Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kisah Cinta di Batukarut

Kisah Cinta di Batukarut

Henkir Alam

3.5
Komentar
40
Penayangan
12
Bab

Seorang pemuda bernama Lihar adalah anak Sawangan yang bekerja dengan seorang pengusaha yang bernama Pak Yatna. Lokasi perusahaan jauh di perbatasan Sukabumi dan Bogor. Meskipun jauh dia bisa menjalankan perusahaan tersebut sebagai manager atau pengawas. Semula perusahaan dibidang pasir teras itu dipegang oleh Pak Ajat, namun karena ada ketidakcocokan cara bekerja Pak Ajat. Maka dengan cepat Pak Yatna menggantinya dengan dia. Berbagai kendala dalam memegang perusahaan tersebut dihadapi dengan sabar. Terutama menghadapi dendam Pak Ajat yang tidak senang dirinya digeser. Menghadapi beberapa pekerja yang curang. Dan juga permainan gaib oleh orang misterius yang tidak senang dengan perusahaan tersebut. Kesabaran dan ketabahan Lihar dalam menjalani perusahaan itu bisa dihadapinya berkat bantuan Dadun, pekerja setianya, dan Om Joni sang sopir perusahaan. Dalam menjalani perusahaan tersebut tak pelak dia banyak kenalan orang sekitarnya, baik laki-laki dan perempuan. Dan yang menjadi istimewa ketika ia berkenalan dengan Yeti, bunga kampungnya Batukarut. Rupanya dengan memiliki kekasih dia dapat bekerja dengan giat lagi. Tetapi godaan selalu saja datang. Saat dia berkenalan dengan perempuan bernama Erom, membuat kekasihnya merasa cemburu. Terjadilah perkelahian antara Yeti dan Erom di sebuah mata air, tempat biasa para ibu-ibu mandi dan mencuci pakaian. Akibatnya ia harus disidangkan di kampung itu. Disamping kehebohan peristiwa dia dengan kekasihnya, juga terjadi kegaiban di sekitar arena perusahaan. Tentang mobil yang ditaburi garam dan dan hal gaib di sekitar perusahaan. Para pekerja percaya akan ada bahaya akibat ulah penggaraman tersebut. Namun dia berusaha meyakinkan para pekerja, bahwa itu tahayul dan tak mungkin. Kita berserah diri saja kepada Allah. Nasehat itu didasari dengan ia bersekolah di Islamiyah. Entah itu faktor kebetulan atau apa, beberapa waktu kemudian mobil Om Joni tiba-tiba bannya meletus yang hampir saja celaka. Yang kedua tentang musibah seorang pekerja, kakinya terluka kena pacul, dan yang ketiga dia sendiri terkena musibah tabrakan ketika hendak tugas ke kota Sukabumi dengan tujuan ke komunitas temannya. Akibat kecelakaan itu dia tidak dapat hadir dalam komunitas tersebut. Dia pun harus menjalani pengobatan karena beberapa bagian tubuhnya luka, dan kakinya terkilir. Lengkaplah sudah alasan orang-orang, bahwa musibah yang beruntun di sekitar perusahaannya adalah akibat perbuatan gaib lewat penggaraman tadi. Namun melalui Dadun tetap diyakinkan bahwa semua itu hanya kebetulan. Dan dia harapkan Dadun dapat menyampaikannya kepada para pekerja yang lain. Meskipun musibah datang silih berganti, namun dia tak gentar. Ia terus maju untuk membangun perusahaannya agar tetap berjalan dengan lancar. Meskipun ada beberapa pekerja yang mengundurkan diri karena takut, itu tak menjadi persoalan. Dengan cepat pula dia mencari pekerja baru sebagai pengganti. Dan pada saat perusahaan berjalan dengan normal kembali, dia malah kena peristiwa yang menyakitkan dalam percintaannya. Rupanya peristiwa perkelahian di mata air itu masih berbuntut panjang. Akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Ternyata perpisahan itu membuat hatinya patah, sepertinya ia belum siap menerima keputusan

Bab 1 Sebuah Kepercayaan

PAGI ini angin berhembus dingin sekali, yang kebetulan aku sudah bangun dan pergi ke musola terdekat. Hawa dingin yang menggigit tubuh ini tidak kuhiraukan lagi, yang jelas aku khusyu sholat berjamaah. Kuikuti imam yang paruh baya, pengganti dari bapaknya yang sudah tiada. Aku jadi ingat tahun-tahun yang lalu saat aku masih sekolah di SMA, Musola tua ini tempat kami kumpul bersama teman-teman di kampung ini. Kami semua mengenal, Ustad Tarmuji yang memiliki musola tersebut. Musola tua yang tetap kokoh berdiri sampai saat ini, sampai beliau beranak banyak.

Begitulah bersama teman-teman sekampung, waktu itu kami rajin mengaji dan sholat di musola tua ini. Daya tarik selain itu adalah kepada anak-anak perempuan sang ustad, yang memang memiliki putri yang cantik-cantik. Namun kini teman-teman yang biasa sholat di sini tidak kujumpai lagi. Dan aku menyadari betapa aku sudah lama tidak sholat Subuh di sini. Bukannya malas, tapi hari-hariku memang sudah tidak di Sawangan lagi. Selama ini hari-hariku berada di rantau orang, terakhir kali aku berada di Malaysia.

Pada hari ini memang sengaja aku sholat Subuh di musolah tua ini, karena besok akan meninggalkan Sawangan kembali. Kemarin temanku yang bernama Aang menemuiku.

"Lih, udah nggak kerja lagi ya?" Tanya Aang berbasa-basi. Kujawab iya. Lalu dia melanjutkan, "Mau kerja nggak?"

"Oh, tentu aja mau..." Aku menjawabnya agak cuek.

"Ini serius, Lih." Kata Aang ketika melihat aku bersikap masa bodoh. "Atau lo udah ada kerjaan?" Aku menatap Aang sebentar, kemudian kembali dengan kesibukanku menggambar. "Ya... gitu deh, kalau nggak menggambar, ya siaran di radio Cobra." Kataku seadanya. Tapi memang begitulah, sepulang dari rantau aku memang menghabiskan waktu dengan menggambar atau melukis. Kadang-kadang siaran di radio Cobra milik pak Haji Taif. Kebetulan tekhnisi radio tersebut adalah adikku, Geri.

"Lih, ini kerja di wilayah Sukabumi..." Mendengar perkataan itu, aku berhenti menggambar. "Apa? Sukabumi?" Aku tertarik. "Kerja apa, Ang?"

"Begini ceritanya, Pak Yatna punya tanah di wilayah Sukabumi. Jadi dia tuh mau usaha mengelola tanah teras untuk batako. Nanti Pak Yatna akan menyiapkan dua mobil berikut sopirnya."

"Terus, di sana gua kerja ngapain? Kenek?" Potongku.

"Tentu aja bukan, pokoknya lo dijadiin mandor, atau wakil manager...pokoknya dijamin asyik deh Lih..." Kata Aang pasti.

"Oke, gua setuju, kapan mulai kerja?"

"Besok!"

Maka dari itu pagi ini aku sudah siap rapi. Aku pamit pada Emak dan Bapak, juga adik-adikku. Seperti biasa Emak selalu menyediakan sarapan dan makanan yang harus dibawa. Sekitar jam 7.00 pagi aku sudah berada di dalam mobil Pak Yatna. Ternyata ia tidak sendiri, istri dan anak-anaknya diajaknya pula.

"Lih, daerah tempat kerja kamu di sana itu sejuk sekali. Nama daerahnya kalau gak salah, Batukarut." Aku menganggukkan kepala, sementara istri dan dua anak Pak Yatna tertawa. Mungkin mereka heran dengan nama Batukarut. "Oya, satu lagi kamu harus jujur, karena dengan kejujuran orang akan percaya sama kamu." Kata Pak Yatna dengan nasehat.

Setibanya di sana, kami diterima oleh keluarga petani Pak Ading. Untuk sementara waktu, aku boleh tinggal di rumahnya. Di samping itu Pak Ading punya anak yang sebaya denganku namanya Herman, atau Belu, nama panggilannya. Kemudian aku juga diperkenalkan oleh Pak Ajat, pimpinan yang mengelola perusahaan Pak Yatna. Dan dengannya kami meninjau lokasi yang bakal jadi lahan perusahaan tersebut.

"Lih, inilah lokasi penggalian teras, cukup bagus buat batako." Kata Pak Ajat sambil menunjuk sana-sini. Aku hanya manggut-manggut saja. "Hm... bagaimana kas anggarannya, apakah kamu sudah membawa catatannya?" Tanya Pak Ajat.

"Belum... tapi sebentar lagi Pak Yatna akan ke sini, kas anggarannya masih di tangan dia."

"Lho, seharusnya kamu sudah memegangnya, karena posisimu itu bagian pemegang kas anggaran tersebut." Pak Ajat menepuk bahuku. "Coba kamu tanyakan sama Pak Yatna." Aku mengiyakan, lalu berlari menuju rumah Pak Ading.

"Bagaimana lokasinya, Lih? Bagus?" Tanya Pak Yatna ketika aku menemuinya di rumah Pak Ading. Saat itu istri Pak Yatna sedang bercengkerama dengan istri Pak Ading.

"Bagus, Pak." Sahutku, "Hm... Pak Ajat menanyakan buku..."

"Ooh... Iya, memangnya Pak Ajat masih di lokasi ya?" Kata Pak Yatna sambil membuka tasnya, dan mengeluarkan buku besar.

"Pak... sebaiknya kita ke lokasi aja." Terdengar suara Ibu Yatna, Anak-anaknya tampak kegirangan, karena mereka sudah bosan di rumah Pak Ading terus-menerus.

"Benar Pak, sebaiknya kita ke lokasi aja." Kata Pak Ading membenarkan.

Dengan bergegas kami berjalan menuju lokasi, aku berjalan di sisi Pak Yatna, yang masih memegang buku besar tersebut. Pak Ading di belakang mengikutinya bersama dengan istri dan anak-anak.

"Lihar, buku ini nanti kamu aja yang pegang, juga uang kas anggaran dan rinciannya harus kamu yang menguasainya, sementara Pak Ajat hanya sebagai pengawas saja." Kata Pak Yatna sambil memilih jalan yang enak, karena jalan yang dilaluinya itu agak rusak, berbatu-batu dan tidak beraspal. Namun jalan tersebut nantinya bakal dilalui mobil yang mengangkut teras-terasnya.

"Pak Ajat itu pengawas,ya Pak?"

"Iya, tapi gak mutlak, artinya dia itu hanya sebatas mengetahui medan lokasi." Ia berhenti sebentar, "Nanti pada waktunya harus kamu kuasai semua."

"Maksudnya?" Aku masih belum mengerti.

"Mengenai pembayaran tukang-tukang dan para pekerja yang lain, nanti kamu yang harus mengaturnya, mengenai itu nanti tehnisnya aku beri tahu. Dan mengenai Pak Ajat..." Pak Yatna menghentikan perkataannya, karena lokasi yang dituju sudah terlihat. Tampak Pak Ajat melambaikan tangan dari gubuk kecil, yang terdapat di depan lokasi, posisinya ada di pojok. Pak Yatna membalas lambaian tangan sambil tersenyum. Kemudian berkata kepada Pak Ading, "Pak Ading, tolong deh para pekerja dibilangin, nanti sehabis zhuhur segera berkumpul di sini." Pak Ading mengangguk, lalu permisi. Cangkul yang tengah dipegangnya ditinggalkan di dekat gubuk, kemudian berlalu dari tempat itu. Kulihat Ibu Yatna dan anak-anak asyik melihat-lihat lokasi di sana-sini, suara anak-anaknya terdengar ribut sekali. Kami bertiga kembali terlibat pembicaraan. Pak Yatna memberi pengarahan kepada aku dan Pak Ajat. "Jadi buku ini tetap dipegang Lihar, sementara Pak Ajat cukup mengawasi saja, mengenai pembayaran buat pekerja nanti akan kuatur."

"Oh, iya..iya, Pak, aku setuju sekali." Kata Pak Ajat tersenyum, namun aku melihat ada senyum yang sinis menusuk mataku, ah, mungkin itu hanya perasaanku saja.

"Bagus, nanti keuangan tetap dipegang Lihar, agar ia tidak keliru dalam mencatat pemasukan dan pengeluarannya." Pak Yatna berhenti sebentar memperhatikan Pak Ajat yang tersenyum dan manggut-manggut. "Bagaimana Pak Ajat, apa ada usulan lain?"

"Oh, nggak.... aku sudah paham kok..." Katanya tertawa, "Tenang Lih, selama ada aku, semua akan lancar."

"Iya, Pak Ajat.." Kataku sambil tersenyum. Tiba-tiba datang Deni, salah satu anaknya Pak Yatna menghampiriku. "Bang Liar... Ibu menyuruh Abang untuk melihat tanah yang belah sono."

"Oh... nanti Deni... Lihar lagi ngomong sama Bapak dulu." Kata Pak Yatna, yang kemudian menyuruh anaknya kembali kepada ibunya. Dengan kecewa Deni kembali kepada ibunya. "Ibu, entar katanya, Bapak masih ngajak ngomong ama Bang Liar."

"Ooh... ya udah nggak apa-apa... Kita tunggu aja dulu." Sahut ibunya.

Seperempat jam kemudian aku sudah menemani Ibu Yatna dan anak-anaknya meninjau lokasi kedua, yang letaknya lebih jauh. Posisinya di pinggir tebing yang menuju balong, yang di bawahnya terdapat beberapa mata air. Ada beberapa bagian di pojok ada bekas tanah yang sudah digali, dengan nampak tanah teras yang bagus.

"Wah, tempatnya enak ya, Lih..." Kata Ibu Yatna takjub dengan pemandangan yang ia lihat. Sebuah dataran yang mengarah ke balong. Di mana pemandangan di bawahnya tampak indah, dengan sekat-sekat kolam ikan yang dibuat petani.

"Iya, bener, Bu.. tapi lokasinya cukup jauh dari jalan. Sedangkan teras-teras yang sudah digali harus berada di tepi jalan agar mudah diangkut mobil dan dibawa ke pabrik." Aku menjawab dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

"Iya ya?" Bu Yatna seperti berfikir. "Nanti jadinya gimana ya?" Bu Yatna tampak agak bingung. Aku langsung tertawa, "Gampang, Bu... nanti kan ada tukang pikul."

"Oh.. iya.. ya.." Bu Yatna turut tertawa. "Lho, Deni sama Amer ke mana?"

"Tuh, turun ke balong, main di sekitar mata air." Aku menunjuk ke bawah. Di sana tampak Deni dan Amer sedang tertawa-tawa bermain air.

Beberapa jam kemudian kami sudah berada kembali di rumah Pak Ading. Kali ini persiapan makan siang sudah dihidangkan. Kami duduk-duduk di atas bale bambu. Pak Ajat, Pak Ading, dan keluarganya mengambil posisi di bangku panjang, yang terdapat di seberang bale bambu tersebut. Ada pula bangku yang terbuat dari rotan, dan bangku biasa, dengan meja kecil yang cukup untuk meletakkan gelas-gelas atau piring-piring di sana. Sambil berkelakar kecil kami makan. "Sing seueur daharna.." Begitu ucapan istri Pak Ading, berharap agar kami makan yang banyak. "Mangga.." Sahut Pak Ajat.

Selesai makan kami ngobrol sebentar, kemudian sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara azan. Rupanya sudah waktu Zhuhur. Dengan petunjuk Pak Ading, aku pergi ke musola. Aku berjalan ke sana, diikuti Deni. Lokasinya di seberang jalan desa yang sudah diaspal, lalu turun ke balong. Dengan jarak 50 meter aku menuruni jenjang tangga tanah sampai ke mata air yang melimpah. Balong itu ternyata pusat utama dari balong yang curam menuju ke bawah dengan posisi landai ke arah timur. Maka di ujung sana aku dapat melihat empang-empang yang bertembok, dengan aliran air di sisinya. Pada sisi aliran air terdapat jalan setapak yang sudah dirapikan, dengan tembok atau semen yang sudah dibuat oleh dinas irigasi. Setiap melintas seratus meter terdapat pagar tembok berbentuk persegi, gunanya untuk orang mandi atau mencuci. Sementara di tempat aku berdiri dekat mata air, orang sana bilang, kepala mata air, terdapat bangunan bersekat tanpa atap. Bentuk bangunan tersebut memanjang terbagi tiga sekat, dengan keran-keran alami yang terpasang pada sisinya, sehingga air dapat memancar terus-menerus, Dan orang-orang dapat mandi dan berwudhu di sana. Pada sisi sebelah lain terdapat tempat terbuka untuk para ibu mencuci pakaian dan mencuci piring. Sungguh suatu tempat yang sudah ditata dengan rapi.

Aku segera berwudhu dengan air yang melimpah dengan sebasah-basahnya. Deni mengikutinya berwudhu di sebelahku.

"Hiiyy.. airnya banyak banget.. dan diiingiin banget,,"

"Huss... wudhu dulu baru ngomong." Tegurku menyuruh diam.

Selesai berwudhu aku menuju musola yang terdapat di sisi tanah yang agak tinggi. Pada bagian sisi musola sebelah kiri, terdapat tebing yang berisi aneka tanaman hutan. Tapi sudah terlihat bersih, karena sering disapu atau tanaman-tanaman tersebut ada yang merawatnya. Dengan jalan memanjat sedikit kami menyeberangi parit berair bening, lalu sampailah kami di musola. Ternyata ukuran bangunan itu kecil, di dalamnya cuma muat untuk dua shaf, dengan posisi imam di tempat yang menjorok. Musola itu dibuat memang khusus buat orang-orang sholat, yang mandi di mata air tersebut. Misalnya waktu Subuh atau waktu Ashar, pada sore harinya. Sedangkan kalau musola yang besar dan luas terdapat di atas balong sebelah utara. Cukup jauh jika harus berjalan dari mata air tersebut, kebanyakan yang mandi memang menyempatkan sholat di musolah yang kecil ini.

Di dalam musola ada seseorang setengah tua yang sudah selesai sholat. Orang tua itu bersalaman dengan aku. "Sholat, Jang?"

"Iya, Pak..." Sahutku dengan ramah.

"Mangga..." Orang tua tersebut permisi. Aku mengangguk sambil tersenyum.

Kemudian kami sholat Zhuhur, aku imam, dan Deni ma'mum. Selesai sholat kulihat Pak Yatna sudah berdiri di belakang. Rupanya dia belum mengerjakan sholat.

"Lih, jangan pulang dulu... tunggu Bapak." Katanya berpesan.

"Iya.. Pak." Aku mengangguk.

Sementara Pak Yatna mengerjakan kewajibannya, aku dan Deni duduk di depan musola menikmati pemandangan mata air, dengan selokan yang sudah ditangani irigasi, memanjang, menurun sampai ke hilir. Kulihat pula ada beberapa orang datang ke mata air, perempuan dan juga laki-laki. Kalau yang laki-laki kebanyakan berwudhu untuk sholat Zhuhur, kalau yang perempuan, ada yang mengambil air buat dibawa pulang, dan ada pula yang mencuci di sana.

Pak Yatna selesai sholat memberikan amplop berisi uang kepadaku. "Peganglah, Lih.. ada beberapa bagian, untuk uang saku kamu di sini. Dan yang penting, uang ini untuk persiapan gaji kuli."

"Pak Ajat bagaimana, Pak?" Tanyaku.

"Untuk Pak Ajat sudah kukasih langsung, Jadi jika dia minta jangan kamu berikan..." Kata Pak Yatna serius, "Oh, ya.. Pak Yunus, tadi sudah datang. Ayo kita segera kembali"

"Pak Yunus datang? Siap Pak."

Kami bertiga meninggalkan tempat itu. Dan kami bertemu dengan Pak Yunus. "Gua gak nyangka, ternyata yang tugas di sini, lo, Lihar. gua pikir siapa..?" Kata Pak Yunus tertawa ketika melihatku. Logat Sawangannya terdengar dengan jelas. Pak Yunus memang tetanggaku di Sawangan, tetapi rumahnya masih jauh dari rumahku. Rumahnya di luar Kopral Daman, tepatnya di Lebak atau gang Enggram.

"He he he.. aku juga nggak nyangka kalo Pak Yunus yang jadi supir di sini..." Sahutku bergurau. Pak Yunus tertawa senang, karena ketemu teman yang udah kenal di sini.

Mobil Datsun sudah diparkir di dekat arena galian teras. Kulihat sudah ada tiga orang pekerja, menemani Pak Ading. Kemudian mereka datang menghampiriku, bersalaman sambil menyebut namanya, "Ubed..." Kata seorang yang kurus dan agak hitam, Kemudian Dadun, yang rambutnya gondrong keriting, tampangnya lugu, logat sundanya pun kental. Yang ketiga Pardi, seorang yang putih bersih, yang tampangnya kurang cocok untuk jadi seorang kuli gali. Cocoknya Pardi itu jadi orang menak, orang gedean seperti majikan.

Kemudian Pak Yatna pamit, "Lih, semuanya udah Bapak percayakan ama kamu, Ingat ya pesan-pesan Bapak tadi. Sementara ini kamu tinggal di rumah Pak Ading aja. Bapak sudah membayarnya untuk kamu tinggal di sini."

"Terima kasih, Pak." Kataku.

Pak Yatna dan keluarganya pamit dan berlalu dengan mobil pribadinya. Dan setelah itu, Pak Ajat mengajakku ke gubuk penggalian. "Ada apa, Pak Ajat?" Tanyaku.

"Mana? Aku lihat buku kas anggarannya." Sambil meminta, buku itu direnggutnya. Mulutnya tersenyum, tetapi matanya nanar. Belum sempat aku bicara, buku besar itu sudah berada di tangannya. "Lah, saldonya belum dimasukkan, Lih.."

"Emang belum, Pak? Kas anggarannya nanti malam aku susun..."

"Oh ya... Kira-kira berapa kas anggaran perdana untuk modal nanti?" Buku besar itu dikembalikan lagi padaku. Aku melihatnya, sepertinya ia gusar, namun disembunyikan lewat senyum sinisnya.

"Pak Ajat, aku belum tau pasti, kas anggaran yang diberikan masih tertutup. Aku harus memerinci dahulu, berapa besarnya pemasukan dan pengeluarannya nanti. Belum lagi tenaga beberapa pekerja harus kita perhitungkan pula. Baru setelah itu aku susun semuanya." Kataku dengan lugas.

"Ha ha ha.." Ia tertawa ngakak, "Ditepuk-tepuknya bahuku..."Pinter kamu Lih..hmm.." Ia menatapku sebentar. "Ada 20..000 perak nggak, aku pake dulu.."

"Hmm... gimana ya?" Aku berfikir.

"Lih..kamu harus tahu, Bapak Yatna bisa usaha di sini itu kan karena ada aku. Masa pinjam aja nggak boleh? Besok aku kembalikan." Tangannya meraih pundakku seperti hendak mencengkeram pundakku, tetapi ternyata tidak ia lakukan, yang terjadi ia mengusap-usap bahuku. Aku bangkit, maksudnya menepis. "Baiklah, Pak... tapi ini uang presentasi untuk gaji kuli nanti." Aku mengeluarkan uang dari dompet pribadiku, uang dalam amplop tidak kuperlihatkan. Ia menerimanya dengan tersenyum, "Terima kasih, Lih... Pokoknya jangan kuatir, urusan kuli nanti beres." Pak Ajat permisi, ia pulang meninggalkan aku yang termangu sendiri. Ternyata sulit memegang amanat Pak Yatna, untuk tidak memberi uang sesenpun kepada Pak Ajat. Kulihat Pak Ading dan tiga anak buahnya sibuk. Pak Yunus masih tampak berdiri di dekat mobilnya. Aku melambaikan tangan kepadanya, dan dia menghampiriku. Sementara langit semakin cerah, bertolak belakang dengan hatiku saat itu. Kehidupan di sini baru dimulai, namun titik persoalan yang rumit sudah kualami. Ya, masalah uang memang riskan sekali, Mudah-mudahan nanti malam aku dapat menyusunnya dengan baik.

Untuk menghilangkan beban yang menghantui fikiranku, kuajak Pak Yunus ngobrol santai dalam gubuk. Sambil bercerita apa saja saat berada di Sawangan. Dan ketika cerita beralih tentang pembahasan pekerjaan di sini. Kami berharap agar perusahaan baru ini dapat berjalan dengan lancar dan tertib. Aamiin Yaa Robbal Aalaamiin.

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku