[SISTER COMPLEX] "Dicintai begitu gila oleh kakak sulung adalah nasib naas bagi Cecillia." __ Aku pernah berharap untuk dicintai keluargaku. Tetapi aku tidak pernah berharap dicintai begitu gila oleh kakak sulungku yang setengah waras. "Kau milikku, Cecil." "Aku milik diriku sendiri!" Carlo menggeleng. "Kau milikku sejak dalam kandungan. Kau terlahir untuk ditakdirkan menjadi pasanganku. Aku mencintaimu dengan segenap jiwaku." Jiwamu sudah sakit, Carlo. "Jangan bodoh. Kau adalah kembaranku. Bukan milikmu," tegasku sudah berulang kali mengatakannya sampai terasa bosan.
Hening. Ruang kamar bak princess itu tampak hening dan dingin, hingga kemudian suara pintu dibuka bagaikan alarm kebakaran yang berbunyi di dalam kepala gadis itu, membuatnya semakin gemetaran memeluk diri di lantai dingin. Menyembunyikan wajah di lekukan lengannya yang bertumpu di atas lutut. Mencoba menahan detak jantungnya yang bertambah keras seiring mendengar derap langkah sepatu kulit menapaki lantai marmer kian dekat.
Sosok pria itu berhenti tepat di sampingnya. Tatapan tajamnya melihat kondisi tak berdaya gadis yang sedang meringkuk ini sampai helaan napas lolos dari celah bibir sebelum mengatakan, "waktunya makan siang, sweetheart." Suara husky memecah keheningan kamar, tanpa ada balasan apapun dari gadis di bawah lantai itu.
"Kudengar dari pelayan, kau tidak makan sejak pagi. Apa kau ingin sakit? Ayo makan... Aku membuatkan makanan kesukaanmu," ajak pria itu dengan lembut.
Namun si gadis masih setia membisu. Tak bergerak apalagi menunjukkan wajahnya. "Makan sendiri atau aku suapi?" tanyanya. Bukannya pergi dan cukup meletakkan nampan di meja, pria bernama Carlo itu justru duduk di samping. Bahasa tubuhnya seolah mengatakan tidak akan pergi sebelum melihat gadis ini memakan makanannya sampai habis.
"Apakah aku bicara sendiri di sini?" sindirnya. "Tunjukan wajahmu padaku," perintah pria itu.
Tetap saja, tidak ada reaksi dari si gadis. Gadis yang selalu dia panggil sweetheart itu hanya diam.
"Jangan menguji kesabaranku," ujar Carlo masih sabar, sembari mengelus surai madu gadis itu yang tergerai bebas, berusaha menahan diri agar tangannya tidak menjambak rambut indah ini.
"Apa kau menjadi tuli?" Bicaranya mulai kasar, dan kesabaran Carlo pun runtuh ketika akhirnya ia menarik segenggam rambut gadis ini lalu dengan kuat. Sehingga terpampang lah wajah muram yang tampak menyedihkan, di mana lingkaran mata panda menghiasi kulit pucatnya, pipi tirus, bibir kering yang meringis kesakitan memegangi belakang kepalanya.
Dilihat dari sisi mana pun, gadis itu tidak baik-baik saja.
"Makan sekarang atau aku yang akan memakanmu?" ancam Carlo berbisik serak.
Carlo kemudian mendekat ke telinganya. "Aku ingin mendengar suaramu, baby girl," tuntut pria itu.
"A-aku akan makan sendiri..." Menyerah, dia ingin selamat.
Jawabannya mengembangkan senyum gembira di bibir Carlo. "Aku senang mendengarnya. Suaramu satu-satunya yang terindah," puji Carlo. Ia menepuk kepala si gadis dengan bangga.
Lalu perlahan-lahan tangan ringkih gadis itu meraih nampan makanan di lantai, menyeretnya sampai di depan kakinya sendiri.
Cecilia namanya. Sudah lapar sejak pagi namun dia tahan sebagai bentuk demo terhadap perlakuan Carlo yang semena-mena padanya selama beberapa hari ini.
Namun, bukan mendapat perhatian khusus, malah dia tersudutkan oleh ancaman Carlo. Pria ini sangat berbahaya seperti ular berbisa. Setiap kali berusaha menjauh, Carlo selalu bisa menjeratnya dengan kuat.
Suapan pertama masuk ke dalam mulut, sambil diperhatikan tak jemu-jemu oleh mata elang Carlo. Hingga berhenti di suapan ketiga. Cecilia tidak bisa melanjutkan makannya lagi.
"Kenapa? Apa makanannya tidak enak?" tanya Carlo.
Cecilia menggeleng tanpa suara. Dia mendorong perlahan nampan itu menjauh. Menunjukkan bahwa ia sudah tak ingin makan lagi. Napsu makannya sudah lenyap di suapan ketiga. Sebab amarah dan benci masih menguasai dada Cecilia terhadap pria ini.
Dia ingin Carlo pergi. Namun lidahnya kelu untuk meminta hal remeh itu.
"Kau harus menghabiskannya sekarang. Aku tidak suka melihatmu makan tidak sampai habis. Lihatlah tubuhmu jadi kurus kering begini," protes Carlo.
Memangnya siapa yang membuat tubuhnya menyusut seperti ini? Cecilia membatin.
"Aku ingin jalan-jalan ke luar," pinta Cecilia, dibalas gelengan Carlo.
"Tidak boleh. Ingat apa yang kau lakukan tempo hari? Kau pergi bersama pria sialan itu untuk membantumu kabur dari sini. Jangan bermimpi tentang dunia luar lagi, baby girl. Duniamu hanya aku," tegas Carlo menekankan kalimat akhir.
Dengan wajah termenung pucat, Cecilia berkata lemah. "Kau bukan duniaku, Carlo. Kau adalah kakakku." Singgungan yang cukup berani. Telak bagai menampar kenyataan bagaimana hubungan mereka sebenarnya.
"Buka mulutmu," perintah Carlo menyuapinya. Memaksa. Tak pedulikan perkataan Cecilia barusan.
Cecilia memalingkan wajah, menjauh dari sendok yang sudah di depan bibirnya.
"Aku ingin melihatmu makan di depan mataku," kata Carlo menegaskan dengan halus. Namun dia tidak mendapatkan balasan hingga ketika menolehkan dagunya, sentakan tiba-tiba langsung membuang sendok tersebut, melayang jatuh ke lantai. Sontak Cecilia tertegun atas perbuatan refleknya.
"Cecilia." Marah. Jika sudah menyebut namanya, menandakan pria itu marah. Cecilia jadi merasa bersalah, tapi... Mengingat bagaimana perlakuan Carlo kepadanya, dia pikir tidak harus meminta maaf atas kejadian tak disengaja ini.
Tidak akan pernah dia meminta maaf pada pria ini! Cecilia sudah bersumpah pada dirinya sendiri.
"Sendoknya sudah kotor. Ah, bagaimana kau akan makan?" kata Carlo, masih dengan nada yang sabar. Namun terdengar berbahaya bagi Cecilia.
Cecilia tertunduk. Juntaian rambutnya menghalau setengah wajah yang memucat. Tertunduk takut untuk melihat bagaimana ekspresi wajah Carlo sekarang. Lalu, dengan inisiatifnya, ia mengambil sejumput nasi dengan tangan kosong yang gemetaran dan memakannya rakus.
Aksi yang mengundang kegeraman di muka Carlo. "Hentikan!" bentak Carlo, tak diindahkan gadis itu. Cecilia terlihat jorok dengan cara makan seperti orang tak beretika. Membuat Carlo memicing benci, lalu mendaratkan cengkraman kuat di pergelangan Cecilia yang langsung berhenti makan.
Carlo kemudian menekan pipi Cecilia agar mendongak menatap ke matanya. Mata yang memelotot tajam itu terasa menusuk hati Cecilia saat melihatnya. "Aku bilang berhenti! Apa kau tidak dengar?" bentak Carlo geram. Menyeramkan. Cecilia takut, sampai pelupuk matanya pun tergenangi air mata.
Tiba-tiba dering ponsel berbunyi. Menyelamatkan Cecilia dari cengkraman tangan Carlo. Sehingga pria itu memilih menjawab panggilan telepon alih-alih meneruskan kemarahan padanya. Cecilia tertunduk dalam. Pipinya memerah, pergelangan tangannya juga menambah ruam di kulit putihnya.
"Tunggu aku nanti malam, baby girl," bisik Carlo. Deep voicenya sarat makna. Cecilia sudah tahu akan seperti apa nasibnya malam ini.
Setelah mengatakan itu Carlo pergi. Tak lupa mengunci pintu kamarnya dari luar. Memenjarakan Cecilia untuk hari ke seratus.
Memperhatikan dari jendela kamar lantai dua, Cecilia melihat pria itu memasuki Maybach hitamnya kemudian melaju keluar melewati gerbang mansion. Inilah saat terbaik bagi Cecilia menjalankan aksinya, setelah berhari-hari menyusun rencana secara diam-diam di otaknya.
Dia bergegas menuju pintu kamar. Mengeluarkan jepit rambut yang disembunyikannya dari balik baju. Mengotak-atik lubang kunci hingga akhirnya terbuka tanpa merusak pintunya. Bersemringah senang.
Perlahan-lahan dia melongokkan kepalanya ke celah pintu. Melihat situasi di dalam rumah. Terlihat sepi tanpa ada pelayan yang berkeliaran.
"Bagus!"
Lalu ia menyelinap keluar kamar. Berlari di lorong mansion yang luas dengan kaki telanjang. Hapal dengan denah mansion ini, dia pergi bukan ke pintu utama melainkan ke taman belakang.
Rencananya kabur berjalan mulus setelah melangkahi pintu keluar dari sudut rumah. Ia pun berlari menyebrangi taman lalu masuk ke hutan.
***
Buku lain oleh Elga Cadistira dR
Selebihnya