Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
GUNDUKAN tanah itu tentu masih basah. Bahkan petugas penggali kubur baru saja menancapkan nisan penanda makam. Dari namanya, jelas gundukan itu menyembunyikan jasad seorang wanita berusia menjelang empat puluh tahun. Setelah prosesi pemakaman selesai, satu per satu orang yang turut berduka pergi. Berpamit dengan wajah duka diiringi tepukan penyemangat ala kadarnya di bahu atau jabat tangan erat dan pelukan menguatkan. Semua pergi, hingga sisa empat orang lelaki. Seorang suami dan tiga anaknya yang berduka. Yang paling kecil berusia delapan tahun.
Bocah terkecil inilah yang wajahnya paling merana. Matanya bengkak, wajahnya sembab, hidungnya terlihat sangat merah di kulitnya yang putih. Tanpa malu dia menggosokkan lengan bajunya ke hidung untuk mengelap lendir. Wajahnya sangat berduka. Bahkan saat yang lain bersimpuh di sisi makam, dia masih memeluk nisan itu. Mengabaikan tanah merah basah yang mengotori baju dan banyak bagian kulitnya. Dia bahkan tidak peduli ketika wajahnya dipenuhi kotor tanah. Tak puas hanya memeluk nisan, dia memeluk gundukan tanah bersama taburan bunga sementara sebelah tangannya tetap memeluk nisan.
Isaknya masih terdengar. Isak yang sulit dihentikan tanda terlalu lama menangis. Sampai akhirnya ayahnya memaksanya berdiri dia terus memeluk gundukan tanah berpegangan pada nisan. Ayahnya menarik paksa pinggangnya sampai membuat nisan itu nyaris tercabut. Sampai akhirnya sang ayah berhasil mengangkat si bocah dan membiarkan sejenak anaknya kembali meraung di kaki kubur sambil dia sendiri mengatur napas.
Raungan merana bocah berduka itu membelah langit sore bersama semburat jingga di ufuk barat. Siapa pun yang mendengar raungan itu, mereka akan menolehkan wajah, ingin melihat siapakah yang sedemikian merana dipisahkan kematian yang pasti datang.
Dan hati siapa pun itu akan ikut teriris ketika melihat bocah lelaki kotor tanah merah meraung memanggil ibunya.
“Mama… Mama… Manggala ikut, Mama… Mama…”
“MAMAAA…. MANGGALA IKUUUTTT…” Dia kembali berteriak meraung tak peduli ayahnya mulai tak sabar dan menghardik sembunyi.
Tak bisa terus dibiarkan begini. Setelah menarik napas dan mengumpulkan tenaga, ayahnya menarik paksa si bocah lalu menggendongnya di pinggang. Bocah itu memberontak hebat dalam gendongan ayahnya. Kakinya bergerak-gerak kasar menendang asal ke segala arah tidak mau pergi dari makam. Teriakannya sepanjang jalan semakin menyayat hati. Tapi mereka sudah terlalu lama di makam ini. Langit sudah semakin meredup. Matahari sebentar lagi hilang. Dia bisa melanjutkan dukanya di mobil, di jalan, lalu berlanjut di rumah.
Dan itulah yang terjadi.
Kesedihannya tidak berakhir di makam itu. Selama ini hanya mamanyalah orangtua yang dia kenal. Papanya terlalu sibuk bekerja yang ketika pulang hanya menuntut laporan prestasi anak saja. Ketika mamanya pergi, dia begitu kehilangan sampai merasa dunianya hilang.
Dia memang merindukan mamanya, tapi anak sekecil itu sudah bisa merasai bahwa mamanya tidak akan pulang apalagi tergantikan. Termasuk ketika papanya datang memperkenalkan seorang perempuan cantik yang akhirnya dengan berat hati dia panggil Mama.
Kupanggil dia Mama, tapi dia bukan ibuku.
Anak kecil itu merasa ada yang salah. Bahkan mamanya belum genap dua bulan lalu pergi. Kenapa begitu cepat ibu pengganti datang? Dia tidak mau ibu pengganti. Dia mau ibuya tapi dia pun tahu ibunya tidak mungkin kembali, maka tidak usah beri dia ibu yang lain. Tapi bocah sekecil itu bisa apa? Bahkan dia tidak mengerti bahwa yang dia rasa adalah sebuah kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan. Dia hanya tahu bahwa dia kehilangan pegangan. Dan tanpa pegangan dia tumbuh sendiri dengan semua luka yang dia bawa. Sepanjang masa kecil dan remaja luka itu makin bertambah. Ketika lidahnya kelu, dia hanya bisa menutupi semua luka dengan diam yang sangat kental.
Anak kecil itu bernama Manggala Abipraya Sastradinata.
***