Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
4.9
Komentar
11.2K
Penayangan
119
Bab

PRISHA Nayara, gadis pemberontak yang sulit diatur. Bekerja sebagai editor di Papyrus, platform kepenulisan milik Manggala Abipraya Sastradinata. Nayara yang keras kepala bertemu dengan Manggala yang dingin dan tak acuh. Itu awal pertemuan mereka. Lalu selanjutnya jalan nasib membimbing mereka ke takdir di masa depan yang ternyata memang tidak bisa lepas dari masa lalu. Kedua mereka membawa luka masing-masing. Luka yang membentuk mereka menjadi seperti sekarang. Keras dan dingin. Lalu kebersamaan membuat mereka saling mengobati luka itu. Tapi dunia tidak semudah itu untuk ditaklukkan. Kondisi berbalik. Dan mereka kembali harus saling menyembuhkan. Ini memang novel cinta. Tapi tanpa pernyataan cinta. Hanya ada rasa untuk mencintai diri masing-masing demi bisa mencintai pasangannya. ***

Bab 1 Prolog

GUNDUKAN tanah itu tentu masih basah. Bahkan petugas penggali kubur baru saja menancapkan nisan penanda makam. Dari namanya, jelas gundukan itu menyembunyikan jasad seorang wanita berusia menjelang empat puluh tahun. Setelah prosesi pemakaman selesai, satu per satu orang yang turut berduka pergi. Berpamit dengan wajah duka diiringi tepukan penyemangat ala kadarnya di bahu atau jabat tangan erat dan pelukan menguatkan. Semua pergi, hingga sisa empat orang lelaki. Seorang suami dan tiga anaknya yang berduka. Yang paling kecil berusia delapan tahun.

Bocah terkecil inilah yang wajahnya paling merana. Matanya bengkak, wajahnya sembab, hidungnya terlihat sangat merah di kulitnya yang putih. Tanpa malu dia menggosokkan lengan bajunya ke hidung untuk mengelap lendir. Wajahnya sangat berduka. Bahkan saat yang lain bersimpuh di sisi makam, dia masih memeluk nisan itu. Mengabaikan tanah merah basah yang mengotori baju dan banyak bagian kulitnya. Dia bahkan tidak peduli ketika wajahnya dipenuhi kotor tanah. Tak puas hanya memeluk nisan, dia memeluk gundukan tanah bersama taburan bunga sementara sebelah tangannya tetap memeluk nisan.

Isaknya masih terdengar. Isak yang sulit dihentikan tanda terlalu lama menangis. Sampai akhirnya ayahnya memaksanya berdiri dia terus memeluk gundukan tanah berpegangan pada nisan. Ayahnya menarik paksa pinggangnya sampai membuat nisan itu nyaris tercabut. Sampai akhirnya sang ayah berhasil mengangkat si bocah dan membiarkan sejenak anaknya kembali meraung di kaki kubur sambil dia sendiri mengatur napas.

Raungan merana bocah berduka itu membelah langit sore bersama semburat jingga di ufuk barat. Siapa pun yang mendengar raungan itu, mereka akan menolehkan wajah, ingin melihat siapakah yang sedemikian merana dipisahkan kematian yang pasti datang.

Dan hati siapa pun itu akan ikut teriris ketika melihat bocah lelaki kotor tanah merah meraung memanggil ibunya.

"Mama... Mama... Manggala ikut, Mama... Mama..."

"MAMAAA.... MANGGALA IKUUUTTT..." Dia kembali berteriak meraung tak peduli ayahnya mulai tak sabar dan menghardik sembunyi.

Tak bisa terus dibiarkan begini. Setelah menarik napas dan mengumpulkan tenaga, ayahnya menarik paksa si bocah lalu menggendongnya di pinggang. Bocah itu memberontak hebat dalam gendongan ayahnya. Kakinya bergerak-gerak kasar menendang asal ke segala arah tidak mau pergi dari makam. Teriakannya sepanjang jalan semakin menyayat hati. Tapi mereka sudah terlalu lama di makam ini. Langit sudah semakin meredup. Matahari sebentar lagi hilang. Dia bisa melanjutkan dukanya di mobil, di jalan, lalu berlanjut di rumah.

Dan itulah yang terjadi.

Kesedihannya tidak berakhir di makam itu. Selama ini hanya mamanyalah orangtua yang dia kenal. Papanya terlalu sibuk bekerja yang ketika pulang hanya menuntut laporan prestasi anak saja. Ketika mamanya pergi, dia begitu kehilangan sampai merasa dunianya hilang.

Dia memang merindukan mamanya, tapi anak sekecil itu sudah bisa merasai bahwa mamanya tidak akan pulang apalagi tergantikan. Termasuk ketika papanya datang memperkenalkan seorang perempuan cantik yang akhirnya dengan berat hati dia panggil Mama.

Kupanggil dia Mama, tapi dia bukan ibuku.

Anak kecil itu merasa ada yang salah. Bahkan mamanya belum genap dua bulan lalu pergi. Kenapa begitu cepat ibu pengganti datang? Dia tidak mau ibu pengganti. Dia mau ibuya tapi dia pun tahu ibunya tidak mungkin kembali, maka tidak usah beri dia ibu yang lain. Tapi bocah sekecil itu bisa apa? Bahkan dia tidak mengerti bahwa yang dia rasa adalah sebuah kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan. Dia hanya tahu bahwa dia kehilangan pegangan. Dan tanpa pegangan dia tumbuh sendiri dengan semua luka yang dia bawa. Sepanjang masa kecil dan remaja luka itu makin bertambah. Ketika lidahnya kelu, dia hanya bisa menutupi semua luka dengan diam yang sangat kental.

Anak kecil itu bernama Manggala Abipraya Sastradinata.

***

Tapi begitulah kehidupan. Memiliki roda yang terus berputar tanpa henti yang manusia sebut waktu. Tak peduli cerita apa pun yang terjadi di putaran rodanya, dia akan terus bergerak dengan kecepatan konstan. Membbuat ada kisah kematian dan ada cerita kelahiran.

Ada yang datang dan ada yang pergi.

Di waktu yang sama, saat matahari mulai lelah dan bersiap berganti tugas dengan bulan, dunia menghadirkan kisah lain. Senja yang tetap indah dalam lengkingan sedih seorang anak dan jeritan sakit seorang ibu. Hari yang meredup menjadi latar dua cerita di senja itu.

Memang selalu ada yang datang dan ada yang pergi.

Di saat seorang bocah kecil kehilangan ibunya, di tempat lain seorang anak lahir menyapa dunia. Anak perempuan dengan tangisan yang melengking kuat. Gerakan tubuhnya mantap. Semua tenaga kesehatan di ruang itu bersorak gembira dengan kedatangannya. Bayi itu sudah terlihat cantik meski baru melewati pintu ke dunia yang baru. Kepalan tangan kecil itu terus mengentak meninju, siap menghalau siapa pun yang mengganggunya menangis. Tangis yang bisa menutupi teriakan kesakitan ibunya yang berdarah-darah melahirkan dia. Tapi bukan sakit itu yang membuatnya berteriak. Teriakan itu hanya caranya menutupi kesedihannya. Kemarahannya. Kekecewaannya.

Ada luka lain yang membuatnya meraung keras. Berharap ini adalah akhir kehidupannya. Berharap dia bertukar nyawa dengan anak yang harus dia lahirkan.

Anak itu lahir lebih cepat dari rencana karena jiwanya begitu terguncang ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya berasyik masyuk dengan perempuan lain. Jadilah dia bersalin sendirian dengan hati hancur. Tak ada kebahagiaan ketika perawat menunjukkan anaknya yang begitu cantik dan sehat.

Yang dia rasa bukan bahagia. Yang dia rasa adalah sedih dan... benci.... Tapi ini bukan yang pertama, dan yang pasti dia yakin ini juga bukan yang terakhir. Masih akan ada kekecewaan lain yang harus dia rasakan jika dia masih bernapas.

Dia merasa tidak bisa menolak nasib, tidak bisa menolak jalan hidupnya. Dia tak mau lagi berharap lelaki yang dia sebut sebagai suami akan menjadi lelaki yang dia impikan. Dia tahu, pangeran berkuda putih itu bukan untuknya. Kekecewaan yang tidak bisa dia keluarkan pada lelaki itu ternyata membutuhkan tempat untuk bermuara. Dan yang ada hanya bayi merah kecil yang menangis ribut mengganggu heningnya.

Dia tak mau melihat bayinya sendiri.

Bayi itu akhirnya tumbuh sendiri hanya didampingi baby sitter yang berganti-ganti. Bayi itu tumbuh sehat dan kuat. Kehidupan batin yang keras tanpa bimbingan orangtua membuat dia menjadi pribadi yang keras. Tak ada yang bisa menghalangi keinginannya. Dia sekeras batu karang. Wajahnya yang cantik menyembunyikan dengan rapat kekerasan hatinya.

Bayi kecil dengan lengkingan yang keras, kepalan tangan kuat, dan gerakan mantap itu akhirnya diberi nama Prisha Nayara.

***

Dua nama yang akhirnya akan berkali-kali bersinggungan dalam kehidupan mereka selanjutnya.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku