Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Ghailan memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Wajahnya mengeras, sesekali melirik seorang gadis berseragam batik yang sesenggukan di sampingnya. Rasa lelahnya yang baru saja pulang latihan tak terasa lagi digantikan rasa marah pada gadis dengan seragam awut-awutannya.
"Najla tidak merokok, Om. Naj difitnah."
Ghailan menulikan telinga mendengar pembelaan gadis belia di sampingnya itu. Apa yang disampaikan guru BK gadis ini membuat kepalanya serasa ingin pecah. Ini kesepuluh kalinya dalam bulan ini Ghailan ke sekolah untuk menjemputnya di ruang BK dengan alasan yang kadang otak cerdasnya tidak bisa pahami. Bagaimana mungkin seorang gadis belia berwajah manis polos seolah tanpa dosa melakukan hal-hal luar biasa itu. Kedapatan bolos dengan memanjat tembok, berebut lipstick sampai cakar-cakaran, menghajar seorang cowok, mengempeskan ban motor guru, membakar buku perpustakaan, mencoret… Argh! Ghailan tak sanggup lagi mengabsen satu persatu ulah gadis ini.
"Naj-"
"Diam Najla. Om bilang, diam!" Ghailan menatap tajam gadis bernama Najla itu, gadis belia yang baru saja duduk di bangku SMA kelas 12 yang kini menjadi tanggung jawabnya dengan statusnya, Nyonya Ghailan Alam Faiq.
"Om jahat! Om enggak pernah dengar Najla. Naj benci om. Benci!"
Ghailan terkekeh sinis, "Om enggak peduli Najla."
Gadis di sampingnya itu semakin kesal. Ia tak segan melempar tas punggungnya pada Ghailan hingga mobil oleng hampir menabrak pembatas jalan.
"Najla!"
"Apa?! Om mau pukul?! Ini pukul! Najla benci sama, Om. Benci!" Najla mengarahkan wajahnya menantang Ghailan. Pria berseragam loreng itu hanya menghela napas. Ia menepikan mobil di pinggir jalan dan hanya diam membiarkan Najla memukulinya sesuka hati. Tenaga dari kepalan tangan gadis kecil itu tak berpengaruh sama sekali pada dirinya.
"Sudah?" tanyanya saat Najla tak lagi memukulinya, mungkin lelah sendiri karena jelas Ghailan tak merasa sama sekali harus menghentikan pukulan yang terasa seperti gelitikan itu.
"Najla benci, Om." Najla menangis sesenggukan, kesal karena Ghailan sama sekali tidak menanggapinya dengan serius.
"Nanti lanjutin di rumah. Bahaya kalau di jalan," ujar Ghailan lalu kembali memacu kendaraannya menuju salah satu kompleks mewah di mana Najla tinggal.
Mobil berhenti tepat di depan pintu rumah. Satpam yang berjaga sudah menutup kembali pintu gerbang dan bergegas untuk membuka pintu rumah megah itu.
Ghailan melepaskan seatbelt yang membelit tubuh tegapnya lalu keluar dari mobil. Ia membuka pintu mobil samping dan tanpa beban mengangkat badan kecil Najla yang sudah terlelap setelah lelah menangis.
"Terima kasih, Pak. Tolong mobilnya dimasukkan dalam garasi," ucapnya pada satpam yang mengangguk patuh di depan pintu.
Ghailan masuk dalam rumah besar nan megah itu dengan Najla dalam gendongannya. Ia beranjak ke lantai dua setelah sebelumnya berpesan pada bibik untuk menyiapkannya makan malam.
Kamar yang didominasi warna pink dengan banyak tempelan gambar-gambar lelaki dari negara ginseng tertata dengan rapi. Ghailan membaringkan Najla dengan hati-hati. Tanpa sungkan melepaskan satu persatu kancing seragam Najla yang sudah berselancar di alam mimpinya. Setelah semua kancing terlepas, ia tak langsung melepaskan seragam Najla melainkan menaikkan selimut untuk menutupi badan gadis berumur tujuh belas tahun itu. Ghailan lalu berdiri membuka lemari dan mengambil sepasang piyama bergambar strawberry yang ada di tumpukan baju lainnya yang tersusun dengan rapi.
Ghailan menghembuskan napas kasar, menatap gamang sosok gadis remaja yang terlelap dalam bungkusan selimut. Jika saja keadaan ini terjadi sepuluh tahun yang lalu, ia tak akan sebingung ini sekarang. Najla bukan lagi gadis berseragam merah putih yang bisa ia perlakukan sebagai anak sendiri. Najla seorang gadis belia dengan paras dan bentuk tubuh yang meskipun mungil tapi tetap saja terlihat pas pada bagian-bagian tertentu, yang menunjukkan bahwa ia tak bisa lagi sembarang menyentuhnya. Tapi bagaimana pun ia tak bisa membiarkan Najla tertidur dengan pakaian yang seharian ia pakai. Maka dengan ragu, disingkapnya selimut tersebut. Ghailan mengalihkan pandangannya ke tempat lain sedangkan tangannya melepaskan seragam yang membalut tubuh Najla. Setelah seragamnya terlepas, ia menggantinya dengan piyama kancing yang cukup memudahkannya menyelesaikan pekerjaan itu secepatnya. Ghailan menghembuskan napas lega setelah kancing terakhir terpasang dengan benar. Ditatapnya Najla dengan lekat sebelum kemudian meninggalkan kamar gadis itu.
***