Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jadi Janda Anak Dua

Jadi Janda Anak Dua

dilaqrta_

5.0
Komentar
387
Penayangan
10
Bab

"Apakah menjadi janda anak dua mencerminkan bahwa aku adalah wanita yang buruk? Mereka tidak tahu bagaimana sulitnya aku menjalani kehidupan setelah dua kali gagal menikah. Tapi, mengapa orang-orang menganggapku wanita yang hina hanya karena statusku?" - Kiara Anindia Ini adalah tentang Janda yang mempunyai dua anak dari suami yang berbeda. Dua kali gagal membangun rumah tangga hingga membuatnya harus membesarkan anak-anaknya seorang diri. Kiara Anindia Maheswari adalah nama dari wanita yang tak kunjung menemukan bahagia.

Bab 1 Terpaksa Menerima Malam Pertama

"Saya menerima pernikahan ini hanya karena Papa yang meminta, Kevin."

Wanita cantik dengan iris mata hitam itu masih terus menatap pantulan dirinya dicermin. Gaun putih yang didesain khusus oleh perancang baju terkenal di kota metropolitan, membuat sang pemakai terlihat begitu menawan.

Kebahagian yang umum dirasakan di hari pernikahan, nampak tak berlaku untuknya atas pernikahan paksa ini.

Pernikahan ini terjadi karena sikap gila harta sang Papa. Melihat Kevin Mahendra yang memperkenalkan diri sebagai pemilik perusahaan ternama di Jerman, membuatnya merasa sangat beruntung jika putrinya menikah dengan pria itu.

Setelah pesta usai. Kiara langsung berlari sendirian menuju kamar, tidak memperdulikan tatapan para tamu yang dibuat keheranan. Agar para tamu tidak berpikir macam-macam, Kevin yang melihat itu segera menyusul Kiara ke kamar mereka.

"Aku tahu itu. Namun, secepatnya aku akan membuatmu menerima sepenuhnya pernikahan ini, Kiara."

Laki-laki yang berbicara di sofa itu berdiri. Memeluk Kiara dari belakang, lalu kembali berkata sambil menatap mata tajam istrinya yang tampak tak nyaman karena pelukannya dari pantulan cermin.

"Kamu tahu? Aku adalah pria yang tidak bisa melihat wanita membenciku terlalu lama."

"Namun, kamu juga perlu tahu. Bahwa saya tidak akan pernah bisa menghilangkan rasa itu. Mulutmu yang terus saja membanggakan dirimu sendiri membuat saya merasa tidak nyaman denganmu," ujar Kiara.

Kevin menyunggingkan senyuman, lalu semakin mempererat pelukannya. "Jangan bicarakan itu sekarang. Malam ini adalah malam yang indah. Aku mohon jangan hancurkan itu."

Dalam hati Kiara berdecih. Jika saja Papanya tidak meminta pernikahan ini dengan air mata, pasti Kiara tidak akan setuju dinikahi pria dengan paras yang tak sebanding dengannya.

"Apa yang kamu inginkan?"

Meskipun sudah tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran pria berusia empat tahun lebih tua darinya, Kiara masih tetap saja bertanya.

"Emm ... Aku kira kamu sudah tahu apa yang aku inginkan. Hal yang sering orang lakukan dimalam pertama. Bukankah kamu juga menginginkan itu?"

Kevin yang menyunggingkan senyuman, berhasil membuat Kiara merasa jijik. Tapi, ilmu yang dia miliki akan sebuah kewajiban istri pada suami, membuat Kiara berpikir. Tuhan tidak suka jika seorang istri menolak perintah suaminya. Dan bukankah, Kiara juga harus bisa mencoba menerima segalanya dengan ikhlas?

Toh, seiring berjalannya waktu Kiara juga harus membiasakan diri menjadi istri dari seorang Kevin.

Dia menghela napas berat sembari memejamkan mata. "Lakukanlah. Bukan karena saya ingin. Akan tetapi karena saya sadar. Bahwa itu sudah menjadi bagian dari tugas seorang istri. Saya juga tidak ingin jika Tuhan yang sudah memberikan saya segalanya marah."

Mendengar jawaban Kiara, Kevin tersenyum menang. Kiara adalah wanita yang sangat smart, jelas dia mengerti akan sebuah tugas.

Kevin membalikan tubuh Kiara lembut lalu segera melakukan hal yang membuat hati Kiara meringis, karena hal yang dilakukan mereka saat ini benar-benar tidak diinginkan hatinya.

***

"Bagaimana malam kalian? Indah?"

Perkataan Elina--ibunya Kiara membuat wanita yang sedang menyantap sarapan langsung menaruh sendoknya di meja. Bukan malu, melainkan jijik saat mengingat kejadian semalam di antara mereka.

"Tentu sangat indah, Ma. Bahkan ... Kiara sangat menikmatinya." Kevin memegang tangan Kiara. Membuat Kiara yang baru saja berdecih dalam hati langsung mengalihkan tatapan. "Benar begitu, kan, Honny?"

Kiara tidak menjawab. Wanita itu malah kembali menyantap sarapan, tanpa adanya keinginan untuk menjawab ucapan yang benar-benar menjijikan baginya.

"Sepertinya Kiara malu. Tapi tidak apa-apa. Mama juga seperti ini saat hari pertama menikah. Namun, berbeda. Waktu itu bukan orang tua Mama yang bertanya, tapi Mama mertua." Elina berkata diikuti senyuman suaminya juga Kevin.

"Oh iya, Kevin. Jadi, kapan kamu akan membawa Kiara ke Jerman?"

Beberapa detik Kevin terdiam, membuat firasat Kiara mengatakan, bahwa Kevin tengah menutupi sesuatu. Tapi apa itu? Apakah itu hanya perasaan Kiara saja.

"Untuk saat ini Kevin belum bisa membawa Kiara ke Jerman, Pa, Ma."

Mereka bertiga mengerutkan kening. Perkataan Kevin saat ini sangat berbeda dengan apa yang dia katakan di acara pertunangan.

"Bukankah waktu itu kamu bilang--"

"Kevin lupa memberitahu kalian mengenai berubahnya keputusan Kevin saat itu, Pa." Ada sedikit jeda disana. "Jadi begini, Kevin berencana akan membangun rumah sendiri di Jakarta dan jelas hal itu memerlukan waktu sekitar beberapa bulan ke depan. Jika Papa dan Mama tidak keberatan ... Apakah Kevin dan Kiara bisa tinggal dulu di sini sampai pembangunan rumah kami selesai?"

"Apa? Lupa? Lupa memberitahu hal sebesar ini? Dan bagaimana bisa saya tinggal di sini saat saya sudah menikah?" Kiara bertanya dengan nada kesal.

"Maafkan aku, Sayang. Tapi, jika kamu tidak ingin tinggal di sini, kita bisa menyewa apartemen untuk beberapa waktu ke depan."

"Tidak-tidak." Elina menyela. "Kalian akan tetap tinggal di sini. Mama tidak akan membiarkan dan mengizinkan kalian untuk tinggal di apartemen yang luasnya tidak seberapa."

"Tapi, Ma--"

"Sudahlah, Kiara. Apa yang Mamamu katakan tadi itu benar. Tetaplah tinggal di sini sampai rumah kalian selesai dibangun," potong Brama.

Kiara menghela napas berat saat Papanya berkata. Sebenarnya bukan karena dia ingin tinggal berdua dengan pria yang tidak dia cintai ini. Tapi karena, dia tidak akan pernah bisa melawan suaminya saat tinggal bersama kedua orang tuanya.

Karena Kiara tidak ingin Brama dan Elina mempertanyakan didikan yang sudah mereka berikan padanya. Membuat kedua orang tua bersedih tak ada dalam kamus hidupnya. Bahkan, persetujuannya dengan pernikahan ini pun, merupakan bentuk cintanya pada mereka.

***

Beberapa hari terlewati. Namun, Kiara masih belum merasakan benih-benih cinta terhadap suaminya. Padahal saat ini, Kiara sudah sadar bahwa dia harus segera menerima Kevin dalam hidupnya agar hatinya bisa merasakan kebahagian menjadi seorang istri.

Hari ini adalah hari dimana Kiara akan diwisuda. Gelar S1 yang selama ini dia perjuangkan akhirnya berhasil didapat. Kiara memasukan handphone dan beberapa barang-barang penting ke dalam tas dengan senyuman yang terus merekah di pipi. Tak menyangka, kalau masa kuliah S1 akan selesai hari ini.

Drett! Drett! Drett!

Suara ponsel Kevin yang terdengar di atas meja membuat Kiara repleks mengambilnya dan menekan tombol hijau lalu ia tempelkan di telinga.

"Hall--"

"Kemana aja kamu, Mas? Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah?!"

Kening Kiara mengerut bingung. 'Mengapa yang terdengar suara seorang wanita dan terdengar sangat marah? Siapa wanita ini?' batin Kiara.

Baru saja ingin menimpali. Namun, tiba-tiba saja Kevin langsung mengambil paksa handphone itu dan mematikan panggilan.

"Kenapa tidak memanggilku saat ada yang menelphone?" tanya Kevin sembari memasukan ponselnya ke saku celana.

"Siapa dia? Selingkuhanmu?" Kiara balik bertanya dengan wajah datar yang selalu dipasangnya ketika bicara dengan Kevin.

"Selingkuhan? Maksudmu?"

"Ya, selingkuhan. Dia pasti selingkuhanmu. Itu sebabnya kamu memutuskan telphone tanpa mengatakan apapun."

Kevin tersenyum miring, lalu menarik pinggang Kiara. Membuat wanita itu lagi-lagi dibuat tidak nyaman dengan apa yang dia lakukan. "Kamu sudah mencintaiku?"

"Apa?" Kiara tersenyum sinis. "Tidak mungkin."

"Tidak perlu malu-malu. Bilang saja jika kamu sudah mencintaiku."

Tanpa aba-aba Kiara mendorong tubuh Kevin hingga cekalan dipinggangnya terlepas, lalu mengambil tasnya di atas kasur.

"Jangan kepedean. Saat ini dan seterusnya. Saya tidak akan pernah memiliki perasaan apapun padamu, Kevin," ujar Kiara tajam lalu berlalu pergi dari kamar.

Raut wajah kevin berubah serius, pelan dia berkta, "Terlebih dahulu, saya akan mengurus wanita itu. Saya tidak akan pernah membiarkan rencana saya hancur hanya karena dia."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku