Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Prolog
Momen ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu olehku. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya rencana ini akan terlaksana. Aku mengepalkan tanganku. Seluruh tubuhku bergetar. Seluruh emosi yang terbenam di sekujur tubuhku menyeruak keluar. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Ketakutan menyelimutiku bagaikan ulat yang berada di dalam kepompong.
Selama ini aku berada di zona nyamanku. Namun, aku tidak bisa begini terus menerus. Aku harus melakukannya. Aku tidak bisa menunda lebih lama lagi. Sekarang atau tidak untuk selamanya. Ragu atau berani. Mundur atau maju. Semuanya harus diputuskan sekarang.
Trak!
Aku menutup koperku. Ku elus koper kesayanganku ini. Koper ini memang istimewa. Ia berwarna biru tua dan berukuran besar. Bahkan jika orang dewasa meringkuk, mereka dapat masuk ke dalam koper ini. Setelah mengelus koper, aku beranjak. Aku berjalan ke kanan dan ke kiri sambil memikirkan beberapa hal. Aku melakukan ini selama beberapa menit. Akhirnya, setelah lelah mundar-mandir, aku pun duduk dan membuka koperku. Aku memeriksa semua barang yang ada di dalamnya.
“Pakaian dalam… ada, topi… ada, baju kaus… ada, celana jeans… ada, sepatu… ada, kacamata hitam… ada, perlengkapan mandi… ada. Kosmetik… ada. Hmm… kayaknya semuanya udah lengkap deh! Tinggal bawa tas kecil buat naruh dompet dan handphone,” ucapku mantap.
Aku tersenyum setelah memeriksa seluruh isi koper. Semuanya sudah lengkap. Tidak ada yang tertinggal satu pun. Aku juga mengambil tas yang terletak tidak jauh dari tempat koper ini berada dan segera mengambilnya. Kemudian, aku menaruh dompet dan handphone di dalamnya dan meyematkan tas kecil tersebut di bahu.
“Tunggu aku, sayangku! Kita akan segera bertemu,” kataku sambil menyungingkan senyum lebar.
Aku memang sudah menyiapkan perlengkapan untuk segera menemui sayangku, tetapi ada beberapa barang yang tidak boleh aku lupakan. Barang-barang ini tidak kalah pentingnya dengan perlengkapan yang ada di dalam koper maupun yang ada di tas kecil ini. Aku pun menelusuri seisi rumah untuk mencarinya. Mataku melihat seisi kamar. Namun, sejauh mata memandang, aku tidak dapat menemukannya. Kemudian, aku keluar kamar dan mengitari ruang tamu dan hasilnya juga nihil.
“Argh! Astaga! Astaga! Astaga! Sepertinya, aku lupa membelinya!”
Aku berteriak dengan nada yang tertahan. Aku tidak berani berteriak dengan keras. Bagaimanapun juga, ini adalah indekos di mana kenyamanan adalah nomor satu dan keributan yang disebabkan oleh satu orang dapat menganggu seluruh penghuni. Aku tidak mau, hanya karena satu teriakan aku terusir dari tempat ini. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik. Kemudian, aku menarik napas perlahan dan menenangkan diri. Kini, aku dapat berpikir dengan jernih.
“Oke, kalau di kamar gak ada dan di ruang tamu juga gak ada. Apa ada di teras ya? Hmm… coba deh, aku ke teras. Mungkin aja aku lupa masukin,” pikirku.
Aku segera mengangkat kakiku dan menuju ke teras. Lagi-lagi barang-barang itu tidak ada. Aku menghela napas lagi. Mau gak mau aku harus ke toko dan membelinya. Ku buka tas kecil dan mengambil dompet yang ada di dalamnya. Aku membuka dompet dan menemukan tiga lembar uang kertas berwarna merah.
“Cuma 300 ribu? Emang cukup, ya kalau aku kesana? Hah! Harus ambil uang di ATM.”
Aku mendengus kesal. Arah ATM dan toko barang yang aku inginkan berlawanan arah. Sebenarnya, aku bisa saja langsung menuju toko tanpa harus ke ATM terlebih dahulu tapi lebih baik selalu sedia uang tunai. Biasanya setiap toko memiliki mesin EDC tapi jika terjadi error di mesin tersebut maka semua menjadi rumit dan lebih menghabiskan waktu. Setelah melakukan beberapa pertimbangan, aku menuju ATM B** dan mengambil sepuluh lembar uang kertas berwarna merah. Setelah mendapatkan seluruh uang tersebut, aku memasukan semuanya ke dalam dompet dan menaruhnya di dalam tas kecil. Kemudian, aku menuju toko serba ada yang terletak berlawanan arah.
Setelah beberapa menit berjalan, aku sampai di toko ini. Aku melihat papan nama toko ini. Aku membaca tulisan yang terpampang di atas toko itu. Toko Sejati Serba Ada. Kemudian, aku masuk ke dalam toko dan memberi kertas kepada kasir. Kasir itu membaca tulisan itu perlahan. Ada keraguan dalam tatapan matanya. Dia membuka mulutnya dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Aku hanya terdiam dan memberikan tatapan tajam.
“Teh, serius mau beli ini? Gimana bawanya?” tanya kasir.