Patah
ar membuatnya kesiangan. Mungkin jika tidak ingat tekat berhemat sampai titik sen penghabisan dia akan melanjutkan tidurnya di hotel mewah itu. Tekat yang tadi me
penjuru kamar. Kamarnya di rumah papa Jaya lebih bagus dari ini. Tapi k
mana te
ncierges agak berkeryit ketika dia menolak dicarikan tumpangan. Dengan bawaan sebanyak itu, ke mana gadis ini akan pergi? Mung
ri semakin menyebalkan. Apalagi bagi Nayara yang terbiasa men
rus ke
Baru kali ini dia memperhatikan nominal di kertas sebelum dia menandatangani kertas itu. Dia sudah memberikan kartu kredit u
i tidak ada batasnya. Dia tidak tahu, isi kartu debit itu akan bertahan berapa lama, termasuk uang tunai yang dia sambar dari laci kamar di rumah papa Jaya. Tapi dia berj
g cukup lumayan untuk modal awal hidup mandiri. Dan dia baru saja membuangnya begit
uh
a yang berharga untuknya. Saat ini yang penting adalah ke mana
kendaraan membuat kepala Nayara mulai berdenyut. Semakin berdenyut saat dia tidak tahu harus ke mana. Apa teman-temannya mau menampungnya? Dia
mun itulah seseo
i duduknya, bergeser sedikit agar ada space untuk satu bokong la
ini." Suaranya ceria sambil melihat ke koper, disamp
m
y
ana
yara masih
jarnya setelah berpikir supe
nya menelisik pe
memperhatikan saksama penampilan Nayara. Meski outfit yang Nayara kenakan terlihat
dia nyaris berhadapan dengan gadis itu
ini. Jauh. Terus
ari sini makin bagus." Tempat ini
Di kampung pula." Gadis i
n." Ingat tekat berhematnya, dia harus mulai
ih. Jalan kaki j
uh nggak masalah. Ma
ha
serius
aja deh, Mbak li
g koper besar itu menaiki mobil-taksi online yang dipe
lah mereka membanting tubuhnya di baris tengah. Nayara menganggu
ar ini naik kereta, Mbak?" Naya
ak ramai-ramai amat boleh kok. Ini kan Minggu. Ke a
a ter
kamar biar irit bayar kos. Kos
S
yang semura
mat, tapi membawa barang sebanyak ini dengan moda transportasi umum
kalimatnya. "Kayaknya ng
nap
orang k
bahak sema
ue mah miskin, kere. Sebentar lag
gsung terlintas adalah seorang anak yang kabur dari istana ayah tirinya. Hhmm... Donge
embuat gadis itu menghentikan kehaluannya. Tangan kanan Nayara ter
Jengga
bok mbak-mbok lah ya. Gue lu aja. Tapi lu ngga
tertawa
tan tercium men
*
uh sederhana. Ini lebih sederhana-baca: lebih buruk-dari kamar asisten rumahnya. Tapi Nay m
g diterima dengan senyum lebar. Dia langsung mengambil uang dari lemarinya lalu mengajak Nayara berkenalan deng
anpa kaki. Gia melempar bantal ke ar
pat tinggal aman terkendali, ujarnya dal
eh mau tar
payah, Nayara langsung merebahkan dirinya ta
angin tidur di
ah Nayara. "Eh, gue pakai sprei l
tiga. Kalau kita nyuci
yang sampai menghentikan gerakannya memasang sarung
nding buat jajan cilok. Nyuci kan tinggal kucek-kucek dikit. Sel
ya. Jangankan mencuci, tutorial memasak air saja ada. Selama ini mana pernah dia mengurus cucian. Tid
ar lu yang l
i, sudah jarang ke kampus, jadi mending
epan baru gue skripsi. Sekarang
tiga semester lagi. G
nap
la." Gia terkekeh santa
nta
yang Nayara sebut adalah kampus favorit
lu mik
antara mana cocok di sini.
man gue bany
pain lu k
bur dar
rapa lama di sini. Tapi uang yang tadi lu kasih i
senilai semalam di kamar hotel yang tadi dia
in gue juga harus cari kerja. Gue ng
ke
ya
ma
luang aja. Gue nggak peduli berapa yang mereka transfer. Kayan
i Papyrus? Nam
Na
gue sering nongkrong di Papyrus. A
rgelak sa
wers gue nggak banyak. Makanya gue harus seriusin nulis deh. A
a ternganga
au nyari duit ya nulis aja." Dulu dia tidak peduli angka-angka itu. Angka
. "Lah gue kalau chat a
nap
yang paling ngeselin mereka tuh karena g
rus lu ketik deh hasil ngayalnya. Selama lu bisa ngerti tadi l
gue coba ngayal deh. Toh sekarang gue sekamar s
reka terbah
*
sam