Malam itu, kalau Laura tidak mabuk, dia pasti tidak akan bertemu Ketua Mafia Psikopat itu. Bercinta dengannya sama sama seperti bercinta dengan Harimau liar! Tapi ... Laura menyukainya. Dia bahkan menikmati gaya bercinta seperti itu. "Jangan naif, Laura. Aku tau kamu juga menyukainya," ujar Tian. Laura mau menolak pun percuma. Karena dia tidak bisa membantah perkataan seorang Mafia. Atau dia akan mati. Di atas ranjang.
Malam ini rasanya begitu kelam. Wanita cantik itu menatap sepasang kekasih yang duduk di depannya dengan sedih. Mereka terlihat begitu mesra, tertawa dan sesekali mengecup satu sama lain.
'Seharusnya yang ada di sana itu aku,' pikirnya. Tapi dia tidak boleh berpikiran seperti itu. Mungkin ini adalah takdirnya. Takdir macam apa ini? Begitu buruk!
Wanita yang sedang cemburu itu bernama Laura Elle. Seorang Physical Therapy yang bekerja bersama para atlet di USA. Hidupnya bisa dibilang sangat enak dan lebih dari berkecukupan. Tapi nyatanya, hatinya tidak merasa bahagia melihat cinta pertamanya bercumbu di hadapannya.
Hari ini, alumni dari sekolah SMA-nya sedang mengadakan reuni. Mereka melakukan reuni di sebuah Bar mewah. Di negara bebas aturan seperti New York ini memang tidak pernah memikirkan baik dan buruknya hidup yang sedang kita jalani. Seperti Laura, dia adalah orang yang ahli dalam kesehatan fisik, tapi nyatanya dia malah lebih menyukai alkohol daripada air putih.
Di acara seperti ini seharusnya semua orang bersenang-senang, mendentingkan gelas satu sama lain dan menari bersama. Tapi berbeda dengan Laura yang malah memasang wajah murung dengan bibir yang memaksakan tersenyum dan berusaha untuk terlihat menikmati acara.
Kenapa?
Karena disana, diseberangnya duduk sepasang kekasih yang sedang tertawa bersama. Pria yang ada di samping wanita itu adalah cinta pertamanya. Namanya Hary. Namun, pria itu memilih bersama dengan teman lamanya yang bernama Leni. Huh ... Laura sedikit kesal mendengar nama itu karena huruf awal mereka sama. Tapi sikap Hary masih seperti biasanya. Tetap baik dan perhatian. Dan Laura juga harus bisa bersikap seperti biasanya. Walaupun itu tentu saja sulit untuknya.
"Ra, ngobrol dong! Kamu diem aja kayak patung," ujar salah satu teman yang duduk di samping Laura.
"Ehh, aku lagi pusing banget sama pekerjaan nih. Maaf yaa," jawab Laura sambil tersenyum kaku.
Laura diam lagi. Matanya tidak bisa lepas dari dua insan itu. 'Tidak boleh!' Laura mengingatkan diri sendiri. Akhirnya Laura harus menguatkan dirinya sampai acara selesai, menahan diri agar tidak membalikkan meja saking cemburunya.
Beberapa gelas alkohol tidak akan membuat Laura mabuk. Jadi dia dengan santai memasuki mobilnya tapi tangannya dihentikan membuatnya harus berbalik dan menatap orang yang menghentikannya.
"Laura," panggil Hary membuat jantung Laura terasa berhenti.
Mata bulat berwarna coklat terang itu menatap pria bermata lebih gelap. "Ada apa, Hary?" Laura menahan dorongan hari untuk memanggilnya 'sayang'. Tapi matanya bertabrakan dengan kekasihnya.
"Kamu mabuk?" tanyanya.
"Tidak," jawab Laura sambil menggeleng pelan.
"Kamu serius?"
"Aku baik-baik saja, Hary. Jangan khawatirkan aku." Laura tersenyum tipis dan berusaha untuk lepas darinya.
"Laura, kalau kamu mabuk, kamu bisa pulang bersama kami. Hary tidak minum alkohol." Wanita disamping Hary berkata dengan penuh pengertian.
Laura kembali tersenyum. "Aku baik-baik saja, Leni. Kalian tahu kalau aku kuat minum."
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati dijalan. Hubungi aku kalau sudah sampai rumah," ujar Hary sebelum mempersilahkan Laura memasuki mobilnya.
Laura melajukan mobilnya sampai siluet pria itu menghilang saat mobil berbelok. Dan saat itu pula Laura menangis. Bibirnya bergetar dengan tangan yang meremas stir kencang-kencang.
"Kenapa, hiks ..., kenapa selalu sesakit ini?" gumam Laura sambil sesegukan.
Sepanjang jalan, Laura menangis dan terus merutuki dirinya karena selalu merasakan hal seperti ini. Sampai akhirnya mobilnya terparkir di sebuah apartemen di tengah kota Manhattan.
"Hiks ... Cukup, Laura! Ini terakhir kalinya kamu menangis seperti ini! Memalukan!" ujar Laura, masih menangis di dalam mobil. Bagaimana bisa dia membenci wanita sebaik Leni? Dia tidak pantas untuk dibenci. Kemudian Laura keluar dari mobil dan masuk ke apartemennya.
Laura segera pergi mandi dan mencoba untuk mendinginkan kepalanya. Karena hari ini begitu melelahkan, Laura tertidur dalam waktu singkat sampai matahari terbit hampir tengah hari.
***
"Pak Tian, jadi bagaimana keputusan anda?"
Seorang pria bermata tajam dengan bibir tipis dan rahang yang lebar sedang menatap pria paruh baya di hadapannya dengan datar tanpa ekspresi.
"Keputusanku adalah tidak," jawabnya dengan suara berat.
"Apa? Kenapa?" tanya pria itu lagi, penuh ketidak percayaan.
Pria bernama Tian itu tersenyum miring sambil melirik sebuah kotak hitam di depannya. "Pak Lee, kau menawarkan benda murahan ini padaku? Aku bahkan punya yang lebih bagus lagi dan terbuat langsung di Rusia. Barang yang kau bawa ini masih buatan Asia. Spesifikasinya masih jauh dari barang milikku."
Benar, mereka sedang bernegosiasi mengenai senjata ilegal. Pria bermarga Lee ini sedang menawarkan barangnya untuk dijual pada Tian.
"Keparat! Apa kau merendahkanku?!" Lee mulai terbawa emosi sedangkan Tian masih memasang wajah tenang.
Para bodyguard di belakang masing-masing ketua sudah bersiap siaga, takut-takut kalau ada yang tiba-tiba menyerang bos mereka.
"Sudah 'kan? Kau membuang-buang waktuku. Aku pergi ke tempat ini dan hanya melihat barang murahanmu?" Tian berkata dengan nada sinis nan mengejek.
"Shit!! Keparat kau!!" Lee hampir loncat dan menyerang Tian, tapi bodyguard Tian segera menghentikannya dan membiarkan Tian pergi dari sana.
Sebastian Lou. Seorang pria dewasa berwajah serius, berbadan tinggi dan kokoh. Dia seorang mafia kelas atas yang sudah dikenal oleh para mafia besar yang ada di kota bahkan negara lain. Sosok besarnya benar-benar mendominasi semua orang di sekitar.
"Mau pergi kemana, Pak?" tanya pengawalnya..
"Pergi ke Bar," jawabnya.
"Anda ingin saya pesankan wanita, Pak?" tanyanya lagi.
"Boleh,"
Tian bukanlah orang munafik yang menutupi kebutuhan tubuhnya. Ditambah lagi seleranya dalam berhubungan badan.
Seperti sekarang, Tian tengah mencumbu bibir seorang wanita cantik di bawah kungkungannya. Tapi ketika Tian menaikkan level permainannya, wanita itu menjerit sambil menangis kencang.
Tian menghela nafas kasar sebelum memakai kembali bajunya dan membuka pintu.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Ben, bawa dia pulang. Dan beri bayaran sesuai yang dijanjikan," ucap Tian.
"Baik, Pak." Ben memanggil bodyguard yang lain untuk mengantarkan wanita yang ketakutan itu.
"Di tidak memuaskan anda, Pak?" tanya Ben.
"Seperti biasa saja," jawab Tian dengan ringan. Asap rokok meluncur mulus dari mulutnya. "Tapi aku akui, kalau dia bisa membuatku mengeras," lanjutnya tapi tidak ada rasa kepuasan di dalam dirinya.
"Baiklah, nanti saya coba carikan yang lebih baik lagi, Pak," ucap Ben dengan sopan.
"Ohh, ayolah Ben ... Tidak perlu memusingkan itu."
"Maaf, Pak."
"Apa jadwal selanjutnya?" tanya Tian.
"Ada masalah di salah satu Gudang bir di dekat Empire State Building. Seseorang mencuri berkas list bir kita," jelas Ben.
Tian mengerutkan dahinya. "Bagaimana bisa seseorang mengambilnya? Bukankah gudang itu dijaga ketat?"
"Kami sedang menyelidikinya, Pak," ucap Ben.
"Baiklah, ayo kita pulang dan urus itu besok."
***
"Astaga! Jam berapa ini?" panik Laura ketika bangun dari tidurnya. Segera dia mengambil ponselnya dan melihat kalau jam sudah menunjukkan pukul 11 siang.
Laura meringis pelan saat melihat puluhan panggilan dari Hary dan teman satu tempat kerjanya. Laura segera menghubungi nomor temannya.
[Ra! Kamu kemana saja? Kenapa baru angkat teleponku?] tanya seorang wanita di seberang telepon dengan panik.
"Ohh, Mia. Maafkan aku! Aku kesiangan," jawab Laura dengan penuh sesal.
[Ohh, baiklah. Aku khawatir ada apa-apa denganmu. Sejak semalam kamu tidak ada kabar.] Mia berkata dengan jujur.
"Maafkan aku," gumam Laura.
[Syukurlah kamu baik-baik saja, kamu mau berangkat sekarang? Aku bisa mengizinkanmu pada coach,] ucap Mia sambil menawarkan bantuan. Wanita itu selalu begitu. Sangat baik sampai Laura khawatir wanita itu terhasut pengaruh buruk orang.
"Aku akan pergi. Tolong beritahu coach kalau aku terlambat." Laura menutup teleponnya. Segera dia bersiap-siap untuk pergi ke lapangan sepak bola karena kali ini Laura diharuskan membantu para Physio di tempat latihan para atlet sepak bola.
-
2 Be Con
Bab 1 Cinta Adalah Fakta yang Menyakitkan
05/01/2023
Bab 2 Bantu Aku Melupakannya
05/01/2023
Bab 3 Malam Penyiksaan yang Penuh Nikmat
05/01/2023
Bab 4 Luka Disekujur Tubuh
05/01/2023
Bab 5 Bicara Berdua
05/01/2023
Bab 6 Makan Siang Bersama
05/01/2023
Bab 7 Terulang Kembali [18+]
05/01/2023
Bab 8 Rencana Kabur
05/01/2023
Bab 9 Hatinya Sudah Ada yang Punya
05/01/2023
Bab 10 Kabur (Lagi)
05/01/2023
Buku lain oleh Kuki Kukies
Selebihnya