Rani, seorang wanita yang selalu mengutamakan kebahagiaan suaminya, Arman, ingin memberikan kejutan spesial untuk hari pernikahan mereka yang ketiga. Dengan hati berdebar, ia merencanakan sebuah malam yang penuh cinta. Namun, tak ada yang terjadi sesuai rencananya. Arman tak kunjung pulang, meninggalkan Rani menunggu dan menatap jam dinding yang semakin menunjukkan waktu larut malam. Ketika rasa lelah mulai menyerang, Rani terlelap tanpa sadar. Namun, ketika terbangun, ia merasa ada yang berbeda. Rani terkejut ketika melihat sosok yang terbaring di sampingnya bukanlah Arman, suaminya, melainkan Rafka, adik Arman yang selalu datang tanpa diundang. Rani merasa panik, bingung, dan terperanjat, tetapi ada sesuatu dalam diri Rafka yang membuatnya terperangkap dalam rasa canggung yang semakin memanas. Cerita dimulai dengan perjalanan canggung yang penuh ketegangan antara Rani dan Rafka. Tanpa sengaja, mereka saling membutuhkan satu sama lain, terutama ketika Rani mulai mengetahui bahwa Arman, suaminya yang selama ini ia percayai, telah berkhianat dengan wanita lain. Rani terjebak dalam perasaan yang tak pernah ia duga, terperangkap antara cinta yang berkurang dan ketertarikan yang mulai tumbuh pada Rafka, pria yang selalu ada di sisi gelapnya.
Rani duduk di sofa, menatap layar ponselnya yang sepi. Sudah tiga tahun berlalu sejak hari pernikahannya dengan Arman, dan malam ini ia telah mempersiapkan segala sesuatu dengan penuh harapan. Ia ingin membuat malam ini spesial-untuk mereka, untuk cinta mereka yang sudah tumbuh dan berkembang selama ini. Semua detil sudah disiapkan: makan malam yang sempurna, lilin-lilin yang remang, dan bahkan playlist lagu yang Arman sukai. Segala sesuatunya sudah diatur dengan hati-hati.
Namun, yang ia tunggu-tunggu tak kunjung datang.
Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan Rani mulai merasakan kegelisahan di dadanya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Arman: "Kapan kamu pulang? Aku menunggumu." Tapi balasan yang diterima hanya membuat hatinya semakin cemas: "Maaf, ada urusan penting, kita rayakan nanti."
Tulang belakangnya terasa kaku, dan ketegangan di tubuhnya semakin menebal. Sebuah perasaan aneh mulai merayapi hatinya-perasaan yang sudah beberapa kali ia rasakan dalam beberapa minggu terakhir: ketidakpastian. Arman, suaminya, yang selama ini selalu ada untuknya, kini sepertinya begitu jauh. Rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang menghalangi mereka berdua. Dia tak pernah pulang lebih lama dari biasanya, dan ketika dia di rumah, sering kali hanya ada jarak di antara mereka, seperti dua orang asing yang saling berbagi ruang tanpa bisa berbicara.
Rani menghela napas, berusaha mengusir perasaan tak nyaman itu. Mungkin ini hanya perasaan sesaat. Mungkin Arman memang sibuk, atau ada masalah yang belum bisa dia ceritakan padanya. Rani mencoba menenangkan diri, merapikan gaun tidur yang sudah ia kenakan sejak tadi sore. Ia menatap dirinya di cermin, melihat bayangannya yang agak lusuh. Pikirannya kembali melayang pada malam-malam indah yang dulu mereka lewati bersama. Namun malam ini berbeda. Semuanya terasa sunyi.
"Dia pasti akan pulang sebentar lagi," pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Namun, setiap detik yang berlalu semakin membuat hatinya merasa kosong.
Sudah hampir jam 11 malam, dan Rani mulai merasa bahwa dia terlalu lelah untuk terus menunggu. Matanya terasa berat, tubuhnya pun mulai lemas, namun dia enggan untuk tidur. Tidak, dia harus menunggu. Ini malam mereka, dan ia ingin membuat semuanya sempurna. Tapi akhirnya, rasa kantuk yang tak tertahankan menghampirinya, membuatnya terlelap tanpa bisa menahan lagi.
Ketika Rani terbangun, semuanya terasa kabur. Dia merasakan sesuatu yang aneh di sekitarnya-suasana yang tidak biasa. Badannya terbaring di atas kasur yang terasa lembut, jauh lebih empuk daripada sofa tempat ia sebelumnya terlelap. Perlahan-lahan, dia membuka matanya. Lalu, pandangannya tertuju pada sosok yang terbaring di sampingnya.
Rani terlonjak, perasaan bingung dan terkejut datang begitu cepat. Bukan Arman yang ia temukan di sampingnya, melainkan Rafka, adik Arman yang selama ini sering datang untuk mengunjungi mereka. Rafka-pria muda yang selalu ramah dan penuh perhatian, namun tidak pernah sedekat ini. Rani merasakan dadanya berdebar, jantungnya seakan berlari lebih cepat.
"Rafka?" suara Rani keluar serak, hampir tak percaya.
Rafka membuka matanya perlahan, tampak bingung sejenak, sebelum menyadari keadaan mereka. "Rani? Kenapa...?" jawabnya dengan suara terkejut. Namun, begitu melihat Rani yang tampak sangat bingung dan panik, ia segera duduk, menatap Rani dengan wajah penuh kekhawatiran. "Aku... aku nggak tahu. Aku pasti salah kamar atau..." katanya terbata-bata, mencoba menjelaskan, namun kata-katanya terasa kaku di udara yang berat itu.
Rani, yang semula terdiam, mulai merasa kebingungannya semakin dalam. Matanya beralih ke sekeliling ruangan yang tampak familiar, namun ada sesuatu yang terasa aneh. Dia mencoba mengingat-ingat, mencoba mencari tahu bagaimana bisa Rafka ada di sini, di tempat tidur yang sama sekali bukan miliknya.
Tiba-tiba, ponsel Rani berdering. Dengan tangan gemetar, dia meraihnya, berharap itu adalah Arman. Tapi, yang muncul justru sebuah pesan singkat yang membuat hatinya semakin tercekik. "Maaf, ada urusan penting. Kita rayakan nanti."
Rani terdiam, matanya membesar, dan untuk sejenak, semua suara di sekelilingnya hilang. Hanya ada rasa sakit yang mengisi dadanya, membuatnya terengah-engah. Kenapa? Kenapa Arman tidak ada di sini saat ia sangat mengharapkannya? Kenapa dia malah mengirimkan pesan seperti itu? Rani merasa hatinya dipenuhi dengan kebingungan yang luar biasa, perasaan terabaikan yang tak bisa ia jelaskan.
"Rani, aku... aku nggak tahu bagaimana bisa aku bisa ada di sini," kata Rafka lagi, suaranya lembut, namun Rani bisa merasakan ketegangan di sana. "Aku... Aku pikir aku masuk ke kamar Arman dan tertidur karena kelelahan. Maaf, aku nggak bermaksud..."
Rani mengangkat tangannya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Tidak masalah," jawabnya, suaranya terdengar pelan dan terputus-putus. "Mungkin aku yang salah. Mungkin aku juga terlalu lelah." Namun dalam hati, Rani merasa sesuatu yang lebih dalam. Sebuah perasaan yang tak bisa ia bantah. Rafka, dengan kehadirannya yang tak terduga, entah mengapa menjadi satu-satunya orang yang membuatnya merasa sedikit lebih baik, meski canggung dan penuh tanya.
Rani menatap Rafka, masih tidak mengerti bagaimana bisa semua ini terjadi. Suaminya yang seharusnya berada di sisinya kini jauh di luar sana, dan dia malah terbangun dengan Rafka, adik Arman, yang ternyata sudah beberapa kali hadir dalam kehidupannya tanpa ia sadari betapa besar pengaruhnya.
"Aku... aku akan ke ruang tamu sebentar," ujar Rani, berusaha menjauh dari keheningan yang berat di kamar tidur itu. "Aku butuh waktu untuk berpikir."
Rafka hanya mengangguk pelan, tampak bingung namun tidak bisa berbuat banyak. Saat Rani beranjak, ia merasa seolah ada tembok tak terlihat yang membatasi mereka berdua, meskipun keduanya sama-sama berusaha mengabaikan kenyataan yang tak pernah mereka duga ini.
Ketika Rani keluar dari kamar tidur, perasaan kosong itu semakin menghantui. Begitu banyak pertanyaan yang tak bisa ia jawab, dan kebingungannya semakin dalam seiring dengan perasaan tak terungkapkan yang mulai tumbuh di antara dirinya dan Rafka.
Untuk malam itu, semua terasa begitu asing-seperti mimpi yang tak bisa ia pahami. Namun satu hal yang pasti: malam ini, segala sesuatunya berubah, dan tidak ada jalan kembali.
Buku lain oleh Rizal Syamsul Arifin
Selebihnya