Pinat berpacaran dengan dua pria hot sekaligus, yang keduanya adalah seorang hyper. Salah satunya adalah seorang fotografer dan yang satunya lagi adalah seorang dokter. Pinat menyembunyikan kenyataan bahwa ia memiliki dua pacar. Namun apa jadinya jika kedua pacarnya itu di pertemukan dalam sebuah bisnis yang juga melibatkan Pinat? Harus bersikap bagaimana kah Pinat?
"Sekali lagi babe, ini foto terakhir." Kalindra berteriak pada kekasihnya yang tengah berpose, memberi aba-aba agar mengganti posenya.
Cekrek!
"Well done babe, kerja bagus hari ini."
Pinat membalas ucapan Kalindra dengan anggukan, tubuhnya tidak bisa di ajak berkompromi untuk sekedar membalas pelukan dari kekasihnya sekaligus fotografernya. "You too babe, aku pulang duluan ya. Hari ini lumayan menguras tenaga."
Kalindra berhenti mengendus-endus leher kekasihnya, ia mendongakkan kepalanya menatap ke netra Pinat yang tampak redup, belum lagi kantong matanya yang kian membengkak sudah cukup menggambarkan betapa lelahnya wanitanya.
"Aku antar ya?" Kalindra sudah melepas kekasih keduanya-kameranya- dari lehernya, bersiap-siap untuk mengantar kekasihnya pulang ke apartemennya.
Pinat menggeleng, "Big no! Aku bisa pulang sendiri, lagi pula kamu masih ada satu sesi bareng Bianca 'kan habis ini?"
Kalindra mengangguk lesu, laki-laki dengan surai keperakan itu menatap memohon kepada wanita yang sangat penting baginya. "Tapi babe--"
"No, baby," dengan memaksakan diri Pinat mengangkat tangannya untuk mengelus pipi kemerahan bayi besarnya. "Aku juga butuh untuk istirahat, satu sesimu bareng Bianca sudah cukup untuk memulihkan tenagaku untuk beberapa ronde."
Sedikit berbinar, Kalindra menatap Pinat dengan puppy eyes. "U promise?"
Pinat mengangguk, menarik bibirnya untuk membentuk bulan sabit. "Yeah, I promise babe," bisiknya sensual tidak lupa untuk memberi gigitan di telinga Kalindra yang sudah semerah tomat.
Kalindra menarik tengkuk Pinat, menempelkan bibirnya dengan bibir penuh dan kenyal kekasihnya. Kalindra meraup kasar, sesekali mengigit bibir bawah Pinat untuk mencari celah.
"Ah,"
Dengan gesit Kalindra memasukkan lidahnya kedalam mulut Pinat, saling beradu, saling berbagi kehangatan. Bertukar saliva dan mengabsen satu persatu gigi Pinat. Sementara tangannya mulai naik meraba-raba pinggang Pinat.
Pinat yang tersadar segera mendorong dada Kalindra, ia membalas tatapan tajam Kalindra dengan mengusap bibir basah Kalindra. "Tahan babe, aku benar-benar butuh istirahat."
Nafas Kalindra terengah, sementara matanya penuh akan kilatan nafsu. 'Tahan atau tidak sama sekali Kal, Pinat butuh istirahat setidaknya untuk beberapa menit.'
Dengan terpaksa Kalindra mengangguk, "See U at the 6PM."
"See U baby boy."
****
Pinat menarik nafas lega, selain sudah beberapa minggu dengan jam tidur yang terbilang sedikit, pekerjaannya sebagai model akhir-akhir ini juga benar-benar sangat menguras tenaganya. Belum lagi bayi besarnya yang harus ia beri nutrisi dan vitamin setiap malam. Hari ini ketika jobnya tidak terlalu padat, tentu tidak akan Pinat sia-siakan ia berniat menghabiskan waktunya seharian bersama dengan ranjang hangatnya.
"Aw," Pinat berdecak kesal, wanita kelahiran Alabama itu menatap tajam pada pria bertato yang baru saja menabrak bahunya keras. "Punya mata dipakai."
Pria bertato itu melirik Pinat sebentar, mengamati pakaian wanita itu yang terbilang sangat ketat, mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya setelah memberi kode pada bawahannya yang rupanya berjumlah kisaran lima orang yang juga bertato yang rupanya sudah berdiri mengelilingi Pinat.
Pinat membeku, sedikit kaget dengan tatapan merendahkan para laki-laki itu. Tidak ada yang pernah menatap Pinatra Sèntra dengan tatapan seperti itu-kecuali enam laki-laki barusan.
Menggelengkan kepalanya, Pinat mengintip ke arah gang tempat laki-laki bertato itu keluar. Kumuh dan gelap, tapi Pinat yakin beberapa saat setelah ke-enam laki-laki itu pergi, Pinat mendengar suara rintihan.
Dengan rasa penasaran dan sedikit jijik, Pinat memberanikan diri untuk mengecek kedalam gang tersebut. Semakin mendekati ujung, semakin jelas pula suara rintihan itu. Semakin bersemangat Pinat mencari asal suara itu, entah menghilang kemana rasa lelahnya tadi.
Perasaan manusiawinya meyakinkan dirinya bahwa ke-enam laki-laki tadi pastilah sudah menghajar seseorang.
And gotcha!
Seorang pria dewasa dengan tubuh babak belur yang tengah bersandar di tembok kumuh gang samping kantornya. Dengan tergesa Pinat menghampiri laki-laki itu. "Are you okay?"
Pria itu mengangkat kepalanya, netra hijaunya menatap sayu Pinat. "Get out now or I will not let you go!"
Pinat speechless mendengar suara serak nan berat dari pria itu. Sesuatu manusiawi yang berada di dalam tubuhnya memberi sinyal untuk meninggalkan pria itu-memberi sinyal tanda bahaya. Namun sesuatu di dalam hati nuraninya menolak untuk pergi.
"No! Mirror! Look at your face, you bloody!" Pinat merangkul pria itu, berusaha mengangkat tubuh pria itu untuk berdiri. "Bangun, aku antar kamu ke rumah sakit."
"Pergi!" Pria itu menepis kasar tangan Pinat yang berada di bahunya. "atau kamu benar-benar tidak akan pernah saya lepaskan."
"Ya! Kurung aku, ikat aku! Lakukan semua apa yang mau kau lakukan!!" Pinat balas membentak, "Tapi lakukan itu nanti, biarkan aku membawamu ke rumah sakit, setidaknya dengan begitu aku bisa memuaskan hasrat yang tersisa di hati nurani ku."
Suara Pinat berubah sendu di akhir kalimatnya, membuat pria itu menatap netra kecokelatan Pinat yang tampak redup. Seolah-olah perempuan di hadapannya ini menanggung segala kemalangan di dunia ini. "Saya benar-benar tidak akan pernah membiarkanmu kabur lagi."
Alis Pinat saling menyatu, dengan kening berkerut perempuan itu menatap bingung ke arah pria di hadapannya. "Apa? Coba ulangi?"
"Nevermind, katanya mau membantu saya."
Pinat menggelengkan kepalanya, mengusir keinginan untuk membawa pria ini ke ranjangnya-- eh, ranjang rumah sakit maksudnya. "Yeah, berdirilah mobilku ada di ujung gang itu."
*****
"Ngomong-ngomong bisa aku tau nama kamu?" Pinat memilih memecah keheningan setelah beberapa menit suasana di dalam mobilnya berisi kecanggungan.
"Yalfa,"
"Oh," Pinat terdiam, sedikit kaget dengan pria yang mengaku bernama Yalfa yang seketika membalas pertanyaannya. "Maybe U already know me, so.."
"No, saya sama sekali belum mengenalmu. Kalau tidak keberatan mungkin kamu bisa memberi tau aku namamu,"
Walau agak parau, namun Pinat masih bisa menangkap dengan jelas apa yang laki-laki itu ucapkan. "Pinatra Sèntra, everybody call me Pinat."
"Wow, nama yang unik."
"Yeah, everybody juga bilang begitu."
Hening lagi. Pinat yang merasa sudah berhasil memecah keheningan akhirnya memilih diam saja. Rasa lelahnya tiba-tiba menyerangnya lagi, membuat Pinat tidak fokus menyetir untuk beberapa saat yang rupanya malah berakibat buruk bagi kedua orang dua dalam mobil itu.
"Sshh,"
Yalfa mendesis, selain rasa sakit di sekujur tubuhnya. Sesuatu jauh lebih sakit di bawah sana. "Hentikan mobilnya, biar saya yang bawa!" Tanpa sadar Yalfa mendorong Pinat dari atas tubuhnya.
'Sial, bagaimana bisa aku lupa memasang sealtbet.'
Pinat menggerutu dalam hati, "Sorry, are you okay?"
"No, my lips are numb." Yalfa menatap Pijat dengan tatapan berhasrat, ia bergumam dengan suara parau dan berat.
"Can you bite it for me?" bisik Yalfa sensual.
Dan entah siapa yang memulai duluan, keduanya sudah saling beradu lidah setelah dengan gesit mematikan mesin mobil.
Bab 1 1: Pertemuan
16/07/2022