Raisa Putri, seorang wanita muda yang cerdas dan mandiri, dipaksa untuk menikahi Rangga, seorang pria yang terluka parah akibat kecelakaan dan berada dalam keadaan koma. Pernikahan itu adalah cara untuk menutupi biaya pengobatan adiknya yang sakit keras. Keluarga besar Rangga, keluarga Hartanto, berjanji akan membayar seluruh biaya perawatan adik Raisa sebagai imbalan. Tanpa pilihan lain, Raisa menyerahkan dirinya untuk merawat Rangga dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Selama dua tahun merawat Rangga yang masih dalam keadaan koma, Raisa mulai jatuh cinta. Dia mulai merasakan kedekatan dengan pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya, membayangkan masa depan bersama, bahkan tanpa memikirkan imbalan yang akan diterimanya. Namun, saat Rangga akhirnya siuman, semuanya berubah. Di balik pengobatan dan perhatian Raisa, dia merasa bahwa Rangga tidak pernah memandangnya lebih dari seorang wanita yang hanya diperlakukan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Di sisi lain, Rangga masih terikat pada mantan kekasihnya, Aulia, yang selalu hadir dalam hidupnya meski sudah berpisah. Raisa merasa hatinya hancur. Cinta yang ia berikan selama ini tak pernah diterima dengan cara yang sama. Rangga tak pernah menanggapi dengan perasaan yang sama. Hingga akhirnya, Raisa memutuskan untuk mengambil langkah yang paling sulit dalam hidupnya: meminta cerai dari Rangga. Namun, apakah Rangga akan mengerti dan menerima kenyataan bahwa cinta yang telah ia berikan selama ini hanyalah sebuah bayangan yang tak pernah menjadi kenyataan?
Raisa berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke taman rumah besar keluarga Hartanto. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma bunga yang masih segar. Meskipun keindahan di luar rumah ini menenangkan, hati Raisa tidak bisa merasakan kedamaian itu. Perasaan yang sudah lama terpendam dalam dirinya semakin menggigit, dan hari ini, lebih dari sebelumnya, rasa itu begitu sulit untuk ditahan. Ia memutar cincin kawin di jarinya dengan tangan yang gemetar. Rasanya, sudah terlalu lama ia terjebak dalam pernikahan yang hanya didasarkan pada sebuah perjanjian.
Dua tahun sudah berlalu sejak ia terikat janji pernikahan dengan Rangga Hartanto, pria yang tak pernah ia pilih untuk menjadi suaminya. Semua ini bermula ketika adiknya, Sari, didiagnosis menderita penyakit langka yang membutuhkan biaya pengobatan yang sangat mahal. Keluarga Hartanto, sebagai satu-satunya pihak yang mampu menanggung biaya tersebut, mengajukan satu syarat kepada Raisa: menikah dengan Rangga yang saat itu sedang koma akibat kecelakaan. Keluarga Hartanto berjanji akan menanggung biaya pengobatan adiknya, dan Raisa tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran itu.
Namun, dua tahun berlalu, dan kini keadaan telah berubah. Raisa tidak lagi merasa seperti seorang istri yang berperan sebagai pelaksana kewajiban. Ia sudah mencintai Rangga, tulus, tanpa mengharapkan apa-apa selain kebahagiaan suaminya. Dia merawat Rangga dengan sepenuh hati, memberikan semua perhatian dan kasih sayangnya, berharap suatu hari Rangga akan bangun dan melihatnya lebih dari sekedar istri yang "dibayar" oleh keluarga mereka.
Tetapi kenyataannya berbeda. Rangga akhirnya siuman setelah dua tahun, dan meski fisiknya pulih, hatinya tetap jauh. Dia tidak pernah memberi cinta yang Raisa harapkan. Bahkan setelah ia sembuh, Rangga selalu mengunjungi Aulia, mantan kekasihnya, yang meskipun sudah tidak bersama Rangga, tetap diberi tempat khusus dalam hati pria itu. Aulia, dengan senyuman yang selalu menenangkan, adalah wanita yang Rangga anggap sebagai sosok yang benar-benar mendampinginya, bahkan ketika ia dalam keadaan koma.
Raisa merasa seperti seorang bayangan di kehidupan suaminya, berusaha menjadi yang terbaik bagi Rangga, namun tetap tidak pernah bisa mencapai tempat yang Aulia tinggalkan. Cinta yang ia berikan seolah hanya diterima sebagai kewajiban, bukan perasaan yang tulus. Setiap malam, Raisa menunggu, berharap ada kata-kata manis yang keluar dari mulut Rangga, berharap suaminya melihatnya dengan cara yang berbeda. Namun harapan itu tak kunjung datang.
Saat itu, di ruang tamu yang luas dan sunyi, Raisa berdiri di depan cermin besar, menatap bayangannya yang tampak lebih tua daripada usianya. Matanya lelah, wajahnya pucat, dan bibirnya nyaris tidak tersenyum. Ia sudah terlalu lama berjuang dalam hubungan yang terasa seperti hanya satu pihak yang memberi. Keputusannya sudah bulat, meski hatinya merasakan sakit yang dalam. Ia tidak bisa lagi bertahan dalam hubungan yang hanya memberikan luka.
Pintu ruang tamu terbuka, dan Rangga masuk dengan langkah pelan. Ia tampak lelah, matanya sedikit cekung, dan rambutnya sedikit berantakan. Seperti biasa, ia datang dengan ekspresi yang datar, tak pernah menunjukkan kegembiraan atau kebahagiaan ketika melihat Raisa.
"Raisa," Rangga memanggil nama istrinya dengan suara rendah, "kamu baik-baik saja?"
Raisa hanya menoleh, memberikan senyum tipis yang bahkan ia sendiri rasakan tak tulus. "Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun hatinya hampir pecah saat mendengar suara Rangga yang terdengar begitu kosong.
"Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Rangga, memasuki ruang tamu dan duduk di sofa, memandangi istrinya dengan tatapan yang sedikit kosong. Dia tidak tahu, atau mungkin tidak peduli, bahwa perasaan istrinya sudah berada di ujung jurang.
Raisa menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap Rangga dengan tatapan yang penuh rasa sakit, yang sudah terpendam begitu lama. "Aku ingin cerai darimu."
Kata-kata itu keluar begitu saja, seperti beban yang berat akhirnya terlepaskan dari dadanya. Ia tahu, sekali mengucapkannya, semuanya akan berubah. Rangga terdiam, wajahnya yang lelah tampak bingung, tidak mengerti. Dia tidak siap untuk mendengarnya. Mungkin ia berpikir, jika dia masih bisa menunda, semuanya akan kembali seperti semula, seperti ketika Raisa masih merawatnya tanpa keluhan, tanpa pernah menunjukkan bahwa ia terluka.
"Apa?" Rangga akhirnya berkata, suaranya serak, seperti tidak yakin dengan apa yang ia dengar. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?"
Raisa merasa tenggorokannya tercekat. Dia menelan ludah, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir tumpah. "Aku tidak bisa lagi, Rangga," katanya pelan, hampir tak terdengar. "Aku sudah cukup. Cukup menunggu cinta yang tak pernah datang. Cukup memberi tanpa ada balasan. Aku lelah... lelah menunggu sesuatu yang tak pernah ada."
Rangga terdiam lebih lama lagi, seolah kata-kata itu menembus dinding yang telah lama ia bangun di hatinya. "Tapi... kamu tahu aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan," jawab Rangga, matanya kini beralih menatap tangan di pangkuannya. "Aku tidak pernah meminta ini semua. Aku tidak pernah meminta kamu untuk berada di sini, untuk merawatku."
"Aku tahu," jawab Raisa, suara hampir pecah. "Aku tidak mengharapkan apa-apa darimu, Rangga. Aku memberi segalanya dengan tulus. Tapi aku bukan lagi seorang istri yang harus tinggal hanya karena sebuah kewajiban. Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin cinta, bukan rasa kasihan."
"Raisa..." Rangga terdengar sangat kebingungan, seolah tidak tahu apa yang harus dikatakan. "Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tapi... kamu tahu aku selalu menghargai semuanya yang sudah kamu lakukan untukku."
"Rasa terima kasih itu tidak cukup, Rangga," jawab Raisa, dengan air mata yang akhirnya menetes. "Aku sudah cukup mendengarnya. Cinta bukanlah tentang rasa terima kasih. Cinta adalah tentang merasakan hal yang sama, tentang saling memberi tanpa merasa ada yang kurang. Tapi aku... aku sudah lama merasa kosong di sini." Raisa menepuk dada dengan lembut, di tempat hatinya seharusnya ada sebuah perasaan yang utuh, yang kini hilang.
Keheningan menyelimuti mereka. Rangga menatap Raisa dengan mata penuh penyesalan, namun tanpa bisa memberikan jawaban yang Raisa harapkan. Akhirnya, dengan suara yang teramat pelan, Rangga berkata, "Jika itu yang kamu inginkan... aku tidak bisa menahannya. Aku tidak bisa memaksa kamu untuk tinggal jika hatimu sudah tidak di sini."
Raisa menunduk, mengusap air matanya dengan tangan. "Terima kasih, Rangga," jawabnya, suaranya lemah. "Ini yang terbaik untuk kita berdua."
Raisa berbalik dan berjalan menuju pintu, meninggalkan Rangga yang masih terdiam di tempatnya. Saat langkah kakinya semakin menjauh, sebuah perasaan berat menggerogoti hatinya. Perceraian ini bukan hanya sekadar akhir dari sebuah hubungan; ini adalah akhir dari sebuah cinta yang tak pernah terbalas, dan akhir dari sebuah pengorbanan yang terlalu lama ia tahan.
Buku lain oleh Rizal Syamsul Arifin
Selebihnya