, ia sedikit mendorong kepala Hana untuk memperdalam ciumannya.

Hana hanya diam saja, ia bingung harus membalas atau tidak. Hana merasa begitu malu, jijik, dan enggan melakukannya. Namun saat lumatan itu bertambah dalam, tubuh Hana tak mampu lagi menolaknya. Devan terus saja melumat bibir Hana Hingga wanita itu membuka sedikit mulutnya, lidahnya mulai masuk ke dalam dan bermain dengan leluasa di sana, ia semakin menekan tengkuk Hana sesekali meremas rambutnya dengan lembut.

"Mmmhhh ...."

Satu desahan indah lolos begitu saja dari mulut Hana, ia sendiri terkejut mendengarnya. Pikiran dan hatinya menolak, namun hasrat di dalam dirinya sebagai seorang wanita dewasa seakan bertolak belakang dan merespon apa yang dilakukan lelaki itu.

Mendengar suara indah itu lolos begitu saja, Devan semakin bersemangat. Dia memperdalam ciumannya, hingga hana kehabisan nafas, Devan segera melepas pangutannya.

Nafas keduanya memburu, hana mengambil banyak udara agar dia bisa merasa lega namun Devan sepertinya tak membiarkan itu berlangsung lama. Lelaki itu sudah menciumnya kembali dan melumat bibir itu dengan penuh gairah. Bibir tipis lelaki itu lalu turun ke leher jenjang milik Hana, di ciumnya leher itu, satu tangannya meremas salah satu bukit kembar milik Hana.

"Ah ...."

Suara indah itu kembali melompat dari bibir hana, Devan jadi begitu bersemangat. Devan melepaskan retleting gaun yang dikenakan Hana. Dia meremas bahkan memainkan puncak milik Hana, wanita menengadahkan kepalanya ke atas, perlahan Devan membuka gaun yang di kenakan oleh Hana hanya dengan satu tarikan, gaun itu meluncur bebas menuju lantai.

Devan tertegun melihat pemandangan indah yang ada di hadapannya. Tubuh polos Hana dengan lekukan tubuhnya yang begitu menggiurkan membuat hasrat Devan semakin bergejolak.

Tanpa menunggu lama, Devan langsung saja menyambar bibir Hana dan menciumnya. Ia lalu menuntun Gadis itu untuk ke arah ranjang tanpa melepas pangutannya. Devan dengan pelan menidurkan Hana. Setelahnya, Devan dengan begitu bersemangat melepas pangutannya dan turun ke arah leher. Dia mengecup seluruh bagian itu menimbulkan rasa geli menjalar di seluruh tubuh Hana.

Belum lagi permainan jemari Devan pada dua gunung kembar miliknya, membuat hana menggeliat merasakan sensasi panas menjalar ke seluruh tubuhnya. Bibir Devan lalu turun kearah bukit kembar milik hana memainkan, bibir lelaki itu dengan buas melahapnya. Lidahnya bermain indah di atas puncak gunung kembar itu, membuat Hana terus mendesah mengeluarkan suara indahnya.

Satu tangan Devan mengarah pada lembah milih Hana, mencari titik sensitif milik wanita itu, kemudian ia pun bermain-main disana membuat Shana merasa tak berdaya. Hana merasa malu dan merutuki dirinya sendiri karena menikmati setiap permainan yang diberikan oleh lelaki itu.

Devan sudah tak sabar ingin menikmati lembah milik Hana, ia pun mengarahkan pusakanya kesana. Hana memalingkan wajahnya saat tanpa sengaja ia melihat pusaka milik Devan yang sudah menjulang tinggi dan siap menghujam miliknya. Pipi wanita itu seketika merona merasa malu akan apa yang dilihatnya.

Perlahan tapi pasti, Devan mulai masukkan miliknya pada lembah Hana. Ia memaju mundurkan pusakanya dengan ritme pelan namun perlahan ritme itu berubah semakin cepat, sampai ia mencapai puncaknya.

Lelaki itu langsung jatuh ke pelukan Hana. Wanita itu hanya diam saja tanpa membalasnya, hana hanya berusaha mengatur nafasnya. Hingga tak berselang lama, ia terlelap karena kelelahan.

Devan lalu berguling ke samping tubuh hana, memperhatikan wajah cantik yang saat ini berada di sampingnya. Devan menutupi tubuh Hana dengan selimut dan mulai memejamkan matanya. Devan tersenyum tipis, dia menikmati semuanya hingga tertidur.

Ketika mentari pagi menyapa, Hana terbangun dari tidurnya. Hana mendapati lelaki itu sedang mengenakan pakaiannya. Devan memang baru saja selesai mandi. Hana masih berbaring membelakangi Devan, ia tak ingin melihat wajah lelaki itu.

Melihat Hana bergerak, Devan menyadari kalau Hana sudah tidur. "Aku sudah meletakkan cek sejumlah yang kau inginkan di atas meja. Maaf aku harus pergi karena pagi ini ada proyek yang harus aku kerjakan," ujar lelaki itu sambil memakai jasnya.

Hana hanya diam saja tak menjawab, seolah ia tak perduli. Hana tengah menangis tanpa suara. Air mata bergulir di pipinya ketika ia mengingat semua yang di lakukannya semalam bersama Devan.

Devan yang tak mendapat jawaban dari Hana pun segera keluar dari kamar hotel tersebut. Dia meninggalkan Hana sendirian di sana.

Setelah mendengar suara pintu yang membuka dan tertutup kembali, Haha yakin kalau Devan sudah pergi. Perlahan Hana bangun, ia melihat cek yang ada di atas meja lalu beranjak untuk mengambilnya.

"Akhirnya aku mendapatkan uang ini," gumamnya lirih sambil menatap nominal yang tertera didalam cek tersebut.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Bunda Kembar

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku