Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Maaak? Nasinya mana??” protes Pak Priyo menggelegar ke seluruh isi rumah. Menggetarkan jendela. Mengguncang lantai. Dan menggoyang kasur Bu Parmi yang tengah asyik leyeh-leyeh di kamarnya. Perempuan berusia lima puluhan itu pun terbirit-birit ke dapur. Meringis saat suaminya memelintir kumis.
“Loh! Perasaan tadi masih penuh loh, Pak?” Bu Parmi kebingungan melihat isi magic com yang tiba-tiba tinggal kerak.
“Ya udah sih, Mak ..., tinggal masak lagi apa susahnya?” Nuning tiba-tiba nongol sambil bersendawa, mengelus perutnya yang kekenyangan usai menyikat habis isi meja makan hingga licin mengkilat sampai-sampai bisa bikin kepleset lalat yang hinggap.
“Oooh pasti ini dia biang keroknya!” omel Bu Parmi sambil menuding anak gadisnya itu dengan centong nasi.
Nuning ambil langkah seribu sebelum centong itu sempat mendarat di kepalanya. Terbirit-birit kabur meninggalkan emaknya yang ngomel-ngomel di belakangnya, ngepot-ngepot mengejarnya sambil mengacung-acungkan centong bukan sembarang centong, itu centong sakti yang sudah puluhan kali bikin kepalanya benjol.
Nuning melompati pagar dengan lincah. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai pun menghamburkan jutaan ketombe di udara. Gadis itu menerobos jemuran tetangga dengan rusuhnya. Bikin janda semok sebelah rumah menjerit-jerit mengira ada maling mau nyolong pakaian dalamnya.
Nuning pun cekikikan setelah merasa aman dari kejaran makhluk berdaster yang tak lain emaknya sendiri.
“Ngapain ketawa-tawa sendirian? Obat lagi habis?” tegur Jaka sambil memiringkan telunjuknya di kening.
Nuning meringis jijik karena Jaka menegur sambil menjitak keningnya dengan permen kojek yang baru keluar dari mulutnya. Dia mengumpat sambil menginjak kaki Jaka, bikin cowok jangkung itu meringis kesakitan.
“Ngapain ngumpet-ngumpet? Kayak habis maling aja?” tanya Jaka.
Nuning nyengir. “Emang!” Lalu melenggang santai menuju lapangan. Ada lomba layangan sore ini yang tak boleh dilewatkan. Meskipun sudah berseragam putih abu-abu, tapi layangan tetap menjadi hiburan favoritnya. Apalagi layangan Jaka sering membuatnya menang taruhan lawan anak-anak kampung.
“Eh, beneran? Emangnya mangga Mbah Surip udah pada mateng?” tanya Jaka dengan mata berbinar.
Mangga Mbah Surip memang sudah jadi langganan curian mereka sejak zaman SD. Soalnya mangganya enak, buahnya lebat. Sekali srampang langsung berjatuhan. Posisinya yang di pinggir jalan bikin mereka kebiasaan nyolong sambil lewat. Salah sendiri yang punya pelit, diminta baik-baik nggak boleh. Sementara buahnya yang lebat dan ranum seringkali melambai-lambai, nantangin minta dipetik.
“Bukan nyolong mangga, tapi nyolong ayam penyet jatahnya bapakku. Salah sendiri sama emak pake diumpetin segala. Nggak adil namanya, masa anaknya disuruh makan tempe bapaknya makan ayam? Kan kebalik. Siapa yang sedang dalam masa pertumbuhan coba?” sahut Nuning sambil cekikikan.
“Wah, gendeng kamu Ning. Nggak kapok apa uang jajanmu ntar disunat lagi?”
“Lah, kan ada kamu?” Nuning mengalungkan lengannya ke pundak Jaka.
Jaka mengedikkan pundaknya, menyingkirkan tangan Nuning darinya. “Memangnya aku ATM-mu? Ngomong kok kayak kentut, lega di kamu tapi bikin eneg yang denger,” cebiknya jengkel. “Seratus ribuku yang kemarin aja belum balik, ini udah mau nadah lagi? Kayaknya kamu memang cocoknya jadi tukang palak, deh!”
“Kayaknya sih gitu, Jak. Kalau malakin kamu aja bisa kaya, ngapain juga repot-repot mikirin kerjaan lain?”
“Sompret minta dikepret!” gerutu Jaka keki.
Nuning terkikik senang sambal menaiki punggung Jaka yang otomatis memeganginya. “Buruan, Jak! Ntar lomba layangannya keburu mulai!”
Jaka menurut tanpa banyak bacot. Dia lari menuju lapangan dengan Nuning yang tertawa merdeka di gendongan belakang. Orang-orang kampung sudah tak aneh lagi melihat kelakuan duo abege yang gesrek dan tukang bikin rusuh itu.
Nuning, terkenal suka menakuti anak-anak pulang mengaji, pura-pura menyamar jadi Kunti, gelantungan di pohon pakai mukena. Sedangkan Jaka, kebagian menyamar jadi pocongnya.
Meskipun sudah menjadi rahasia umum kalau duo setan itu cuma cosplay, tapi tetap saja sukses membuat takut anak-anak. Bikin duo setan jadi-jadian itu senang, sementara setan betulan yang gaweannya sedang disabotase oleh mereka cuma bisa geleng-geleng saja di pojokan.
Mereka berdua pula yang suka bikin kalong-kalong di kebun minder karena kalah skill nyolong. Mbah Surip pun cuma bisa pasrah memandangi mangganya yang tak pernah awet di pohon.
***
Pak Priyo selama ini terkenal dengan keangkerannya. Kumisnya yang lebat dan perawakannya yang tinggi besar serta suaranya yang menggelegar, suka bikin semaput anak-anak kecil yang berpapasan dengannya. Mungkin karena kebiasaan orang tua mereka yang suka menakuti anak-anaknya pakai nama Pak Priyo. “Awas loh kalau nakal, ntar ditangkap Pak Pri!” begitu kata emak-emak mereka. Padahal Pak Priyo bukan Polisi, bukan TNI, bukan pula satpol PP yang suka beringas saat penertiban bangunan liar. Beliau cuma kepala satpam pasar yang suka bawa pentungan.
Sayangnya, keangkeran Pak Priyo malah tak mempan untuk menghadapi anaknya sendiri. Nuning, anak gadisnya yang bontot justru sering bikin ulah yang bikin Pak Priyo sepaneng. Bikin Bu Parmi mengelus dada dan berpikir keras dulu pernah mengidam apa. Mungkin ada yang belum keturutan jadinya begitu si anak lahir, besarnya jadi ugal-ugalan.