Sayap-sayap Patah

Sayap-sayap Patah

Allyandra

5.0
Komentar
2K
Penayangan
44
Bab

Sekuel 2 - 5 Ellite Bad Boys Jangan pernah merasa mudah jatuh cinta!!!! Ara ~ Inara Subrata ~ paham bagaimana rasanya diacuhkan, ditinggalkan dan dibiarkan berjuang sendiri. Berharap setelah pindah ke New York, masa depannya lebih indah, sakit hatinya mulai menghilang. Namun ia bertemu dengan Fabio ~ Zayyan Fareed. Seorang CEO muda yang sukses dari perusahaan besar di Brooklyn. Laki – laki yang bukan hanya memberinya harapan akan cinta, tapi juga membuka luka lama yang perlahan mulai menghilang. Bukankah Ara hanya ingin dicintai dengan tulus? Bukankah mencintai itu mudah? Apakah sesulit itu untuk menerima kehadiran orang lain dan memberikannya ketulusan? Ara dihadapkan dengan pilihan yang sulit, mengorbankan dirinya pada hubungan tanpa status atau mengorbankan kakaknya untuk bangkrut. Ara harus berjuang sendiri. Ia akan berjuang untuk mendapatkan kebahagiaannya lagi. Dengan apa? Seperti apa hidupnya nanti? Apakah keputusannya pindah ke New York adalah keputusan yang benar? Ah, Ara hanya ingin menemukan kebahagiaannya, apapun keputusannya, bagaimanapun perjalanannya. ARA HANYA INGIN BAHAGIA.

Bab 1 PROLOG

Semburat cahaya mentari sore menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela kamar yang terbuka. Seorang gadis berwajah murung yang dipenuhi kesedihan sedang terduduk menatap jauh ke lautan lepas tepat di depan jendela kamarnya.

Ara, nama gadis itu Inara Subrata. Ia sama sekali tidak berniat beranjak dari duduknya kalau saja, Bi Nani, asisten rumah tangga disana tidak menyadarkannya dari lamunan.

"Coklat panasnya sudah dingin, Non...", ucap Bi Nani singkat.

Ara menoleh. Bi Nani benar, ia sudah melupakan coklat panasnya (yang kini sudah menjadi dingin) sedari tadi.

"Oh, Ara lupa bi..", gadis itu segera meminum coklatnya. Coklat selalu memperbaiki suasana hatinya.

"Bi, Ara akan keluar jam 4 nanti. Ada janji sama temen dari Jakarta. Apa bibi mau nitip sesuatu? Nanti sekalian Ara belikan...", Bi Nani tersenyum dan menggeleng.

"Tidak ada, Non. Buat bibi, Non sudah mau berkumpul lagi dengan teman-teman Non saja, Bibi sudah senang. Apa Non akan pulang untuk makan malam?"

"Ara tidak tau, Bi. Tapi bibi siapkan saja", Bi Nani mengangguk lalu meninggalkan gadis itu.

Enam bulan yang lalu, Ara sangat hancur karena kehilangan kedua orangtuanya akibat kecelakaan pesawat. Sampai saat ini, Ara bahkan tidak tahu kondisi dan keberadaan jenazah keduanya. Sejak saat itu, Ara benar-benar menutup diri. Menenggelamkan hidupnya di dalam kesedihan yang sangat dalam.

Ara tidak pernah lagi keluar rumah, bahkan untuk melihat pekaranganpun sangat jarang. Ia menolak semua ajakan teman-teman dan sahabatnya untuk sekedar berkumpul di cafe atau club. Ia juga mengabaikan undangan para rekan, colega, dan teman-teman sekolahnya dulu.

Ara sempurna bersedih dan menyendiri. Bi Nani sudah berulang kali memintanya untuk keluar rumah, mencari udara segar. Namun gadis itu menolaknya dengan alasan apapun.

Hari itu, Ara memutuskan untuk menemui sahabatnya. Semoga merupakan awal yang baik, pikirnya dalam hati.

"Bi, Ara pergi ya...", Bi Nani mengangguk dan tersenyum.

"Hati-hati, Non...", Ara mengucapkan salam lalu segera masuk kedalam chevrolete putihnya.

Ara segera menuju cafe di Jimbaran. Sesaat setelah Ara keluar dari mobilnya, seseorang melambai dari kejauhan. Ara tersenyum dan segera menghampiri gadis itu.

"My Ara. Im glad to see you here, my darling. Soo miss you", keduanya berpelukan lama. Ara tersenyum.

"Kamu udah lama nunggunya, Nggun?", gadis itu menggeleng.

Anggun Dwimora, sahabat Ara sejak ia SMP. Keduanya berpisah justru saat Ara mendapatkan kabar kematian orangtuanya. Saat itu Anggun harus pergi ke London, meneruskan kuliahnya.

"Aku turut berduka ya, Ra. Maafkan aku yang ga bisa dampingin kamu...", Anggun memegang tangan sahabatnya itu. Ara mengangguk dan mencoba tersenyum.

Ara sebenarnya tidak suka saat seseorang mengungkit kembali kenangan buruk itu. Tapi Anggun nampak tulus mengucapkan itu. Sehingga Ara tidak ingin larut dalam kesedihan itu lagi. Wajahnya langsung berubah ceria.

"Kamu ngapain di Bali, Nggun. Ayo menginap kerumahku...", Anggun menyadari bahwa Ara ingin mengalihkan pembicaraan. Ia kemudian tersenyum.

"Cuma sampe besok, Ra. Ada tugas kampus, jadi harus bertemu teman untuk mengurus penelitian kecilku", Ara mengangguk, "Oh ya, kenapa kita ga jalan-jalan dipantai? Udah mau sunset sebentar lagi. Hayok...", Ara tertawa lalu mengangguk.

Ara langsung membuka sepatu dan menentengnya sambil terus berjalan dipinggiran pantai.

"Oh ya, kenapa kamu ga datang bareng Niko? Bukannya dia sedang ada disini??", Deggg. Ara tiba-tiba terdiam. Niko ada di Bali?

"Bareng Niko? Maksudnya, Nggun?", Anggun menatap Ara bingung.

"Kemarin aku menelponnya, karena aku mendapatkan kabar bahwa kamu tidak lagi tinggal di Jakarta. Dia bilang kalian sudah tinggal di Bali sekarang. Makanya ku pikir, kalian akan datang bersama...", Ara nampak gusar. Ia sangat tidak nyaman ketika mendengar nama itu.

"Hai, Nggun...", sebuah suara mengagetkan Ara dan Anggun. Tubuh Ara membeku. Ia mengenali suara berintonasi tenang itu. Anggun menoleh.

"Oh, hai, Nik. Kita baru aja ngomongin kamu...", Niko tersenyum. Ia melihat kearah Ara yang sama sekali tidak menoleh kepadanya, "Ra, ini ada Niko...", Anggun menoleh lagi kepada Ara. Gadis itu sama sekali tidak berniat menatap laki-laki dibelakangnya, "Ara, kalian t...idak sedang b...ertengkar, kan??", tanya Anggun dengan hati-hati. Namun Ara segera menatapnya.

"Nggun, aku rasa aku harus pulang sekarang. Aku ada janji makan malam bersama saudaraku. Kamu berkunjunglah kerumahku jika ada waktu, okey?", Ara segera memeluk sahabatnya itu cepat. Lalu pergi meninggalkannya.

Anggun hendak memanggil Ara namun gadis itu sudah berlalu dengan buru-buru.

"Ara, tunggu. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan...", Ara mengenali suara itu. Niko mengejarnya, namun Ara tidak berniat sedikitpun untuk berhenti, "Ara...", langkah kaki Ara terhenti. Bukan karena ia yang meminta, tapi karena seseorang mencekal tangannya, "Aku mohon dengarkan aku sebentar saja...", Ara berbalik cepat.

"Lepaskan tanganku, Bang", Ara berusaha melepaskan cengkeraman tangan Niko, "Aww, sakit. Kamu menyakitiku...", Ara meringis karena nyeri dilengannya. Niko buru-buru melapaskan tangan gadis itu.

"Maaf, Ara, maafkan aku. Aku tidak berniat...", Niko menyesali perbuatannya mencengkram tangan gadis itu. Niko hanya tak ingin Ara pergi, karena itu tangannya tanpa sadar mencengkram lebih kuat.

"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, bang. Semua sudah selesai...", ucap Ara dingin.

"Ara, aku mohon. Tolong dengarkan sedikit saja penjelasanku...", Ara tertawa hambar.

"Penjelasan apa, Bang? Abang ingin menjelaskan apa? Semua sudah jelas, abang ingin pergi dari kehidupanku. Dan sekarang aku sudah merelakannya...", Niko menggeleng.

"Tidak Ara, kamu salah paham. Abang...", ucapan Niko terhenti karena Ara tiba-tiba mengangkat tangannya.

"Tidak ada yang salah paham, bang. Aku sudah mengerti. Dan tidak perlu ada penjelasan lagi...", Niko ingin berbicara lagi namun Ara menggeleng keras. Menolak penjelasan Niko, "Dulu, sewaktu abang ingin pergi, kemana penjelasan abang? Bahkan saat Ara datang ke bandara meminta penjelasan abang dan memohon abang untuk tidak pergi, apa abang berniat sedikit saja bicara kepada Ara????", dua bulir air mata mengembang di kelopak mata Ara.

"Ara, aku...", Niko sangat terluka melihat gadis itu menangis.

"Saat Ara benar-benar membutuhkan kehadiran abang, Abang justru pergi tanpa penjelasan. Abang bahkan tidak perduli, sedikit saja mengerti, bahwa Ara membutuhkan penjelasan. Kenapa abang tidak mau bicara dulu? Jika abang menjelaskan alasan abang pergi saat itu, mungkin Ara akan mengerti. Sekalipun abang pergi karena ada gadis lain, jika abang bicara dengan jelas padaku, itu lebih baik daripada meninggalkan Ara tanpa alasan sedikitpun..."

Gadis lain?? Tidak!! Itu tidak ada! Batin Niko protes. Ia sangat mencintai Ara dan kepergiannya saat itu bukan karena gadis lain.

"Selama enam bulan, Ara merangkai sendiri, menerka-nerka alasan abang meninggalkanku. Terus tenggelam sendiri, dan meyakinkan diri bahwa Tuhan sangat tidak adil pada hidupku", air mata Ara sudah membanjiri pipinya sedari tadi.

"Tapi kini semua sudah berlalu. Bagi Ara, semua yang terjadi sudah menjadi masa lalu yang harus Ara lupakan. Ara tidak ingin mendengar alasan atau penjelasan apapun dari abang, bahkan dari Tuhan. Ara akan melanjutkan semuanya. Dan kenangan kita, Ara kubur bersama dengan kepergian ayah dan bunda. Semua sudah berakhir, bang. Tidak perlu ada penjelasan lagi...", Ara menghela nafas. Ia menyeka air matanya dan bersiap pergi.

"Tapi, Ra. Abang inginkan Ara...", Niko berkata dengan penuh pemohonan. Ara menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Ara kembali menoleh.

"Tidak, Bang. Semua sudah terlambat. Lupakan Ara, karna Arapun akan melakukan hal yang sama. Dan satu lagi, Ara mohon. Jangan pernah muncul lagi dikehidupanku, bang. Aku mohon...", Ara segera berlari meninggalkan Niko. Ia buru-buru masuk kedalam mobilnya dan melajukannya cepat meninggalkan halaman cafe.

Hati Ara sangat terluka. Kehadiran Niko sama saja membuka luka lama. Ia kembali merasakan hancurnya kekuatannya saat Niko meninggalkannya dulu. Laki-laki itu pergi justru saat ia sangat membutuhkan kehadirannya. Ara sangat kesepian dan bersedih, namun Niko justru meninggalkannya tanpa penjelasan apapun. Bahkan saat Ara memohon padanya, berlutut agar laki-laki itu tidak pergi, Niko tetap bergeming.

Tidak. Ara tidak akan pernah mau menemuinya lagi. Kehadiran Niko hanya membawa sesak di dadanya dan mengembalikan kenangan buruk kepergian orangtuanya.

Ara segera berlari menemui Bi Nani sesampainya dirumah. Gadis itu langsung memeluk dan menangis dipelukan Bi Nani.

"Non, ada apa?", tanya Bi Nani keheranan karena melihat Ara menangis.

"Bi, Ara tidak tahan disini. Ara ingin pergi..."

Bi Nani terkejut. Ia tahu, Ara pasti bertemu dengan Niko. Ada sesuatu yang terjadi sehingga membuat gadis itu memutuskan untuk PERGI...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Allyandra

Selebihnya

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku