Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela besar ruang tamu rumah Adrian dan Maya, menerangi ruangan yang tertata rapi. Di meja makan, Adrian duduk dengan tenang sambil membaca koran, sesekali menyesap kopi hitam favoritnya. Di depannya, Maya tengah sibuk menyiapkan sarapan. Keduanya tampak seperti pasangan sempurna-harmonis, penuh kasih, dan sukses. Di mata semua orang, mereka adalah contoh keluarga ideal.
"Kamu mau sarapan apa hari ini, Sayang?" tanya Maya sambil tersenyum hangat, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Adrian menurunkan korannya dan melihat ke arah istrinya. "Apa saja yang kamu buat selalu enak," jawabnya, tersenyum balas. "Mungkin roti panggang dan telur rebus?"
Maya mengangguk dan melanjutkan kegiatannya di dapur. Mereka berbicara tentang rencana hari itu-Adrian yang akan pergi ke kantor lebih awal untuk rapat penting, dan Maya yang akan menghadiri pertemuan dengan teman-temannya di sebuah kafe. Kehidupan mereka tampak teratur, penuh rutinitas yang nyaman.
Tetapi di balik percakapan ringan itu, ada perasaan tak terungkap yang mengendap di hati keduanya. Maya mencuri pandang ke arah Adrian dari balik bahunya, matanya menyiratkan sesuatu yang tak terucapkan. Sementara Adrian, meski senyumnya terlihat tulus, ada kehampaan yang menghantui tatapannya.
Ketika mereka duduk bersama untuk sarapan, percakapan mulai mengendur, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi keintiman di antara mereka. Maya, yang dulu selalu menikmati obrolan pagi dengan suaminya, kini lebih sering tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia berpikir, kapan pernikahan ini berubah menjadi rutinitas kosong seperti ini?
Adrian, di sisi lain, sudah terbiasa dengan kesunyian ini. Di luar, ia adalah sosok yang dikagumi-seorang eksekutif sukses dengan keluarga yang bahagia. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang hilang. Rasa cinta yang dulu berkobar di antara mereka kini terasa dingin, meski ia jarang membicarakannya dengan Maya.
Saat sarapan selesai, Adrian beranjak dan mengecup kening Maya. "Aku berangkat dulu," ucapnya sambil mengambil tas kerjanya.
Maya tersenyum tipis, mengangguk, dan membalas, "Hati-hati, ya." Namun, saat pintu menutup, senyumnya perlahan memudar.
Kesunyian kembali mengisi ruangan, dan Maya termenung sejenak di depan piring-piring kosong di meja makan. Hatinya berdesir, merasakan kekosongan yang tak bisa ia definisikan. Dulu, setiap perpisahan pagi adalah momen yang penuh cinta dan harapan. Tapi kini, ada jarak yang tak terelakkan di antara mereka.
Di luar, tetangga mereka, *Bu Yanti*, melambai pada Adrian yang hendak pergi. "Pagi, Pak Adrian! Selalu semangat ya pergi kerja!"
Adrian tersenyum ramah dan membalas lambaian itu. Semua orang di lingkungan ini memandang mereka sebagai pasangan panutan-sempurna, tak bercela. Tak ada yang tahu, di balik senyuman ramah itu, Adrian merasa seolah hidupnya hanya berjalan di atas panggung. Semua yang ia lakukan hanyalah demi mempertahankan penampilan sempurna yang diharapkan semua orang.
Saat mobil Adrian melaju menjauh, Maya duduk di kursi makan, memegang cangkir kopinya yang sudah dingin. Mata kosongnya memandang ke arah luar jendela. "Kapan semuanya berubah?" pikirnya dalam hati. Tapi ia tak punya jawabannya, hanya perasaan hampa yang terus mengganggu pikirannya.
Maya akhirnya beranjak dari meja makan dan mulai membersihkan piring-piring dengan gerakan mekanis. Tangannya sibuk, tetapi pikirannya melayang-layang ke masa lalu. Dulu, saat mereka baru menikah, setiap pagi seperti ini penuh canda dan tawa. Adrian selalu punya cara membuatnya tertawa, bahkan di tengah kesibukan pekerjaan yang menumpuk. Tapi sekarang, semuanya terasa hambar, seperti rutinitas yang tidak bisa dihindari.
Selesai dengan piring, Maya berjalan ke ruang tamu. Foto-foto pernikahan mereka terpajang di dinding-gambar-gambar penuh senyum dan kebahagiaan. Maya berhenti di depan salah satu foto besar di sudut ruangan, saat mereka berdua tertawa bahagia di hari pernikahan mereka, memotong kue pernikahan bersama. Gambar itu terasa seperti kenangan dari kehidupan yang berbeda. Saat ini, senyuman itu terlihat asing baginya, seolah-olah itu adalah orang lain, bukan mereka.
Telepon Maya bergetar di meja, memecah kesunyian. Dia melihat layar dan nama *Raka* terpampang di sana. Jantungnya berdebar tak beraturan, dan rasa bersalah menyelinap ke dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, dia meraih teleponnya dan menjawab dengan suara pelan.
/0/3467/coverorgin.jpg?v=526864a4342f26f6a9b70352d999bf13&imageMogr2/format/webp)
/0/29976/coverorgin.jpg?v=20251205185458&imageMogr2/format/webp)
/0/14354/coverorgin.jpg?v=20250123115913&imageMogr2/format/webp)
/0/20082/coverorgin.jpg?v=20250124101050&imageMogr2/format/webp)
/0/2414/coverorgin.jpg?v=5344f268fdb2c83b9d105d9a760ddd04&imageMogr2/format/webp)
/0/8089/coverorgin.jpg?v=20250122152359&imageMogr2/format/webp)
/0/17681/coverorgin.jpg?v=b7d7dd86a7113252102ebbcaf165f947&imageMogr2/format/webp)
/0/3498/coverorgin.jpg?v=20250122112905&imageMogr2/format/webp)
/0/13573/coverorgin.jpg?v=20250123145501&imageMogr2/format/webp)
/0/12948/coverorgin.jpg?v=20250729150825&imageMogr2/format/webp)
/0/26864/coverorgin.jpg?v=20251106164718&imageMogr2/format/webp)
/0/18349/coverorgin.jpg?v=20240911145051&imageMogr2/format/webp)
/0/3945/coverorgin.jpg?v=130dd3844c362084149454ed134cab7c&imageMogr2/format/webp)
/0/20056/coverorgin.jpg?v=20241101174446&imageMogr2/format/webp)
/0/19230/coverorgin.jpg?v=20241101223323&imageMogr2/format/webp)
/0/20079/coverorgin.jpg?v=bf2c6d1a33f67ca837dd91dd9c25cda5&imageMogr2/format/webp)
/0/28595/coverorgin.jpg?v=20251118001046&imageMogr2/format/webp)