Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Menikah Dengan Teman CEO Kakakku

Menikah Dengan Teman CEO Kakakku

diraaudiyaa

5.0
Komentar
9
Penayangan
5
Bab

Chika Zara Prasetyo, kehilangan kakak kandungnya selama sepuluh tahun. Mereka kembali dipertemukan dengan cara unik. Hidupnya berubah drastis, namun tidak membuat dia lupa tempat pulang. Berasal dari desa, Chika bekerja demi memperbaiki kehidupan. Kehadiran Gilang, kakaknya merupakan satu hal yang paling dia syukuri. Gilang memberikan segala hal yang dia butuhkan. Hingga suatu waktu, seorang pria yang menjadi teman sejati kakaknya melamar dirinya. Mampukah Chika membuka hati? Bisakah Biantara Hamish Dzakwan meyakinkan Chika untuk menjadi kekasihnya? Bagaimana kisah cinta Chika yang menikahi teman kakak nya sendiri?

Bab 1 Dua Sahabat

"San! Ayo berangkat!"

"Iya, tunggu sebentar!" jawab Santi yang memang terburu-buru.

"Anak ini!" omel Chika.

Chika dan Santi, dua perempuan yang sudah cukup lama menjalin hubungan persahabatan. Mereka kuliah di tempat yang sama. Hampir setiap hari berangkat dan pulang bareng, kecuali jika salah satunya ada kelas tambahan atau acara lain. Maka yang satu harus mengalah tidak menggunakan motor.

"Yuk!" ajak Santi lembut. Dia tahu, Chika sudah marah padanya. Perempuan itu langsung naik di jok belakang.

Tanpa banyak bicara, Chika menjalankan motor yang mereka gunakan untuk sampai di kampus.

Macet, itu yang kini mereka hadapi. Hari Senin, adalah waktu di mana banyak orang yang juga menggunakan jalan raya. Dari para pekerja, mahasiswa, ibu-ibu ke pasar hingga anak sekolah.

"Kapan sih lo bisa bangun pagi meskipun harus ngerjain tugas? Udah gitu jangan pacaran terus! Ingat, San! Kita di sini kuliah buat kejar cita-cita, bukan buat kejar laki-laki." Ocehan Chika terdengar lagi. Santi tidak menjawab. Dia memilih diam, membenarkan setiap ucapan sahabat nya.

Waktu berlalu, mereka untungnya tepat waktu di kampus. Halaman parkir terlihat sepi, hanya ada satpam dan beberapa orang yang juga sedang memarkirkan kendaraan mereka.

"Chik," panggil Santi.

"Kenapa?"

"Maaf ya. Besok-besok kalau gue kesiangan dan lo mau berangkat, duluan aja. Gue bisa pakai angkutan umum."

"Lo ngomong apa dah? Udah ayok masuk!"

Sudah sering kejadian ini terjadi. Santi mencoba mengerti Chika yang memang merupakan anak yang sangatlah disiplin. Begitupun Chika yang sangat paham jika Santi tidak bisa tidur terlalu larut karena akan membuatnya bangun siang.

"Gue kali beneran serius!" protes Santi yang merasa Chika tak pernah menggubrisnya.

"Minta sama Samudra sana! Cowok begitu dipertahankan!"

"Bukan soal itu. Tapi ya, semalam gue galau lagi karena dia," ucap Santi. Chika hanya tersenyum getir.

"Itulah kenapa gue mau fokus kuliah dan kerja. Cowok tuh gitu, dikasih hati minta jantung. Lo udah baik banget ke dia, terus dia dengan seenaknya? Pikir dua kali, San! Gue nggak mau lu kenapa-kenapa."

"Nanti gue pikirkan lagi. Gue lagi cari bukti yang akurat biar bisa lepas dari jerat cinta Samudra." Santi berkata sambil terkekeh.

"Yang penting gue udah ingatkan!"

Kedua masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana juga sudah banyak mahasiswa lain yang juga ikut kelas bisnis yang mereka ambil.

Kini, mereka sudah duduk di semester enam. Chika akan segera mengambil magang, bahkan dia juga sudah menyiapkan amunisi untuk menghadapi skripsi. Sementara Santi belum. Dia harus mengejar nilai di beberapa mata kuliah, agar dirinya pun bisa ikut magang bersama teman seangkatannya.

***

Matahari mulai merangkak naik. Kedua sahabat dan mahasiswa lain melangkah ke kantin setelah dosen mereka keluar dari ruangan.

"Gila ya, tugas gue numpuk banget!" keluh Santi. Sayangnya hal itu tak digubris oleh Chika. Rupanya Chika sudah asyik memilih menu makan siangnya, dia ikut memilih.

"Chik, bantuin!" rengeknya ketika mereka telah menemukan tempat duduk.

"Iya. Asal janji putus!" kata Chika sambil terkekeh membuat Santi memberengut.

"Hai, Baby!"

Seorang pria muncul di tengah-tengah keheningan mereka. Chika tak menjawab, bahkan tak melirik siapa yang datang. Tentu saja kekasih dari sahabatnya itu.

"Sudah makan?" tanya Santi pada Samudra.

"Sudah. Kamu makan yang banyak ya!" ucapnya sambil mengusap lembut kepala Santi. Perempuan itu tersenyum. Samudra memainkan ponselnya. Mereka tidak banyak berinteraksi lagi.

"Chik, udah napa marahnya!" kata Sinta.

"Gue kagak marah!" jawabnya acuh.

"Kalian ada masalah?" tanya Samudra.

"Nggak perlu kamu ikut campur ya." Santi yang menjawab.

"Aku hanya sekedar membantu. Kalian itu kan berteman sejak masih remaja, nggak lucu dong kalau bertengkar."

"Justru, nggak berantem nggak seru, iya kan, San?" jawab Chika. Santi mengangguk. Samudra hanya diam, tak lagi menjawab ucapan Chika.

***

Di sebuah tempat, terlihat seorang pria sedang memperhatikan sebuah foto. Foto figura yang hampir usang itu diusapnya lembut. Dia memperhatikan setiap detailnya, mengingat kenangan manis bersama dengan orang yang ada di foto itu. Foto sepasang anak kecil yang tengah bermain, mereka tertawa bersama seakan dunia hanya milik berdua.

"Kapan aku bisa bertemu denganmu?" ucapnya lirih.

Ruangan itu hening, dirinya sedang tidak banyak melakukan pekerjaan. Perasaannya menggebu ingin bertemu, namun semesta masih belum memberikan jawaban.

"Sebenarnya, kamu di mana? Aku rindu. Sangat rindu!" ucapnya lirih.

Sewindu sudah mereka tidak bertemu. Banyak hal yang terjadi, sehingga mereka harus berpisah. Hanya foto itu yang ikut serta bersamanya di kota baru. Foto yang kini ada di meja kerjanya, foto yang kerap kali membuat hatinya tenang saat melihatnya.

"Pak, sudah ditunggu di ruang meeting," kata perempuan yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.

"Maaf, saya sudah ketuk pintu, namun bapak tidak dengar. Saya pikir bapak tertidur," katanya lagi. Khawatir bosnya marah.

"Baik, saya segera ke sana. Tolong siapkan berkasnya ya!" jawabnya.

Dia tidak mungkin memarahi sang sekretaris jika itu memang salahnya. Salahnya melamun sendiri, terbayang perempuan yang dulu selalu ada untuknya. Tak lama, langkah kakinya diayunkan menuju ruang meeting. Sudah ada beberapa staff yang duduk. Mereka semua berdiri menyambut sang penguasa kantor.

"Maaf saya datang terlambat!"

"Tidak masalah, Pak!" jawab salah seorang dari staffnya. Mereka pun langsung memulai meeting yang seharusnya sudah berjalan lima belas menit itu.

"Silahkan dimulai, Romi!" perintahnya pada seorang manager yang dia percaya. Yang diperintahkan pun langsung memulai meeting.

Satu per satu staff khusus memberikan laporan bulanan. Dari mulai pemasaran, keuangan, hingga gudang. Sesekali dia terlihat memijat keningnya, tangan kanannya menulis hal-hal penting yang akan menjadi bahan untuk dia kuliti pada staff uang bersangkutan. Meskipun sekretarisnya sudah lebih banyak mencatat.

"Sudah? Apa ada lagi?" Semua terdiam, menandakan tidak ada lagi yang akan memberikan laporan. Dia pun berdiri, agar bisa melihat dengan jelas raut wajah orang kepercayaannya.

"Saya sangat prihatin pada kalian." Dia mulai berkata. Semua orang diam, menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikeluarkan dari mulut sang CEO.

"Apa saja yang kalian kerjakan? Apa yang kalian lakukan sehingga omzet penjualan menurun drastis? Hal ini sudah saya peringatkan sejak dua minggu lalu. Benar Pak Reza?" Seseorang bernama Reza itu mengangguk.

"Lalu, saya harus bagaimana jika kita mengalami penurunan sebesar ini? Kalian mau saya gaji dengan apa?"

Hening. Tidak ada berani menjawab. Semua persoalan sebenarnya telah dirinya bantu. Dia bahkan turun tangan ke ruang produksi agar mempercepat proses produksi barang. Namun, semua belum cukup.

"Saya mau tukar pekerjaan kalian!" ucapnya seketika.

Semua tercengang. Hanya penukaran, bukan pergantian, apalagi pemecatan karyawan. Semua masih membisu. Ingin menolak, namun apa daya. Bos pastilah akan marah. Dan terjadilah pertukaran staff. Mereka saling melirik dan memberikan berkas satu sama lain. Ragu, tentu saja hinggap di hati mereka. Bayangkan, manager keuangan memegang produksi, produksi pindah ke bagian pemasaran, pemasaran pindah ke keuangan dan seterusnya.

"Bagaimana? Ini lebih baik daripada kalian saya pecat, lalu mengganti posisi kalian dengan orang baru bukan?" ucapnya sambil memberikan senyuman yang sungguh sangat manis.

Mereka hanya tersenyum, dan beberapa terpaksa setuju. Tidak ada yang bisa mengubah jalan pikiran dan kehendak dirinya. Dia bosnya, dia yang punya kuasa.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku