Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Pasutri Jadi-Jadian

Pasutri Jadi-Jadian

Indy Shinta

3.5
Komentar
837
Penayangan
30
Bab

Jaka dan Nuning bersahabat sejak kelas 4 SD. Cuma sahabat. Jaka tak pernah berpikir menikahi Nuning meskipun cuma dalam mimpi. Nuning itu gesreknya 'naudzubillah' dan sama sekali bukan tipenya. Cewek itu cuma cocok dijadikan 'partner in crime' mencuri mangganya Mbah Surip, atau dijadikan umpan pemancing keributan di kelas untuk melancarkan aksi bolosnya. Tapi demi apa, tak ada angin tiada hujan, tiba-tiba saja Nuning minta dinikahi selulusnya mereka dari SMA. Ternyata. Alasannya ngehek banget! "Biar orangtuaku ngijinin aku pindah ke Jakarta bareng kamu, Jak. Aku kan nggak mau selamanya jadi orang kampung!" Sial. Kemerdekaan Jaka sebagai jomblo langsung dihabisi. Nuning bikin pengumuman di sekolah bahwa Jaka itu calon suaminya. Bikin Jaka mati pasaran di depan gebetannya. Makin ditolak, Nuning makin brutal mengejar Jaka macam banteng lihat kain merah. Bahkan cewek gebetan Jaka pun tak luput jadi sasaran. Namun, Jaka tak sudi menyerah, pokoknya Nuning pilihan terakhir baginya kalau sudah tak ada lagi cewek yang bisa dinikahinya di bumi. Titik! Tapi, bukan Nuning namanya kalau menyerah begitu saja. Jaka adalah tiket emasnya ke Jakarta. Iapun mengerahkan jurus 'pepet, dempet, srempet' untuk mendapatkannya. Ternyata, Jaka sama tangguhnya. Cowok itu gesit licin bagai belut menghindarinya. Lalu tiba-tiba menghilang. Nuning ugal-ugalan mencarinya, namun Jaka tiada ditemukan. Saat Nuning menyerah, tiba-tiba saja Jaka kembali muncul di depannya dan berkata, "Oke, kita nikah!" Wah! Apa sih yang membuat Jaka tiba-tiba mau menikahinya? Ah. Nuning tak peduli! Pokoknya menikah saja dulu, soal cinta urusan belakangan!

Bab 1 Biang Kerok

"Maaak? Nasinya mana??" protes Pak Priyo menggelegar ke seluruh isi rumah. Menggetarkan jendela. Mengguncang lantai. Dan menggoyang kasur Bu Parmi yang tengah asyik leyeh-leyeh di kamarnya. Perempuan berusia lima puluhan itu pun terbirit-birit ke dapur. Meringis saat suaminya memelintir kumis.

"Loh! Perasaan tadi masih penuh loh, Pak?" Bu Parmi kebingungan melihat isi magic com yang tiba-tiba tinggal kerak.

"Ya udah sih, Mak ..., tinggal masak lagi apa susahnya?" Nuning tiba-tiba nongol sambil bersendawa, mengelus perutnya yang kekenyangan usai menyikat habis isi meja makan hingga licin mengkilat sampai-sampai bisa bikin kepleset lalat yang hinggap.

"Oooh pasti ini dia biang keroknya!" omel Bu Parmi sambil menuding anak gadisnya itu dengan centong nasi.

Nuning ambil langkah seribu sebelum centong itu sempat mendarat di kepalanya. Terbirit-birit kabur meninggalkan emaknya yang ngomel-ngomel di belakangnya, ngepot-ngepot mengejarnya sambil mengacung-acungkan centong bukan sembarang centong, itu centong sakti yang sudah puluhan kali bikin kepalanya benjol.

Nuning melompati pagar dengan lincah. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai pun menghamburkan jutaan ketombe di udara. Gadis itu menerobos jemuran tetangga dengan rusuhnya. Bikin janda semok sebelah rumah menjerit-jerit mengira ada maling mau nyolong pakaian dalamnya.

Nuning pun cekikikan setelah merasa aman dari kejaran makhluk berdaster yang tak lain emaknya sendiri.

"Ngapain ketawa-tawa sendirian? Obat lagi habis?" tegur Jaka sambil memiringkan telunjuknya di kening.

Nuning meringis jijik karena Jaka menegur sambil menjitak keningnya dengan permen kojek yang baru keluar dari mulutnya. Dia mengumpat sambil menginjak kaki Jaka, bikin cowok jangkung itu meringis kesakitan.

"Ngapain ngumpet-ngumpet? Kayak habis maling aja?" tanya Jaka.

Nuning nyengir. "Emang!" Lalu melenggang santai menuju lapangan. Ada lomba layangan sore ini yang tak boleh dilewatkan. Meskipun sudah berseragam putih abu-abu, tapi layangan tetap menjadi hiburan favoritnya. Apalagi layangan Jaka sering membuatnya menang taruhan lawan anak-anak kampung.

"Eh, beneran? Emangnya mangga Mbah Surip udah pada mateng?" tanya Jaka dengan mata berbinar.

Mangga Mbah Surip memang sudah jadi langganan curian mereka sejak zaman SD. Soalnya mangganya enak, buahnya lebat. Sekali srampang langsung berjatuhan. Posisinya yang di pinggir jalan bikin mereka kebiasaan nyolong sambil lewat. Salah sendiri yang punya pelit, diminta baik-baik nggak boleh. Sementara buahnya yang lebat dan ranum seringkali melambai-lambai, nantangin minta dipetik.

"Bukan nyolong mangga, tapi nyolong ayam penyet jatahnya bapakku. Salah sendiri sama emak pake diumpetin segala. Nggak adil namanya, masa anaknya disuruh makan tempe bapaknya makan ayam? Kan kebalik. Siapa yang sedang dalam masa pertumbuhan coba?" sahut Nuning sambil cekikikan.

"Wah, gendeng kamu Ning. Nggak kapok apa uang jajanmu ntar disunat lagi?"

"Lah, kan ada kamu?" Nuning mengalungkan lengannya ke pundak Jaka.

Jaka mengedikkan pundaknya, menyingkirkan tangan Nuning darinya. "Memangnya aku ATM-mu? Ngomong kok kayak kentut, lega di kamu tapi bikin eneg yang denger," cebiknya jengkel. "Seratus ribuku yang kemarin aja belum balik, ini udah mau nadah lagi? Kayaknya kamu memang cocoknya jadi tukang palak, deh!"

"Kayaknya sih gitu, Jak. Kalau malakin kamu aja bisa kaya, ngapain juga repot-repot mikirin kerjaan lain?"

"Sompret minta dikepret!" gerutu Jaka keki.

Nuning terkikik senang sambal menaiki punggung Jaka yang otomatis memeganginya. "Buruan, Jak! Ntar lomba layangannya keburu mulai!"

Jaka menurut tanpa banyak bacot. Dia lari menuju lapangan dengan Nuning yang tertawa merdeka di gendongan belakang. Orang-orang kampung sudah tak aneh lagi melihat kelakuan duo abege yang gesrek dan tukang bikin rusuh itu.

Nuning, terkenal suka menakuti anak-anak pulang mengaji, pura-pura menyamar jadi Kunti, gelantungan di pohon pakai mukena. Sedangkan Jaka, kebagian menyamar jadi pocongnya.

Meskipun sudah menjadi rahasia umum kalau duo setan itu cuma cosplay, tapi tetap saja sukses membuat takut anak-anak. Bikin duo setan jadi-jadian itu senang, sementara setan betulan yang gaweannya sedang disabotase oleh mereka cuma bisa geleng-geleng saja di pojokan.

Mereka berdua pula yang suka bikin kalong-kalong di kebun minder karena kalah skill nyolong. Mbah Surip pun cuma bisa pasrah memandangi mangganya yang tak pernah awet di pohon.

***

Pak Priyo selama ini terkenal dengan keangkerannya. Kumisnya yang lebat dan perawakannya yang tinggi besar serta suaranya yang menggelegar, suka bikin semaput anak-anak kecil yang berpapasan dengannya. Mungkin karena kebiasaan orang tua mereka yang suka menakuti anak-anaknya pakai nama Pak Priyo. "Awas loh kalau nakal, ntar ditangkap Pak Pri!" begitu kata emak-emak mereka. Padahal Pak Priyo bukan Polisi, bukan TNI, bukan pula satpol PP yang suka beringas saat penertiban bangunan liar. Beliau cuma kepala satpam pasar yang suka bawa pentungan.

Sayangnya, keangkeran Pak Priyo malah tak mempan untuk menghadapi anaknya sendiri. Nuning, anak gadisnya yang bontot justru sering bikin ulah yang bikin Pak Priyo sepaneng. Bikin Bu Parmi mengelus dada dan berpikir keras dulu pernah mengidam apa. Mungkin ada yang belum keturutan jadinya begitu si anak lahir, besarnya jadi ugal-ugalan.

"Mak, aku maluuu. Nuning tuh, Mak!" keluh Bambang, si anak sulung yang satu sekolah dengan Nuning.

Bu Parmi menarik napas, menguatkan jantung, siap-siap menerima cobaan lagi. Minggu lalu sudah dua kali dipanggil kepala sekolah karena Nuning tawuran dan mengunci kakak kelasnya di WC sekolah dan menggembesi motor gurunya. Sekarang, apa lagi?

"Mendingan nggak punya adik sekalian daripada bikin malu aja!" keluh Bambang sambil membanting tas sekolahnya ke kursi. Lalu menghempaskan badan lelahnya ke sebelah si emak yang mukanya ikut kusut.

"Bilangin Nuning dong, Mak. Kalau nggak niat sekolah, mending suruh kawin aja terus pergi sana ikut suaminya. Serah mau ke mana. Ke hutan kek, kebun binatang kek, ke dunia lain kek," oceh Bambang dengan sekali tarikan napas. Bikin muka Bu Parmi tambah berlipat-lipat bingung.

Bambang emosi! Percuma rasanya jadi bintang kelas, bintang sekolah, bintang lapangan, tapi punya adik yang hobinya bikin malu. Nuning selalu jadi bahan gunjingan di sekolah karena ulahnya yang sering bikin gempar. Dia kerap dapat hukuman karena suka datang terlambat, tapi tak pernah kapok dapat hukuman keliling lapangan sambil berjongkok. Nuning juga suka mengompori teman-temannya mengosongkan kelas saat pelajaran. Lalu jadi komando teman-temannya bolos melompati pagar. Kalau ada lomba panjat pagar sekolah, Nuning pasti sudah jadi juaranya. Rok panjang sepertinya tak jadi halangan bagi adiknya untuk urusan panjat memanjat dan lompat melompat. Monyet aja kalah lincah!

Pokoknya punya adik macam Nuning jadi beban mental bagi Bambang yang seorang ketua OSIS. Bagaimana mau digubris warga sekolah kalau mengurus satu adik perempuan saja tak becus? Wibawanya bagai dikuliti tingkah adiknya sendiri yang rajin melanggar ketertiban.

"Sabar tho, Mbang. Kok jangankan kamu, lah bapakmu aja ikut mumet kok mikirin adikmu satu itu."

"Ya makanya itu, kawinin aja biar tau rasa!"

"Iya kalau ada yang mau? Tau sendiri kelakuan adikmu itu sudah nyebar seantero kampung," cebik Bu Parmi ngenes sendiri memikirkan masa depan anak gadisnya yang super absurd. Sudah tampangnya pas-pasan, kelakuan dan prestasi tak bisa dibanggakan.

"Jodohin aja sama duda juragan empang. Dengar-dengar dia lagi cari bini. Biar emak nggak usah khawatir Nuning bisa makan apa nggak, karena suaminya kaya, kan bisa ngasih makan yang banyak. Dia mau makan sepuluh bakul sehari juga udah bukan tanggung jawab Emak lagi," cibir Bambang jengkel.

Adiknya itu kalau makan persis kerbau bunting! Nasi sepiring pernuh, masih bisa nambah. Herannya badan adiknya tetap mungil dan tak bisa gendut meskipun suka makan tiga piring berturut-turut. Jangan-jangan cacingnya lebih panjang ketimbang ususnya!

"Husss. Sembarangan! Gitu-gitu dia adikmu! Sabar-sabar aja, itung-itung buat nambah pahala."

"Yang ada mah nambah dosa dan penyakit punya adik kek dia."

"Kalau ngatain orang bisa lebih keras dikit nggak? Orangnya nggak denger nih," celetuk Nuning yang tiba-tiba nongol sambil nyengir, masih memakai seragamnya yang warnanya tak putih abu-abu lagi. Tapi Bambang akan lebih heran kalau rok adiknya belepotan dengan darah mens ketimbang belepotan tanah seperti itu. Pasti habis dari lapangan main layangan, atau duduk-duduk di tegalan sambil menikmati mangga hasil colongan.

Memandangi seragam Nuning yang kumal, Bu Parmi geleng-geleng sambil mengelus dada. Perasaan ya ..., anak gadis jaman sekarang wangi-wangi, rapi-rapi. Begitu duduk di bangku SMP umumnya sudah pada sadar kerapihan, sadar penampilan, dan peduli kecantikan. Tapi kenapa anak gadisnya yang sudah SMA begini amat?

"Kayaknya kamu perlu ke psikiater deh. Kali aja kena gangguan jiwa. Kalau nggak, bisa aku yang lama-lama gila punya adik kayak kamu!" omel Bambang.

"Beuhhh. Gaya amat! Kayak kita orang berduit aja. Emangnya ke psikiater gak bayar? Ke dukun aja bayar. Kalau bisa dibayar pake daun sih aku mau aja. Soalnya psikiater kan adanya cuma di kota. Ntar sekalian mampir deh ke mall, jalan-jalan. Bosen tau di kampung mulu," cebik Nuning, "kalau hujan becek, nggak ada ojek..." lanjutnya lagi dengan logat ala Cinta Laura yang kebarat-baratan.

Nah, kan! Ngomong sama adiknya memang suka bikin senewen. Nuning tak pernah peduli biar seluruh dunia menertawakan atau meledeknya. Dia memiliki dunia sendiri. Punya cara menikmati hidupnya, yang tak pernah sejalan dengan cara hidup Bambang sang kakak.

"Omong-omong soal ke kota, kapan yuk Mak kita ke Jakarta?" celetuk Nuning tiba-tiba.

"Ntar, kalau sapinya bapakmu sudah lahiran," sahut Bu Parmi asal. Memangnya sejak kapan Pak Priyo punya sapi?

"Yah, emaak. Masa kalah sama Mbah Paijo yang sering bolak-balik liat Monas?" protes Nuning mencatut nama tetangganya.

"Mbah Paijo sopir bus Damri? Ya emang trayeknya itu Lampung-Gambir!"

Tapi Nuning tetap merengek tak mau tahu sambil menarik-narik lengan Bu Parmi yang mulai kelimpungan. Sampai-sampai Bambang menggulung buku lalu menggeplak kepala adiknya supaya berhenti bertingkah macam orang kesurupan jin Monas. Nuning pun manyun, merajuk masuk kamar. Dia bahkan melewatkan makan malam.

Pak Priyo dan Bu Parmi keheranan karena untuk pertama kalinya magic com mereka penuh. Tapi bukannya senang nasinya utuh, kedua orangtua itu jadi galau.

Ada apa dengan Nuning?

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Indy Shinta

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku