Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Aku benar-benar sudah terjebak dengan perasaanku sendiri. Perasaan yang aku tumbuhkan setiap hari dengan selalu menerima kebaikan Ben.
“Come on Fhir! Jangan jadi pendosa! Laki-laki yang kamu cintai sudah beristri. Di mana logikamu?” Pikiranku terasa sangat berisik. Tapi, tiba-tiba bayangan Willy hadir dan merusak kebisingan otakku.
“Haii Fhir, Are you okay?” Terdengar suara Ben yang ternyata sudah berada di sampingku beberapa menit yang lalu.
“Beeeen!” Aku terperanjat melihat sosoknya yang sudah duduk di sebelah kursiku.
“Why? Kenapa? Aku dari tadi perhatiin kamu nggak fokus. Oh, nggak nggak bukan tadi but, sejak beberapa minggu belakangan,” katanya dengan bahasa yang biasa digunakannya.
Aku selalu merasa nyaman bersama dengannya. Tutur katanya selalu lembut dan terasa candu dalam pendengaranku. Dia juga selalu tersenyum ramah terhadap siapa saja yang menjadi kawannya. Tapi, Ben bukan tipeku. Dia juga sudah berkeluarga. Jadi, mana mungkin aku mencintainya. Otakku masih terus mengelak dan bertarung dengan otak kecil di dalamnya.
Nggak apa-apa Ben. Mungkin aku hanya sedikit lelah. Karena kamu tahu sendiri ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini,” jawabku sekenanya.
“Yakin, aman?” Dia meyakinkanku.
“Yes, sure. Semuanya aman kok,” jawabku.
Ternyata Ben hanya memesan satu cup kopi kesukaannya. Dan kemudian bergegas pergi kembali ke kantornya.
Ya, entah sejak kapan aku menjadi lebih senang mengerjakan pekerjaanku dengan WFC. Cafe yang selalu aku datangi sebenarnya tidak menyediakan menu favoritku. Tapi memang tempatnya yang estetik dan nyaman untukku menulis, aku menjadi ketagihan mendatangi tempat ini. Selain itu, Ayudia Coffee ini juga merupakan rekomendasi dari Ben. Oh no! God, lagi-lagi tentang Ben.
Dengan diiringi lagu Bukti milik Virgoun, namun alunannya yang lirih membuat aku begitu hanyut dalam waktu. Kulirik arloji silver kesukaanku yang ternyata sudah menunjukkan pukul 20.00 sejak aku datang di jam 14.00 sore tadi.
“Wah, udah malem ternyata,” ucapku lirih. Lalu buru-buru aku mengemas laptop dan beberapa peralatan lainnya memasukkan dalam tas.
Drrrrtttt…. Drrrrrrtttt….. Drrrrtttt
Berkali-kali ponselku bergetar. Panggilan masuk dari Willy.
“Halo, iya Wil.” Aku mengangkat panggilan dari Willy. Suara Willy terdengan putus-putus. Mungkin karena saat ini dia berada di
pedesaan. Sehingga signal di sana koneksinya sangat buruk. Dan kemudian sambungannya terputus. Aku masih menunggunya menelvon kembali tapi ternyata tidak. Aku juga tidak dapat melakukan panggilan karena ponselnya tidak lagi dapat dihubungi.
“Astaga Willy, kamu selalu kayak gini. Telvon, putus endingnya nggak nelvon lagi. Dan aku harus menunggu beberapa hari lagi untuk tahu kabar kamu gimana. Gerutuku. Lalu aku segera bergegas pergi dari cafe menuju apartemen. Sesampai di kamar apartemen dengan segera kubaringkan badanku di atas kasur. Berasa begitu nyaman dan lembut kasur ini. Badanku terasa begitu lelah seharian harus duduk di depan laptop.
Jam 21.00 aku selesai mandi dan kembali mengecek beberapa email yang masuk dari prospekanku. Sejak satu tahun ini aku iseng membangun sebuah bisnis di kota yang kutinggali saat ini. Aku memang sudah mandiri sejak masih berada di bangku SMU. Aku hampir tidak pernah tinggal bersama orang tuaku. Hanya sesekali aku bisa bertanya kabar kepada mereka by phone saja.
Hanya saja, Willylah yang selalu setia menemaniku sepanjang hubungan kami berjalan hingga kini. Aku melihat buku scriptingku yang sudah hampir lapuk. Aku kembali membukanya satu per satu halamannya. Aku tersenyum karena sudah banyak goal yang aku tulis menjadi kenyataan. Dan aku begitu sangat bersyukur atas kebaikan Tuhan yang diberikanNya melalui semesta di saat yang selalu tepat menurutku.
Selain pebisnis, aku juga penulis. Menulis adalah hobi terbesarku. Tidak ada hari tanpa scripting dan menulis. Bagiku menulis adalah nafas yang mana jika di hari aku tidak menulis, aku merasa seperti kehilangan sedikit dari nafasku.