Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
28
Penayangan
2
Bab

Pertemuan singkat di halte bus justru malah membuat Nindy Bagaskara dan Abimanyu Alexander terlibat dalam sebuah perjanjian yang dibuat keduanya. Selama perjanjian masih berlaku, keduanya tinggal bersama di sebuah apartemen milik Abimanyu. Seiring berjalannya waktu, cinta pun tumbuh diantara keduanya, tapi keduanya justru memilih untuk menyembunyikan perasaan ini karena terhalang berbagai hal. Akankah kisah mereka berakhir bahagia?

Bab 1 Awal

"Gak! Aku gak mau dan aku gak setuju! Aku gak mau menikah selain sama Rangga!" tegas Nindy. Keputusannya tak juga berubah sejak tadi pagi dan membuat permasalahan jadi jauh lebih rumit.

Brakk!!

Juna Bagaskara memukul meja di depannya hingga membuat semua orang yang ada di ruang keluarga tersentak, terlebih lagi Nindy yang berada disampingnya.

"Pria itu bahkan sudah pergi meninggalkan kamu, Nindy! Dia pergi setelah tahu kamu sedang hamil anaknya!" Suara tinggi yang diucapkan oleh Juna berhasil membuat Nindy menundukkan kepalanya.

Hari menjelang sore, tapi tak kunjung ditemukan titik terang untuk permasalahan keluarga Bagaskara, terutamanya Nindy Bagaskara, putri bungsu dari Juna dan Jihan kini sedang mengandung anak kekasihnya yang sudah pergi entah ke mana. Padahal baru satu minggu yang lalu Nindy merayakan pesta ulang tahunnya yang ke 20 dan mengatakan jika ia ingin menjadi seorang model profesional, tapi hari ini seluruh anggota keluarga di buat kecewa dengan apa yang sudah terjadi.

Jihan yang sedari tadi hanya diam tanpa berucap apa pun tiba-tiba bangkit dari duduknya dan pergi ke lantai dua. Ekor mata Juna melihat jika saat ini Jihan masuk ke kamar Nindy cukup lama dan entah apa yang sedang dilakukannya di sana sampai akhirnya terdengar suara koper yang menuruni anak tangga. Seluruh mata tertuju pada Jihan yang saat ini sedang menyeret satu koper besar berwarna hitam lalu diberikannya pada Nindy.

"Pergi kamu dari sini," usir Jihan dengan suaranya yang datar.

"Mami?" Farel, anak pertama dari keluarga Bagaskara langsung berdiri sambil menatap Jihan yang seperti tak sudi untuk melihat wajah Nindy.

"A-aku h-harus pergi k-ke mana?" tanya Nindy dengan terbata-bata. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi Nindy masih bisa menahan air matanya.

"Terserah. Pergi sesuka hatimu. Kamu bukan lagi anggota keluarga kami," jawab Jihan sembari menatap tajam pada Nindy.

"Tidak, Jihan! Nindy tidak bisa pergi dari rumah ini!" larang Juna.

Kini tatapan mata Jihan beralih menatap Juna. Pria berusia 40 tahun itu kini terlihat sangat bingung dan kaget mendengar pengusiran yang dilakukan oleh Jihan. Yah ... Memang benar jika Juna marah dengan apa yang sudah terjadi pada Nindy. Kecerobohan akibat dari pergaulan bebas putrinya yang tidak pernah ia pantau berakhir dengan tragis.

"Lalu, bagaimana kita menjelaskan pada mama dan papamu tentang apa yang terjadi pada Nindy, hah? Kamu pikir orang tua kamu bisa bersikap baik-baik saja? Enggak, Mas! Dia pasti bakal ngomong lebih jahat dari aku! Jadi, sebelum orang tua kamu tau dan orang lain tau, lebih baik kita usir Nindy dari sini. Pernikahan tidak akan menjadi solusi, Mas. Orang-orang akan tau jika Nindy hamil sebelum menikah, lagipula pria mana yang mau menikah dengan wanita bekas dipakai seperti Nindy?" Jihan mendelik. Ucapannya yang begitu mengiris hati siapa pun orang yang mendengarnya berhasil membuat semua yang ada di ruang keluarga kehilangan kata-kata untuk menyangkal sebuah fakta yang diutarakan oleh Jihan. Termasuk Nindy, sejak ibunya mulai berbicara ia lebih memilih untuk diam karena melawan ucapannya tak akan menyelesaikan permasalahan yang ada.

Nindy bangkit dari duduknya. Juna, Farel, dan Raka menatap apa yang akan dilakukan oleh Nindy saat ini. Tangannya meraih koper yang sudah diberikan oleh Jihan.

"Aku pergi dari sini, Pa," putusnya tanpa merasa ragu sedikit pun.

"Enggak, Nindy! Meski kamu membuat kesalahan, tapi bukan berarti kamu harus pergi dari rumah ini!" ucap Farel yang sejak tadi sudah menentang keputusan Jihan untuk mengusir Nindy.

Raka menepuk pundak kakaknya lalu tertawa. "Dia ini diibaratkan sampah. Kalau sudah menjadi sampah, bukankah kita harus membuangnya, Kak?" timpal Raka.

"Jaga ucapanmu, Raka! Bagaimana pun juga Nindy itu adik kamu!" sosor Juna.

"Apa yang diucapkan oleh Raka benar, sampah memang sudah seharusnya kita buang. Jika terus disimpan, maka baunya akan menyebar ke mana-mana dan tentu kamu tidak ingin jika ada sampah di rumah ini, kan?" sahut Jihan yang mendukung ucapan Raka.

***

Beginilah nasib Nindy saat ini, berjalan sendirian di tengah keramaian ibukota sembari menyeret kopernya yang berat. Tanpa perlawanan apa pun, Nindy akhirnya mengalah dan memutuskan untuk pergi. Seperti apa yang dikatakan oleh Jihan tepat sebelum Nindy memutuskan untuk jujur tentang apa yang sedang terjadi padanya, membuat Nindy sadar jika ia salah menganggap kebaikan seseorang kepadanya.

"Sejak awal kamu hanya beban!"

Langkahnya terhenti di halte bus yang sepi. Kakinya terasa sangat lemas setelah berjalan jauh. Ia tak menyangka jika jarak dari rumahnya sampai ke halte ternyata sangat jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Selama ini, ia yang selalu pergi ke mana pun menggunakan mobil. Bahkan untuk jarak yang dekat pun ia selalu ingin naik mobil. Mungkin ini efek dari ia yang sedari kecil selalu dimanja oleh harta orang tuanya yang berlimpah.

Nindy merogoh ponselnya yang ia simpan di kantong celananya. Ia melemas ketika tak ada satu orang pun yang membalas pesannya. Padahal sebelum benar-benar pergi dari rumahnya, Nindy sudah mengirim pesan pada 10 temannya, baik teman dekat atau juga teman yang biasa-biasa saja. Bahkan Nindy juga beberapa kali menghubungi mereka lewat sambungan telepon, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mau menjawab telepon atau membalas pesan Nindy.

Baru saja Nindy mau memasukkan kembali ponselnya, tiba-tiba ada seorang pria yang berusaha merebut ponsel dan juga tas selempang yang dipakai oleh Nindy. Tentu dengan kekuatan yang masih tersisa, Nindy mencoba untuk mempertahankan barang-barang miliknya yang untuk saat ini semuanya terasa sangat berharga.

"Lepas!" jerit Nindy.

Pria itu tampaknya mengerahkan semua kekuatannya untuk bisa membawa barang-barang Nindy, apalagi ketika Nindy mulai kehabisan tenaga, tampaknya si pria ini mulai merasa menang.

Jika bertanya bagaimana situasi di dekat Nindy saat ini, sebenarnya ada beberapa orang yang melihat kejadian ini, bahkan ada juga yang berdiri tak jauh dari Nindy. Namun, mereka seperti kehilangan rasa empati terhadap sesama manusia, maka mereka hanya diam dan melihat apa yang terjadi tanpa berbuat apa pun.

Brukk!!

Pegangan tangan Nindy pada tasnya terlepas ketika ada seorang pria lain yang langsung menendang perut si jambret.

"Bawa barang-barangmu!" perintahnya pada Nindy.

Ponsel, tas selempang, dan juga kopernya Nindy langsung menyeretnya agar menjauh dari pria ini. Namun, ia juga memungut sebuah kartu nama yang milik pria yang menolongnya.

"Abimanyu Alexander."

"Kau baik-baik saja?" tanya Abi sembari berjalan mendekati Nindy yang sedang memegang kartu nama miliknya.

Nindy menganggukan kepalanya lalu menyerahkan kartu nama milik Abi.

Abi memperhatikan barang bawaan Nindy yang lumayan banyak. Ia hanya memperhatikan tanpa bertanya karena itu juga bukan urusannya.

"Selamat tinggal!" pamit Abi ketika melihat Nindy yang tak bereaksi apa pun. Bahkan ia tak mengucapkan kata terimakasih, tapi itu bukan masalah besar bagi Abi. Niatnya hanya ingin menolong.

"Terimakasih," ucap Nindy tepat setelah Abi masuk ke bus dan pergi meninggalkannya sendiri.

Tanpa sadar, Nindy menatap kepergian Abi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Rasanya seperti mimpi ketika di dunia ini ternyata masih menyisakan sedikit orang-orang baik, meski hanya beberapa persen saja. Nindy kembali menyeret kopernya, entah ke mana tujuannya saat ini yang jelas ia hanya ingin mencari sebuah tempat yang bisa ia pakai untuk membaringkan tubuhnya yang sudah pegal. Terutama kakinya yang kini lemas.

,

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Queenyna

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku